Mohon tunggu...
Padepokan Rumahkayu
Padepokan Rumahkayu Mohon Tunggu... -

Padepokan rumahkayu adalah nama blog yang dikelola oleh dua blogger yang suka bereksperimen dalam menulis, yakni Suka Ngeblog dan Daun Ilalang. 'Darah di Wilwatikta' ditulis bergantian oleh keduanya dengan hanya mengandalkan 'feeling' karena masing- masing hanya tahu garis besar cerita sementara detilnya dibuat sendiri-sendiri. \r\nTulisan- tulisan lain hasil kolaborasi kedua blogger ini juga dapat ditemukan di kompasiana.com/rumahkayu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Darah di Wilwatikta Eps 29: Wayang Golek Tanpa Darah

8 Desember 2011   08:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:41 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

PEMUDA itu perlahan menyeruput tuaknya, dan melirik. Jadi mereka itu yang disebut sebagai penghuni Padepokan Rumahkayu, pikirnya. Sekilas, mereka tak berbeda dengan orang kebanyakan. Nyai Daunilalang terlihat seperti ibu biasa. Mengenakan kemben berwarna biru, dia terlihat berbicara sambil sesekali tertawa lepas dengan mbakyu Tri. Sementara Pendekar Misterius, menyesuaikan diri dengan julukannya. Dia tetap mengenakan caping lebar yang membuat wajahnya tak terlihat. Dia juga terlihat lebih banyak menundukkan kepala. Penghuni Padepokan Rumahkayu mendatangi Pawon Manterakata. Apakah hanya kebetulan? Pemuda itu mencoba menajamkan telinga, mencoba mendengar percakapan. Namun yang diperbincangkan Nyai Daunilalang dan Mbakyu Tri hanya percakapan dua orang ibu yang mengagumi buah hati masing-masing. Hmm, aku ingin tahu bagaimana reaksi Bhagawan jika mengetahui penghuni Padepokan Rumahkayu kini ada di Trowulan, pikir pemuda itu, yang tak lain adalah Sancaka, orang keenam di Bhayangkara Biru. Sancaka secara khusus ditugaskan Bhagawan untuk mengamati Pawon Manterakata. Penghuni Padepokan Rumahkayu, adalah sosok yang diberi perhatian khusus oleh Bhagawan. Dalam beberapa pertemuan Bhagawan selalu mengingatkan untuk sedapat mungkin tidak mencari masalah dengan Padepokan Rumahkayu. "Bukan berarti kita takut. Tidak. Bhayangkara Biru tak takut pada siapapun. Namun menjadikan penghuni Padepokan Rumahkayu sebagai musuh sama sekali tidak menguntungkan. Apalagi sejauh ini sikap mereka jelas. Mereka membenci kejahatan dan tak suka melihat ketidakadilan..." kata Bhagawan Buriswara. Tentu saja, Bhagawan tak perlu mengingatkan. Seluruh anggota Bhayangkara Biru mengetahui sepak terjang penghuni Padepokan Rumahkayu. Termasuk ketika mereka menggemparkan Jawadwipa, dalam peristiwa yang dikenal dengan "Phalguna Berdarah". Peristiwa itu terjadi di bulan Phalguna (bulan kedelapan menurut kalender Jawa kuno, sekitar bulan Februari-Maret kalender modern) dua tahun lalu. Aliran Penyembah Api, kelompok yang dikenal karena memiliki banyak tokoh sakti, menculik Pradipta, putra penghuni Padepokan Rumahkayu yang ditinggal hanya ditemani beberapa emban di rumah. Nyai Daunilalang dan Pendekar Misterius geram bukan main ketika menemukan surat tantangan yang ditempel di dinding. Surat itu berbunyi:

Jika ingin putra kalian selamat, datanglah ke Puncak Api.

Tanpa gentar, Pendekar Misterius dan Nyai Daunilalang mendatangi Puncak Api. Dan tentu saja, mereka bukanlah laron yang mendekati api. Pertarungan sengit terjadi sehari penuh. Pendekar Misterius dan Nyai Daunilalang, secara sendiri-sendiri maupun bersama berturut-turut mengalahkan 13 Penjaga Gerbang, 11 Penyambut Tamu, 9 Kekacauan, 7 Murka, 5 Anasir dan Tiga Api Suci. Puncaknya, mereka bertarung dengan Dewa Api, yang disebut-sebut memiliki kesaktian bagai dewa. Semua lawan dibabat tanpa ampun. Yang dibiarkan hidup hanya beberapa pengurus rumahtangga yang tak paham bela diri, dan beberapa perempuan dan anak-anak. Beberapa saat sebelum membakar markas Aliran Penyembah Api, Pendekar Misterius dan Nyai Daunilalang membagi semua harta kepada mereka yang dibiarkan hidup, dan meminta mereka kembali ke tempat asal. Mereka yang selamat inilah yang menceritakan kepada khalayak bagaimana sepak terjang penghuni Padepokan Rumahkayu, termasuk kalimat terakhir yang diucapkan Nyai Daunilalang beberapa saat sebelum memenggal kepala Dewa Api. Saat itu Nyai Daunilalang berkata: Kalian salah memilih musuh !! Kalimat itu menjadi legenda.

***

Kelima gadis itu meninggalkan hutan. Tiga Dara berjalan di belakang, berbisik sambil sesekali tertawa cekikikan. Tanpa henti, mereka saling menceritakan perasaan mereka sehubungan dengan peristiwa yang terjadi semalam. Putri Harum Hutan berjalan di samping Kiran. Seperti biasa, Putri Harum Hutan berjalan dengan penuh waspada. Kiran berjalan seperti wayang golek yang tanpa darah. Wajahnya pucat, matanya sayu. Sesekali dia menarik nafas panjang.

Putri Harum Hutan sengaja tidak mau menghibur. Cepat atau lambat, Kiran harus mengetahui realita kehidupan. Bahwa ada saat tertentu ketika seseorang tak bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Bahwa yang terjadi bisa saja sangat berbeda dengan yang diharapkan. "Sebentar lagi kita tiba di Dukuh Sangkor," kata Putri Harum Hutan. "Kita beristirahat sejenak di sana, mungkin makan di kedai, sebelum melanjutkan perjalanan..." Tujuan mereka adalah Trowulan, tepatnya di Graha Harum, tempat peristirahatan yang khusus didirikan pihak kerajaan untuk keluarga besar Putri Harum Hutan. Karena Graha Harum didirikan kerajaan, seharusnya itu menjadi tempat yang aman bagi Kiran. Pihak pengejar, siapapun mereka pasti akan berpikir seribu kali untuk menyerbu sebuah rumah yang didirikan kerajaan secara khusus. Dukuh Sangkor kini ada di depan mata. Nampak rumah-rumah sederhana yang terbuat dari bambu, yang berjejer. "Ada yang tidak beres," desis Kiran. Gadis itu menghentikan langkahnya. "Apanya yang tidak beres?" Putri Harum Hutan segera bersiaga. "Dukuh itu. Terlalu sunyi. Bukankah seharusnya Dukuh Sangkor itu ramai?" Putri Harum Hutan mengamati. Kiran benar, pikirnya. Dukuh ini terlalu sunyi. "Ah apa ini?" Dara Merah tiba-tiba memekik. Tepat di belokan, mereka melihat pemandangan yang membuat mereka tertegun. Nampak seekor ayam betina dan tujuh anak ayam tergeletak tak bergerak. Juga dua ekor anjing, tiga ekor kucing, dua ekor ayam jantan dan lima bebek. Semuanya tergeletak di tanah. Tak Bernyawa. "Tubuh mereka belum mengeras dan belum dikerubuti semut. Berarti hewan-hewan ini baru saja mati," kata Kiran sambil menyentuh hewan itu dengan ujung kaki. "Astaga... Lihat..." Seru Dara Biru. Bukan hanya hewan yang tergeletak. Tapi juga manusia. Ada belasan orang yang tergeletak di tengah jalan. "Yang ini masih hidup namun sekarat," kata Putri Harum Hutan yang berjongkok di dekat seorang lelaki bertelanjang dada. "Menurutmu apa yang terjadi?" Kiran membungkuk, memeriksa kelopak mata, meraba denyut nadi dan membuka mulut koban yang selamat. "Mereka terkena racun. Racun yang sangat ganas..." desis Kiran. Putri Harum Hutan mengangguk. "Kalian periksa setiap rumah. Cari tahu kalau ada yang selamat. Mereka yang selamat kumpulkan di sini untuk diobati," katanya kepada tiga dara. Kiran meneruskan memeriksa mereka yang tewas. Mata mereka seperti berdarah. Kulit membiru. Jelas sekali kalau racun yang menyerang mereka sangat mematikan. Dan tiba-tiba dia tertegun. "Rasanya aku mendengar orang merintih dari rumah itu," katanya kepada Putri Harum Hutan. "Iya. Kau periksa di sana. Aku juga mendengar tangisan bayi di rumah yang sebelah itu..." Putri Harum Hutan memasuki rumah itu. Dan ternyata benar. Ada sesosok bayi mungil yang masih hidup. Tangisan bayi itu kini lebih mirip rintihan. "Shhh... Shhh, tenang anak manis. Kau selamat sekarang," bisik Harum Hutan sambil memeluk bayi itu. Di luar, tiga dara masing-masing membopong satu orang. "Hanya tiga ini yang selamat. Yang lain tewas," kata Dara Merah. Putri Harum Hutan mengangguk. "Nanti Kiran menolong mereka. Kita sedapat mungkin harus membantu Kiran mengobati yang selamat, dan kemudian mencari tahu kenapa mereka bisa begini..." "Kiran di mana?" Dara Hijau bertanya. "Dia mendengar orang merintih di rumah itu. Coba kau susul..." Dara Hijau memasuki rumah itu, dan sesaat kemudian keluar. Wajahnya pucat. "Pu... putri, Kiran tak ada...." "Hah? Bagaimana mungkin? Dia tadi memasuki rumah itu." Dengan cepat dia melompat memasuki rumah itu, diikuti tiga dara. Rumah itu kosong. "Kemana dia?" "Jangan-jangan dia pergi?" Putri Harum Hutan menggeleng. "Tidak. Itu bukan sifatnya. Ada banyak orang yang memerlukan bantuannya. Kiran tak mungkin meninggalkan mereka yang perlu bantuan..." "Jadi artinya..." "Artinya dia diculik. Sial. Kenapa aku bisa lengah?" Putri Harum Hutan membanting kakinya. "Aku bodoh. Seharusnya aku sadar kalau aksi meracuni orang ini hanya sebagai pengalihan. Dan sasarannya Kiran!" "Putri, lihat!" seru Darah Merah sambil memungut sesuatu. "Bukankah ini tusuk konde milik Kiran?" Karena pernah bersama di pondok, mereka bisa mengenali tusuk konde milik Kiran, yang dibuat dari kayu jati dan diukir berbentuk kembang. "Berarti benar. Telah terjadi sesuatu. Kiran diculik. Dara Merah, kau pergi ke dukuh terdekat, cari tabib. Dara Biru, cari air bersih. Dara Hijau, kau jaga mereka yang selamat..." "Putri akan kemana?" "Aku akan mencari Kiran. Kemana lagi?" "Tapi putri," kata Dara Hijau,"Kita semua tahu kalau kepandaian beladiri Kiran tidak di bawah kita. Kiran sudah cukup hebat. Namun dia berhasil diculik. Itu artinya..." "Aku tahu... aku tahu," sergah Harum Hutan kesal. "Artinya yang menculik memiliki ilmu beladiri yang jauh di atas kita. Tapi aku tidak takut. Aku telah berjanji menjaga Kiran dan itu akan aku lakukan bahkan jika harus berkorban nyawa..." Putri Harum Hutan kemudian bersiut. Dua ekor merpati berwarna putih dengan jinak hinggap di bahunya. Putri Harum Hutan mengambil dua carik kain, dan menulis. Kalimatnya singkat. Sangat singkat:

Kalung berhasil dicuri orang.
Berusaha mencari si pencuri.

Putri Harum Hutan melipat kain-kain itu menjadi potongan kecil dan mengikatkan ke kaki kanan kedua merpati. "Kau pergi ke Padi Emas dan kau ke Trowulan, ke Pawon Manterakata," bisik Harum Hutan. "Ayo pergi. Hush...hush..." Kedua merpati itu terbang berputar, dan akhirnya menembus awan. Masing-masing menempuh jalan yang berbeda. "Aku pergi sekarang," kata Harum Hutan. "Dan jika menjelang malam aku tidak kembali..." "Putri..." "Jika menjelang malam aku tidak kembali, kalian harus pergi ke Pawon Manterakata. Dan jangan bertindak gegabah. Mengerti? Aku pergi..." Putri Harum Hutan melompat ke pohon tertinggi. Mengamati. "Ah Kiran, apa yang terjadi denganmu? Di mana kau sekarang?"

***

Di dukuh Sangkor yang kini beraroma kematian, ketiga dara menatap junjungannya hingga hilang dari pandangan. Entah kenapa, mereka punya perasaan yang sangat kuat bahwa itulah pertemuan mereka yang terakhir dengan Putri Harum Hutan!!! (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun