DHANAPATI melangkahkan kakinya, melompati akar- akar pohon besar. Menyingkirkan ranting- ranting yang menghalang.
Mereka ada di dalam hutan yang lebat sekarang.
Monyet- monyet berlompatan dari satu dahan ke dahan lain. Beberapa turun ke tanah.
Dhanapati menyingkirkan dua ekor lintah yang menempel di kakinya. Di sampingnya, Kaleena memperhatikan dengan muka yang menampakkan rasa antara geli dan ngeri.
Dhanapati tersenyum. Dia menghapus bekas darah yang keluar dari bagian dimana lintah tadi menggigit. Setelah itu, seakan tak ada apapun yang terjadi, dia melangkahkan kakinya lagi. Kaleena mengikuti di belakangnya.
Belum lama mereka melangkah, terdengar jeritan Kaleena.
Dhanapati serentak menoleh dan berbalik. Bersiap memasang kuda- kuda, untuk melawan jika ada musuh yang menghadang. Namun apa yang dilihatnya membuatnya terpaksa menahan tawa.
Kaleena dengan panik menunjuk- nunjuk kakinya. Rupanya, ada lintah yang baru saja menempel di situ. Dia ingin melepaskannya tapi tak berani menyentuh lintah itu.
Dhanapati mendekat. Dihampirinya Kaleena yang pucat pasi. Dia berjongkok dan melepaskan lintah itu dari kaki Kaleena.
Dan saat kaki halus itu tersentuh, mau tak mau Dhanapati teringat pada apa yang terjadi kemarin malam. Teringat pada halus lembut kulit sang putri dari seberang lautan. Kaleena yang tadinya berusaha mencegah, sudah tampak pasrah saat itu. Dhanapati mulai menelusuri kulit yang halus dan lembut itu dengan bibirnya sambil menikmati keharumannya ketika tiba- tiba petir menggelegar lagi.
Dhanapati melihat percik api berpendaran. Kuning. Jingga. Merah. Gunung- gunung tampak di kejauhan. Biru gelap dan tadinya tak terlihat. Tapi saat petir menggelegar, gunung itu menjadi latar belakang percik api yang berpendaran.