Mohon tunggu...
Padepokan Rumahkayu
Padepokan Rumahkayu Mohon Tunggu... -

Padepokan rumahkayu adalah nama blog yang dikelola oleh dua blogger yang suka bereksperimen dalam menulis, yakni Suka Ngeblog dan Daun Ilalang. 'Darah di Wilwatikta' ditulis bergantian oleh keduanya dengan hanya mengandalkan 'feeling' karena masing- masing hanya tahu garis besar cerita sementara detilnya dibuat sendiri-sendiri. \r\nTulisan- tulisan lain hasil kolaborasi kedua blogger ini juga dapat ditemukan di kompasiana.com/rumahkayu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Darah di Wilwatikta Eps 26: Sesuatu yang Lembut Menyentuh Bibir

6 Desember 2011   05:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:46 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

MALAM itu malam biasa, sama seperti malam yang lain. Bunyi jangkrik bersahutan, ditingkahi nyanyian burung hantu. Di angkasa, bintang-gemintang samar disaput mega. Hanya malam biasa. Namun Dhanapati sama sekali tak menyangka kalau malam itu akan mengubah hidupnya. Selamanya. Awalnya, tak ada yang istimewa. Penugasan Bhagawan Buriswara untuk mencari keponakan Adipati Daha, Raden Purwadharma yang diculik juga bukan hal yang luar biasa. Mengejar penculik, bukanlah sesuatu yang memerlukan perhatian khusus. Karena itu, Bhagawan hanya menugaskan tiga anggota Bayangkara Biru untuk mengejar para penculik sekaligus menyelamatkan yang diculik. “Keponakan adipati yang diculik adalah gadis yang cantik. Jadi kalian harus berupaya menyelamatkan dia malam ini juga. Jika menunggu besok, bisa saja para penculik berubah pikiran dan memilih untuk menjadi pemerkosa,”  kata Bhagawan ketika memberikan arahan di Pesanggrahan Langit, markas sekaligus tempat tinggal Bhayangkara Biru. Seperti yang direncanakan, Dhanapati ditugaskan untuk menyelamatkan gadis yang diculik. Kedua rekannya, Bayu Segara dan Lembu Kapang menyamar sebagai prajurit yang akan membawa tebusan. Para penculik meminta 200 keping uang emas jika ingin gadis itu kembali utuh. Di bawah temaram bulan sabit, Dhanapati berkelebat. Pengalaman bertahun-tahun membuat matanya terlatih. Dalam keremangan dia bisa mengetahui mana batu dan semak yang bisa dijajaki. Menurut Adipati Purwadharma, para penculik meminta keping uang emas dibawa ke bukit Kranji, sekitar lima ribu tombak sebelah timur Gunung Arjuna. Artinya, gadis yang diculik pasti disembunyikan di suatu tempat di bukit Kranji. Dhanapati melompat ke puncak pohon Cempaka, dan mengamati sekitar. Ada tiga pondok di bukit itu. Dengan cepat Dhanapati melakukan pemeriksaan. Dua pondok yang pertama kosong. Pondok ketiga dihuni orang. Ada lima lelaki mengelilingi pondok itu. Semuanya menghunus senjata: parang, tombak dan keris. Siap tempur. Dhanapati mengambil batu dan melemparkan ke semak belukar. Ketika para penjaga tersentak, dengan kecepatan bagai kilat Dhanapati bergerak. Sekali libas, lima penjaga terkulai lumpuh. Dhanapati meloncat ke bubungan pondok. Atap yang terbuat dari jerami memudahkan dia mengamati. Ada tiga penjaga di dalam pondok. Semuanya memegang senjata yang terhunus. Sama seperti sebelumnya, Dhanapati bertindak dengan cepat. Ketiga penjaga dilumpuhkan. “Jangan takut, aku tidak bermaksud jahat. Aku datang untuk menyelamatkanmu,” kata Dhanapati sambil melepaskan ikatan gadis itu. Ketika sedang melepaskan ikatan, Dhanapati menyadari sesuatu. Tubuh gadis itu gemetar. Wajahnya pucat pasi. Ada butir air mata di matanya. Dan gadis itu cantik. Sangat cantik. “Terimakasih atas pertolongan tuan pendekar,” gadis itu berujar lirih. “Tak apa, tuan putri. Itu sudah menjadi tugasku...” “Ah tuan pendekar tak perlu memanggilku tuan putri. Cukup Sekar saja “Oh baiklah tuan... eh maksudku Sekar. Dan jangan panggil aku tuan pendekar. Namaku Dhanapati...” “Aku panggil kakang saja. Kakang lebih tua kan?” Ujar Sekar ambil tersenyum. Dan entah kenapa, Dhanapati tiba-tiba merasa dadanya sesak. Senyum gadis itu sungguh membuatnya seperti melayang. “Emm... Maaf Sekar, aku harus membopongmu. Kita harus secepatnya meninggalkan tempat ini sebelum kawanan penculik menyadari...” Sekar Wangi menundukkan kepala, sedikit tersipu, dan akhirnya mengangguk. Dalam keremangan malam, Dhanapati membopong Sekar Wangi, menghirup aroma tubuhnya yang harum, merasakan kulitnya yang lembut. “Kita aman sekarang,” kata Dhanapati begitu mereka tiba di kaki bukit. Di ufuk timur, terlihat semburat pertanda datangnya Sang Mentari. “Ta.. pi para penculik itu... Mereka hebat. Bagaimana jika mereka mengejar?” “Mereka tak akan mengejar. Bahkan bisa dipastikan, untuk selamanya mereka tak akan bisa menculik lagi...” “Ba... Bagaimana mungkin?” “Mungkin saja. Ada dua saudaraku yang bertugas membereskan. Jika dua anggota Bhayangkara Biru telah turun tangan, para penculik itu dipastikan tak akan bisa menghirup udara pagi...” Dhanapati mengantar Sekar Wangi ke kediamannya di Daha. Tak berapa lama, Bayu Segara dan Lembu Kapang menyusul, membawa kabar bahwa gerombolan yang dikenal sebagai Semut Rangrang telah dibasmi. Ketiga anggota Bhayangkara Biru dijamu keluarga besar Adipati  Purwadharma dengan penuh hormat. Sekar Wangi, secara khusus melayani Dhanapati. Sejak tiba di kediaman, Sekar Wangi tak pernah menjauh. “Aku baru sadar, aku bisa diculik karena tak bisa ilmu kanuragan. Sekar ingin belajar ilmu kanuragan. Kakang bisa membantu mengajarkan?” Sekar Wangi bertanya lembut. “Boleh. Nanti jika sewaktu-waktu ditugakan di sekitar sini, aku akan mampir… “Terima kasih kakang, Sekar senang sekali…” Dan sejak itu, di kala senggang, Dhanapati sengaja mampir ke Daha dan menemui Sekar Wangi. Resminya untuk mengajarkan ilmu kanuragan. Namun pertemuan  keduanya lebih banyak diisi dengan perbincangan. Setelah beberapa pertemuan, keduanya tak bisa berpura-pura. Ada sesuatu yang menyatukan mereka. Yang membuat hati berdebar ketika bersua, dan kegelisahan serta perasaan kosong ketika berpisah.

***

“Akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Kami telah dipersatukan, dan tak ada kekuatan yang mampu memisahkan kami. Bahkan Bhayangkara Biru sekalipun,” ujar Dhanapati lirih. Putri Harum Hutan dan ketiga dara yang sejak tadi menyimak, menarik nafas panjang. Kiran yang juga menyimak memilih untuk menundukkan wajah. “Selama lima belas bulan terakhir, aku merasa sangat bahagia. Itu masa terindah. Apalagi setelah Dewata yang Agung menganugerahkan anak laki-laki. Sayang, kebahagiaan itu direnggut dengan paksa. Direnggut dengan kejam oleh mereka yang selama ini aku anggap sebagai saudara dekat....” Dhanapati menghentikan ceritanya dan memejamkan mata. Wajah istri dan putranya yang berkubang darah kembali terbayang. Tubuhnya menggigil. Di luar, hujan sudah berhenti. Bunyi katak terdengar bersahut-sahutan. “Tadinya aku tak mengerti, kenapa Dewata membiarkanku hidup. Setelah dipikir-pikir, mungkin ini kesempatan yang diberikan Dewata untuk membalas perlakuan mereka...” “Jadi kau akan membalas perbuatan Bhayangkara Biru?” Dara Merah bertanya. “Tentu saja. Mata ganti mata. Darah ganti darah. Mereka telah menumpahkan darah orang yang tak berdosa. Aku akan membalas dengan setimpal...” “Kau ingin melawan Bhayangkara Biru? Apa kau sudah bosan hidup? Itu bunuh diri namanya...” “Aku pada hakekatnya telah mati sejak istri dan anakku tewas. Aku mungkin masih bernafas. Namun aku, Dhanapati pada hakekatnya telah mati.....” “Aku tak menyangka kalau kisahmu sangat tragis, Dhanapati,” kata Putri Harum Hutan. “Namun hidup terus berjalan. Kau boleh saja berencana membalas dendam. Itu hakmu. Namun kau jangan gegabah. Apalagi, kematian seluruh anggota Bhayangkara Biru, jika itu kelak terjadi, tak akan bisa menghidupkan istri dan anakmu...” Putri Harum Hutan menarik nafas panjang. “Sekarang kita perlu beristirahat. Besok kita akan menempuh perjalanan panjang....” “Aku tidur di luar saja,” kata Dhanapati. Tanpa menanti jawaban dia segera beranajak. Kiran yang tadinya bermaksud mengejar, mengurungkan niatnya. Dia mengerti. Pondok itu tidak terlalu besar. Dhanapati pasti merasa tidak nyaman untuk tidur bersama beberapa perempuan.

***

Dhanapati meninggalakan pondok, berjalan ke arah timur mendekati gua yang menjadi penghubung ke dunia luar. “Dhanapati, tunggu...” “Ada apa?” Dhanapati bertanya heran melihat munculnya ketiga dara. ‘Putri Harum Hutan menitipkan ini,” kata Dara Merah sambil menyerahkan kantong kecil. “Apa ini?” “Itu beberapa keping uang emas dan perak, untuk biaya perjalananmu...” “Ah. Terima kasih. Tapi kenapa diberikan sekarang?” “Hmm... Putri Harum Hutan berbeda dengan Kiran yang masih polos. Kau pikir Putri tidak tahu kalau malam ini kau akan pergi?” Dhanapati tersentak, menatap ketiga dara dengan tajam. “Bgaimana putri tahu kalau aku akan pergi?” Dhanapati memang telah memutuskan untuk meninggalkan pondok, malam ini juga. Keputusan itu dia buat setelah melihat tindak-tanduk Kiran. Sejak petang gadis itu tak banyak bicara. Bisa diduga, gadis itu tak sudi berpisah dengannya. Bagaimana jika besok Kiran bersikeras tak ingin berpisah? Demi kebaikan bersama, demi keselamatan Kiran, Dhanapati memutuskan untuk secepat mungkin meninggalkan gadis itu. Meninggalkannya diam-diam. “Kau tak perlu tahu bagaimana putri tahu. Itu tak penting,” kata Dara Merah. “Ada hal penting yang ingin kami sampaikan. Kami.. mmm... Kami ingin berterima kasih...” “Berterimakasih? Karena apa?” “Kami berterima kasih karena kau telah menolong dan menyelamatkan kami...” Dhanapati tersentak. Menatap ketiga dara itu. Ketiga gadis cantik itu balik menatapnya. “Ah, aku tak pernah menolong kalian,” kata Dhanapati. Ketiga dara saling pandang, dan kemudian menatap Dhanapati. “Kami memang hanya pelayan. Namun kami bukan orang bodoh. Ketika bertarung melawan Rakyan Wanengpati kami terkena Paraga Gayuh Tresna. Kami tahu apa yang akan terjadi jika tak diobati. Dan karena kami tidak menjadi gila, karena telah sembuh, artinya kami telah diobati. Dan pasti kaulah yang mengobati kami…” “Hmmm.. Aku bukan tabib. Bagaimana mungkin aku bisa mengobati kalian?” Dhanapati mencoba berkilah. Dan mulai merasa tidak enak. “Hemmm… Kau benar-benar menganggap kami bodoh ya? Paraga Gayuh Tresna tak bisa diobati tabib sembarangan. Kiran juga tidak. Yang bisa mengobati hanya laki-laki. Dan karena di pondok ini hanya kau satu-satunya lelaki, pasti kau yang mengobati kami…” Dhanapati menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Merasa sedikit salah tingkah ditatap ketiga gadis cantik ini. “Tapi kalian tidak tahu pasti pengobatan seperti apa yang aku lakukan bukan?” “Memang kami tidak bisa mengingat dengan jelas,” kata Dara Biru. “Kami hanya merasa seperti mimpi. Yang pasti, mimpi itu terasa sangat menyenangkan…” “Ah… Aku hanya mencoba membantu. Dan aku minta maaf kalau…” “Oh kau tak perlu minta maaf. Justru kami yang perlu berterima kasih. Jika tak ada urusan dengan Kiran, kami pasti bisa membalas budimu dengan setimpal…” Dara Hijau berujar sambil melirik penuh arti. Dhanapati terdiam. Kini dia mengerti kenapa Putri Harum Hutan bersikeras mereka harus berpisah. Bukan semata urusan Kiran. Tapi juga dengan ketiga dara ini. Dara cantik, berilmu tinggi yang jelas sekali tidak bodoh. Walau hanya menduga namun kelihatannya mereka bisa memperkirakan apa yang telah dilakukan Dhanapati kepada mereka. “Dan sebelum kau pergi, kami ingin melakukan sesuatu. Sebagai ungkapan terima kasih. Harap kau tidak keberatan…” “Melakukan apa?” “Kau tak perlu tahu,” sahut Dara Merah sambil tertawa kecil. “Pejamkan matamu. Ayo…” “Ta… tapi..” “Pejamkan matamu Dhanapati….” Dengan terpaksa Dhanapati memejamkan matanya. Dengan keadaannya sekarang, dia tak bisa berbuat apa-apa jika ketiga gadis ini berniat jahat. Luka dalamnya memang sudah sembuh namun tenaga saktinya masih kacau. Dia kini pada hakekatnya hanyalah pemuda biasa yang bisa bersilat namun tak bisa menyalurkan tenaga sakti. Hidung Dhanapat mencium sesuatu yang harum. Dan dia mendengar desah tertahan. Dan Dhanapati kemudian merasa sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya. Sesuatu yang  lembut dan basah. Sesaat Dhanapati berdiam diri, tak tahu harus berbuat apa. Dan dia memutuskan untuk melayani ciuman Dara Merah.

***

Sunyi. Hanya bunyi binatang hutan yang terdengar. Dan desah tertahan Dara Merah… “Cu… cukup Dara Merah….” Dengan halus Dhanapati mendorong tubuh Dara Merah. Gadis itu tersengal. “Pejamkan matamu, Dhanapati…” kini Dara Biru yang maju… (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun