Mohon tunggu...
Padepokan Rumahkayu
Padepokan Rumahkayu Mohon Tunggu... -

Padepokan rumahkayu adalah nama blog yang dikelola oleh dua blogger yang suka bereksperimen dalam menulis, yakni Suka Ngeblog dan Daun Ilalang. 'Darah di Wilwatikta' ditulis bergantian oleh keduanya dengan hanya mengandalkan 'feeling' karena masing- masing hanya tahu garis besar cerita sementara detilnya dibuat sendiri-sendiri. \r\nTulisan- tulisan lain hasil kolaborasi kedua blogger ini juga dapat ditemukan di kompasiana.com/rumahkayu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Darah di Wilwatikta Eps 19: Airmata Luruh Membasahi Neraka

28 November 2011   04:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:06 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

FAJAR mulai menyingsing. Pertarungan antara Kiran melawan Iblis Sapta Kupatwa masih berlangsung seru. Kiran yang dikeroyok, sama sekali tidak terdesak. Bahkan gadis cantik ini menjalani pertarungan dengan santai. Setelah beberapa jurus, dia menyadari kalau ketujuh lawan ternyata tidak luar biasa. Jika mau, Kiran bisa mengalahkan mereka dengan mudah. Namun itu tidak dilakukan. Kiran sengaja menggunakan lawan untuk mengasah kemampuan. Seumur hidup, ini untuk pertama kali Kiran terlibat dalam perkelahian, melawan pihak yang benar-benar merupakan musuh. Selama ini dia mengolah kanuragan dengan ayah dan dua saudara lelaki. Karena hanya berlatih, pertarungan tak pernah dilakukan dengan serius. Berbeda dengan kali ini. Pihak lawan bermaksud menangkapnya. Dia menghadapi lawan yang nyata. Dia mengeluarkan jurus demi jurus, melihat bagaimana lawan kerepotan, dan di saat terakhir, dia mengubah jurus, tidak mau melukai lawan. Kiran, yang masih menikmati pertarungan, kaget ketika melihat Dhanapati sudah berada di halaman. Lelaki itu berdiri siaga dengan pedang yang menyeret tanah. Kenapa Dhanapati tiba-tiba keluar dari pondok? Pemikiran itu membuat Kiran memutuskan untuk secepatnya mengakhiri pertarungan, sebelum salah satu anggota Iblis Sapta Kupatwa menyerang Dhanapati!! Kiran menggerakkan selendang pelanginya. Selendang itu bergulung, mengeluarkan pendar cahaya yang menyilaukan. Indah. Dan sebelum lawan tersadar, dengan kecepatan yang sukar diikuti mata ujung selendang menotok jalan darah lawan. Nyaris bersamaan, ketujuh lawan tumbang, tak mampu menahan kedahsyatan Paramastri Mataksi Hila (Bidadari Menanyakan Hukum), jurus kelima dari ajian Sebya Indradhanu Paramastri. “Ajian Sebya Indradhanu Paramastri ternyata bukan nama kosong. Sungguh merupakan kehormatan bagi kami bisa menyaksikan kehebatan ajian ini…” terdengar suara bening yang membelai telinga. Kiran terkejut. Dan menoleh. Entah sejak kapan dan dengan cara bagaimana, di sebelah kanan telah berdiri tiga orang. Satu perempuan dan dua laki-laki. Kiran memegang selendangnya erat-erat. Ada tiga orang yang tiba-tiba datang, tanpa dia sadari. Ini membuktikan kalau ilmu kanuragan mereka hebat. Jauh lebih hebat dibanding Iblis Sapta Kupatwa!! “Siapa kalian?” Kiran bertanya dingin, sambil menoleh sekilas ke arah Dhanapati. Apakah kehadiran ketiga orang ini yang membuat Dhanapati keluar dari pondok? “Kami bukan musuh, putri Kiran,” ujar si perempuan. “Namaku Durgandini. Ini temanku, Rakai Wanengpati. Dan itu, Ki Brengos. Kami datang dengan damai…” Kiran mengamati ketiga orang itu. Yang mengaku bernama Durgandini adalah perempuan berwajah cantik, berusia sekitar 30-an. Dia mengenakan pakaian dari sutra yang sangat tipis, membuat lekuk tubuhnya membayang dan tercetak indah. Lelaki yang disebut Rakai Wanengpati berwajah tampan, berusia 40-an tahun. Kendati mengenakan pakaian mewah namun Kiran langsung merasa muak. Ada sesuatu pada pandangan mata lelaki itu yang membuat Kiran merinding. Sementara Ki Brengos adalah lelaki kurus yang wajahnya dipenuhi jambang, yang menimbulkan kesan aneh. “Kalian mau apa?” “Kami datang untuk mengundang Putri Kiran ke kediaman kami. Tuan Muda kami ingin bertemu dengan putri,” sahut Durgandini. Nada bicaranya lembut dan sangat enak didengar. Kiran menggeleng. Kembali melirik Dhanapati yang menundukkan kepala. “Aku sibuk. Aku harus menyembuhkan temanku. Katakan saja di mana tempat Ketua Muda kalian. Jika punya waktu, aku pasti akan menemui kalian…” “Maaf putri Kiran,” ujar Durgandini sambil tersenyum manis. “Ketua Muda kami bukanlah orang yang suka ditolak. Jika dia menginginkan putri untuk datang sekarang, maka dengan cara apapun kami harus mengupayakan agar putri bisa datang. Mohon bisa dipahami…” Kiran menatap ketiga orang itu lekat-lekat. Walau bersikap sopan, jelas sekali kalau keinginan mereka tak bisa ditolak!! “Kalau aku menolak, kalian akan memaksaku? Kalian mau melanggar aturan dalam Kitab Kutaramanawa?” Kembali Durgandini terdenyum manis. “Kitab Kutaramanawa berisi hukum untuk masyarakat Wilwatikta (Majapahit). Namun kitab itu tidak berlaku untuk kami. Undang-undang kami dalah perintah Tuan Muda…” “Sudahlah nimas Durgandini, percuma bicara padanya. Dia harus ditundukkan dengan kekerasan…” Durgandini menatap Rakyan Wanengpati. “Ah, bilang saja kalau kau sudah tidak sabar untuk menyentuh kulitnya yang mulus!!!” Rakyan Wanengpati tersipu dan menatap Kiran dengan sorot mata buas, seperti pengemis kelaparan yang melihat paha ayam. “Baiklah, jika putri menolak untuk ikut dengan sukarela, terpaksa kami bertindak,” ujar Durgandini. Nada bicaranya masih lembut. “Ki Brengos, habisi pemuda itu dan bantu kami menangkap putri…!!” Ki Brengos yang sejak awal berdiam diri, mengangguk perlahan dan mendekati Dhanapati. “Jangan ganggu dia!!!” Kiran berteriak penuh khawatir, dan menyerang Ki Brengos. Yang diserang melompat menghindar. “Kau tak perlu mengkhawatirkan pemuda itu. Lebih baik kau memikirkan dirimu sendiri,” kata Rakyan Wanengpati, yang menghadang. Dengan kurang ajar dia menggerakkan tangannya ke dada Kiran!! Kiran tentu saja tak sudi dadanya disentuh lawan. Dia melompat dan mengayunkan selendangnya. Namun di saat bersamaan dia mendengar kisaran angin dingin. Durgandini menyerang dari samping. Gerakannya indah. Kiran kembali melompat menghindar. Dan dalam sekejap dia telah dikepung oleh dua kekuatan yang menghimpit.

***

“Kau sudah terluka. Jika tak ingin mati mengenaskan, lebih baik kau membunuh diri saja,” Ki Brengos berujar sambil menatap Dhanapati. Pemuda itu tersenyum tipis. “Nyawa adalah pemberian Dewata yang Agung. Jika ingin dicabut, biarlah Dewata yang melakukan. Aku yang lemah hanya berusaha mempertahankan nafas…” Ki Brengos menatap Dhanapati, seperti tidak tega. Dia bukanlah orang yang suka menyerang pihak yang sudah terluka. Namun perintah adalah perintah. Dan perintahnya jelas. Pemuda ini harus dibunuh. “Kalau begitu terimalah kematianmu!!!” Ki Brengos menyerang dengan pukulan sederhana, meninju langsung ke dada. Pukulannya hebat. Dhanapati merasakan hawa serangan yang dahsyat. Dia membiarkan tubuhnya seperti terseret angin serangan. Dan sejentik jari kemudian, dengan tubuh terhuyung dia bergerak satu langkah ke kiri dan dua langkah ke belakang. Pukulan lawan luput!! “Ehhh???” Ki Brengos kaget melihat lawan dengan aneh bisa menghindar. Dengan sekali pandang dia melihat kalau gerakan pemuda itu tak dibarengi tenaga sakti. Pasti kebetulan, pikirnya. Ki Brengos kembali menyerang. Kedua lengan diayunkan bergantian, diakhiri dengan tendangan melingkar. Pemuda yang diserang melangkah terhuyung. Seperti hendak jatuh. Namun lagi-lagi, dengan aneh dia berhasil luput dari serangan. Ki Brengos makin penasaran. Dia menyerang bertubi-tubi. Kedua lengan yang digerakkan dengan tenaga sakti mencecar ganas, berpadu dengan tendangan. Namun lagi-lagi, sambil sempoyongan pemuda itu bisa menghindar!! Ki Brengos menatap lawannya, dan kemudian ke kaki pemuda itu. Enam jurus sudah berlalu, dan pemuda itu tetap bisa meluputkan diri. Ini pasti bukan kebetulan. “Kau boleh juga. Coba kau hindari serangan ini…” Ki Brengos melompat dan mengayunkan kedua kakinya bergantian. Gerakannya secepat kilat, dibarengi jotosan bertubi. Sambil menyerang Ki Brengos mengamati gerakan lawan. Sama seperti sebelumnya, pemuda itu bergerak limbung. Seperti hendak roboh. Dan lagi-lagi, pemuda itu bisa menghindar!! “Ah, Ajian Deva Saunda!! Kau menguasai Ajian Deva Saunda (Dewa Mabuk)?” Setelah mengamati, Ki Brengos dapat melihat bahwa di balik gerak tubuh sempoyongan, pemuda itu bergerak dengan langkah tetap. Kedua kakinya bergerak dengan formasi yang sukar ditebak. Dan melihat gerakan kaki, Ki Brengos yang berpengalaman langsung bisa menebak apa ajian yang digunakan pemuda itu guna menghadapi serangannya. Dhanapati tidak menjawab. Dia mencoba mengatur nafasnya yang kini terengah. Sama sekali tak diduga kalau nyawanya untuk sementara diselamatkan oleh Ajian Dewa Mabuk!!

***

Dua tahun lalu, ketika bertugas memburu buronan yang bersembunyi di Daha, Dhanapati menolong seorang kakek pengemis yang tergeletak di selokan. Pengemis yang mabuk ini dipenuhi borok di sekujur tubuh. Dengan telaten, sama sekali tidak merasa jijik, dia mengobati kakek itu hingga sembuh. Pengobatan dilakukan di sebuah kuil yang terlantar. Sama seperti anggota Bhayangkara Biru lainnya, Dhanapati adalah pendekar yang welas asih. Yang tak bisa menutup mata melihat orang lain menderita. Bhayangkara Biru boleh saja kejam terhadap penjahat dan musuh kerajaan. Namun terhadap masyarakat yang menderita mereka akan membantu. Tanpa pamrih. Tanpa diminta. Kakek pengemis itu akhirnya sembuh. Luka-lukanya mengering. Dan Dhanapati kemudian menyadari kalau kakek yang ditolongnya bukan orang sembarangan. “Kita telah bertemu tanpa direncanakan. Itu namanya jodoh. Kau berjodoh dengan Ajian Dewa Mabuk,” kata si pengemis. Dhanapati saat itu terdiam. Ajian Dewa Mabuk adalah salah satu ilmu andalan Partai Pengemis, sebuah kelompok yang sangat disegani di dunia persilatan Jawadwipa. Konon Ajian Dewa Mabuk hanya dikuasai oleh petinggi Partai Pengemis. Apakah kakek ini petinggi Partai Pengemis? “Dengan segala hormat, hamba bukan pemabuk. Jadi tak bisa mempelajari ajian itu,” kata Dhanapati merendah. Dia biasa minum tuak, tentu saja, sama halnya dengan sesama anggota Bhayangkara Biru. Namun mereka bukanlah pemabuk dan tak pernah berniat untuk menjadi pemabuk. “Untuk mempelajari Ajian Dewa Mabuk kau tak perlu menjadi pemabuk. Ajian Dewa Mabuk selain untuk menyerang juga ampuh dalam bertahan. Gerakan kaki ajian ini mengacu pada 72 bintang di angkasa…” kata si kakek, yang enggan menyebut siapa jati dirinya. Merasa tak enak terus menolak, Dhanapati pun dengan ‘terpaksa’ mempelajari ajian itu. Ajian Dewa Mabuk diperdalam bersama rekan-rekannya di Bhayangkara Biru. Dhanapati tak pernah menggunakan ajian itu. Hingga kini.

***

Kiran merasa desakan yang sangat kuat. Desakan yang membuat nafasnya sesak. Sama seperti yang diduga, kedua lawan sangat tangguh. Bahkan terlalu tangguh. Bahkan jika berhadapan satu lawan satu Kiran tak yakin bisa menang. Untunglah, kedua lawan hanya bermaksud melumpuhkan, dan bukan melukai. Rakyan Wanengpati bahkan hanya ingin sekedar mencolek tubuh, yang sejauh ini belum terpenuhi. Kiran menggerakkan selendangnya. Namun jurus Puspa Sriya Nagata Gurdaka (Bunga Mekar Diterpa Amarah) seperti tak berarti apa-apa. Rupanya kedua lawan sudah tahu bagaimana memecahkan ajian Sebya Indradhanu Paramastri. Yakni bertarung dalam jarak dekat. Pada jarak dekat, Kiran tak bisa menggerakkan selendangnya dengan maksimal. “Sreeet… Sretttt!!!” Durgandini dan Rakyan Wanegpati yang sudah di atas angin tiba-tiba dikejutkan oleh datangnya serangan yang mengiris. Mereka melompat mundur. Kiran tidak mengejar. Dia berdiri tenang. Lengan kirinya masih menggenggam selendang. Sementara jemari tangan kanan kini menggenggam kipas. Dengan anggun dia menggerakkan kipas ke wajah, merasakan semilir angin pagi. Dia menatap sekeliling. Dan nyaris tidak percaya. Dhanapati masih hidup!! Walau dengan gerakan sempoyongan tak menentu namun sejauh ini Dhanapati masih bisa mempertahanakan nyawanya. Melihat Dhanapati, semangat Kiran tumbuh. Dia menatap lawan. Tanpa gentar.

***

Dhanapati boleh saja menguasai Ajian Dewa Mabuk yang hebat. Namun bagaimanapun, dia belum pulih benar. Luka di dalam tubuh bahkan belum sepenuhnya sembuh. Perlahan, gerakannya mulai melambat. Ki Brengos dapat melihat perubahan itu. Gerakan kaki si pemuda tak lagi segesit sebelumnya. Ki Brengos mencecar, menanti kesempatan. Dan akhirnya kesempatan itu tiba. Melihat gerakan si pemuda makin lambat, dia bergerak cepat. Tinju diayunkan, diikuti gerakan menyikut. Namun pukulannya lagi-lagi mengenai angin. Dan Ki Brengos merasa sesuatu yang dingin menerpa tenggorokannya. Dia terbelalak ketika tiba-tiba kedua kakinya terasa berat. Dan di bawah sinar sang Surya yang mengintip malu-malu, dia melihat darah. Yang meluncur dari tenggorokannya. Seperti air mancur di taman kotaraja!! Ki Brengos hendak berucap. Namun kata-katanya lenyap ditelan angin pagi. Ki Brengos menatap pemuda itu, menatap pedangnya yang berlumuran darah, yang menetes di permukaan tanah berembun. Tetesan darah yang seperti air mata para bidadari yang menantinya di Negeri Kematian. Dan kemudian gelap. Kegelapan abadi.

***

Dhanapati menarik nafas panjang. Siasatnya berhasil. Ketika merasa tubuhnya melemah, Dhanapati tak bermaksud menyembunyikan keadaannya. Dia ingin lawan merasa lengah karena merasa diintip kemenangan. Ketika menghindar dengan ajian Dewa Mabuk, Dhanapati tetap menggenggam Pedang Api, yang terkadang digunakan untuk menopang tubuh. Dengan sabar dia menanti kesempatan. Dan di saat terakhir, ketika lawan tak waspada, Dhanapati balas menyerang. Satu jurus. Satu serangan. Serangan pertama dan satu-satunya. Dhanapati sadar, tubuh lawan dipenuhi tenaga sakti. Karena itu dia sengaja menyerang tenggorokan. Sama halnya dengan mata, tenggorokan adalah organ tubuh terlemah yang tak bisa atau sukar dialiri tenaga sakti. Jurus Kabarabas Patanti Melutruh Yamaloka (Air Mata Luruh Membasahi Neraka) lagi-lagi meminta darah. Dan nyawa. Dhanapati memejamkan mata. Kepalanya terasa pening. Dan tiba-tiba terdengar jeritan. Jeritan dari mulut Kiran!! (bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun