ANGIN berbisik lirih, seperti ingin mengusir rasa penat yang mengguyur keenam sosok yang duduk bersila. Mereka, lima lelaki dan satu perempuan tenggelam dalam keheningan. Mereka duduk di halaman berdebu, yang mengeras oleh pijakan kaki selama bertahun-tahun. Mereka bersila di atas potongan kulit kambing yang dikeringkan, dan duduk berdasarkan urutan. Seperti yang sudah berlaku sejak hampir satu setengah tahun terakhir, ada satu potongan kulit kambing yang kosong. Tempat yang seharusnya diduduki Dhanapati, orang kelima di Bhayangkara Biru.
***
Seorang lelaki masuk, penuh kharisma, yang memaksa keenam sosok itu menengadah. Dia berwajah agung, paduan antara ketegasan dan keanggunan, dengan mata setajam elang dengan rahang yang kokoh. Lelaki itu bertubuh tegap dan gagah, bagai beruang muda yang lapar. Dia mengenakan pakaian mewah yang bagian dada kiri bersulam burung Garuda mengepakkan sayap. Mengenakan pakaian dengan sulaman burung Garuda adalah ide Bhagawan Buriswara, lelaki gagah itu, beberapa saat setelah ditunjuk Yang Mulia Mahapatih mengepalai Bhayangkara Biru, organisasi ‘rahasia’ yang bertugas memburu para musuh kerajaan dan musuh masyarakat. Ide yang diungkap Bhagawan Buriswara awalnya dianggap sebagai keanehan. Saat itu, masyarakat Majapahit belum terbiasa mengenakan busana untuk tubuh bagian atas. Pria, wanita, bangsawan hingga rakyat jelata umumnya hanya mengenakan busana sebatas pinggang. Bagian atas dibiarkan terbuka. Para perempuan umumnya melengkapi tubuh bagian atas dengan sejumlah perhiasan, seperti kalung beraneka bentuk. Bhagawan Buriswara ingin Bhayangkara Biru menjadi kelompok elit yang tak hanya dikenal karena perbuatan, namun juga oleh penampilan. Dia memberi warna baru untuk sebuah organisasi yang seharusnya rahasia, dan secara hukum tidak pernah diakui keberadaannya.
***
Bhagawan Buriswara duduk di sebuah batu kecil setinggi dua jengkal. Dan menatap keenam anggotanya. Mereka nampak letih, padahal Sang Surya baru saja terbit dari peraduannya. “Jadi, Dhanapati masih hidup?” Buriswara membuka percakapan. Suaranya menggelegar. “Bagaimana mungkin seseorang yang terluka parah, yang sebelah kakinya sudah berada di akhirat bisa lolos dari kejaran dua anggota Bhayangkara Biru?” Bhagawan Buriswara menatap Brontoseno dan Kebo Wungu. Brontoseno, orang kedua di Bhayangkara Biru menghaturkan sembah di dada. “Rupanya, Dewata yang Agung belum menghendaki kematiannya. Dia diobati seorang tabib muda, yang kemudian membawanya ke kediaman Pendekar Padi Emas. Kami sempat terkecoh karena Pendekar Padi Emas rupanya memasukkan Dhanapati dan tabib penolongnya ke dalam kereta berisi hasil bumi. Belakangan, kami menemukan jejak mereka di Pondok Harum milik Putri Harum Hutan…” “Dan kami juga menemukan informasi yang mengejutkan,” tambah Kebo Wungu. “Tabib muda yang menolong Dhanapati bukan sembarang tabib. Dia adalah pewaris terakhir ajian Sebya Indradhanu Paramastri. Dia bernama Kirana dan biasa disapa Kiran…” Kebo Wungu, orang ketujuh di Bhayangkara Biru itu berhenti sejenak, dan kemudian berkata perlahan, kata demi kata. “Sang Surya sudah terbit dan menanyakan hujan….” “Ahhhh! Jadi dia orangnya…” Bhagawan Buriswara mengelus jenggotnya yang kasar. “Jagat persilatan di Jawadwipa akan terguncang jika kabar tentang kehadirannya bocor…” “Emm, entah dengan cara bagaimana, namun ada pihak yang rupanya sudah mengetahui keberadaannya. Ada yang berusaha menculik dan ada juga yang berupaya melindunginya….” “Benar Bhagawan. Beberapa pendekar dari golongan putih berupaya melindunginya. Selain Pendekar Padi Emas dan Putri Harum Hutan, ada juga Pendekar Codet, Pendekar Mata Naga dan Pendekar Harimau Hitam. Kebetulan aku sempat menemukan jejak mereka di pasar. Mereka, para pendekar dari golongan putih ini mengadakan pertemuan di Pawon ManteraKata,” sahut Sancaka. “Hmmm… Menarik sekali,” kata Buriswara. “Pasti mereka adalah bagian dari Para Pelindung Yang Tersumpah. Dan tentang pemilik kedai ManteraKata, kita sudah lama tahu kalau mereka sebenarnya adalah jagoan yang menyamar bukan? Mengenai pihak yang berusaha menculik, dari mana mereka?” “Ini yang tidak kami pahami, Bhagawan,” sahut Brontoseno. “Beberapa pihak yang terlibat dalam upaya penculikan Kiran selama ini dikenal sebagai pendekar pengembara, yang tidak terikat dalam perguruan atau padepokan tertentu. Namun rupanya kini mereka digerakkan oleh sebuah kekuatan rahasia yang belum jelas siapa…” “Brontoseno benar Bhagawan. Delapan Pedang Gunung Lawu, Lima Cakar Ganas, Iblis Sapta Kupatwa, Durgandini dan Rakyan Wanengpati bisa bekerjasama, sesuatu yang rasanya mustahil. Tapi itu yang terjadi. Durgandini sempat menyebut tentang Ketua Muda. Namun belum jelas siapa dia…” kata Kebo Wungu. “Jadi Dhanapati dan Kiran kini berada di Pondok Harum?” “Tadinya begitu, Bhagawan. Namun setelah kami periksa, mereka tak berada di sana. Kelihatannya mereka lolos melalui semacam jalan rahasia…” “Dan kalian tidak menemukan jalan rahasia itu?” “Hmm… Kami tak pantas menjadi anggota Bhayangkara Biru jika tak menemukan jalan rahasia itu. Di balik sebuah air terjun kami menemukan goa setinggi pinggang. Namun kami tidak memeriksa hingga ke dalam. Terlalu berbahaya jika kami diserang atau jika gua itu dipasangi jebakan…”
Bhagawan Buriswara mengangguk, berpikir keras sambil tetap mengelus jenggotnya. “Urusan kita adalah dengan Dhanapati. Dia menjadi duri jika tak juga dibereskan. Tentang Kiran, kita mengamati saja. Sepanjang tidak mengganggu Kerajaan kita tak perlu ikut campur…” “Maaf, Bhagawan,” Ayu Ningrum, satu-satunya perempuan di Bhayangkara Biru tiba-tiba menghaturkan sembah. “Apakah tidak memungkinkan jika kita mengampuni Dhanapati? Mengingat apa yang telah dia lalui…” “Kita bisa saja mengampuni dia, Ayu Ningrum. Pertanyaannya, apakah Dhanapati akan mengampuni kita? Setelah apa yang kita lakukan, apakah dia akan begitu saja memaafkan? Aku tidak akan merasa heran jika kelak, suatu hari nanti Dhanapati muncul di sini dan menantang kita satu per satu..” Bhagawan Buriswara menatap keenam anggotanya. “Ingat, Dhanapati sendiri yang memilih jalannya. Ketika memutuskan meninggalkan Bhayangakra Biru, dia telah menulis sendiri sejarah hidupnya. Dia yang memutuskan nasibnya!!” “Maaf Bhagawan,” Bayu Segara yang sejak tadi berdiam diri tiba-tiba bicara. “Sudah hampir dua tahun posisi Dhanapati sebagai orang kelima di Bhayangkara Biru kosong. Apa tidak sebaiknya dicari pengganti? Maksudku, tak akan ada yang bisa menggantikan Dhanapati. Namun bagaimanapun, akan lebih mudah bagi kita bekerja bertujuh daripada berenam seperti sekarang…” “Aku sudah memikirkan itu, Bayu Segara,” kata Buriswara. “Bahkan aku sudah memulai mencari siapa yang bakal menggantikan Dhanapati. Sudah ada tiga nama yang masuk. Yakni dari Wengker, yang katanya merupakan pewaris ilmu kanuragan yang dulu dikuasai Senopati Utama Ranggalawe, seorang pendekar perempuan dari Padepokan Pucuk Daun dan putra seorang Mpu dari Gunung Bromo. Mungkin menjelang purnama mendatang kita akan melakukan seleksi…” Nyaris bersamaan, keenam anggota Bhayangkara Biru menatap kulit kambing kosong yang biasanya diduduki Dhanapati. Bagaimana rasanya melihat seorang asing menduduki kulit itu? “Brontoseno dan Kebo Wungu, kalian tetap mencari Dhanapati. Selesaikan tugas yang belum tuntas. Sancaka, kau amati kedai ManteraKata dan lihat jika ada yang mencurigakan. Ayu Ningrum, tugasmu mencari tahu siapa di balik kelompok yang berusaha menculik Kiran. Bayu Segara dan Lembu Kapang, kalian mencari Ki Bendot Penduti. Terakhir jejaknya menghilang di Kahuripan. Ki Bendot Penduti sudah banyak menyusahkan rakyat. Habisi dia…” Melihat anggotanya mengangguk Bhagawan Buriswara melanjutkan,” Ingat, di bulan Bhadrapada mendatang kalian harus berkumpul di sini. Wilwatikta akan kedatangan tamu, rombongan dari Pakuan Sunda yang membawa Putri Dyah Pitaloka Citraresmi. Kerajaan Pakuan Sunda sudah menerima pinangan Yang Mulia Baginda Raja. Kita akan menemani Mahapatih menemui para tamu di Lapangan Bubat…” “Kalau rombongan Pakuan Sunda datang membawa calon penganten untuk Baginda Raja, kenapa harus ditemui di Lapangan Bubat dan bukannya keraton?” Ayu Ningrum bertanya. “Sebagai abdi kerajaan, tugas kita adalah melaksanakan dan bukannya mempertanyakan perintah. Yang Mulia Mahapatih mengatakan kita akan menyambut tamu di Lapangan Bubat. Dan itulah yang akan kita lakukan…” Keenam anggota Bhayangkara Biru saling pandang. Seperti biasa, Yang Mulia Mahapatih penuh dengan berbagai ide, walau terkadang mengejutkan. Namun menerima rombongan yang membawa penganten di sebuah lapangan? Entah kenapa, mereka merasa ada yang tidak beres. Entah apa…
***
Aroma harum semerbak menggugah selera menggoda penciuman Dhanapati dan Kiran yang mendekati pondok. Putri Harum Hutan dan ketiga dara rupanya baru saja memasak. Nasi putih yang masih mengepul diletakkan di atas daun pisang yang dihamparkan di atas rerumputan. Lima ekor ikan air tawar selebar telapak tangan sudah dibakar dan juga diletakkan di atas daun. Sayur kangkung rebus, pisang matang dan beberapa butir buah mangga diletakkan di wadah keramik. “Kita makan dulu. Nanti menjelang malam kita berlatih,” kata Putri Harum Hutan. “Ini latihan kita yang terakhir di tempat ini karena besok kita harus pergi…” “Kita akan pergi ke mana?” “Ketempat yang lebih aman. Di sini masih rawan…” “Tapi aku belum selesai mengobati Dhanapati…” “Dhanapati bukan anak kecil. Lagipula kau tidak bisa mengobati dia selamanya. Itu terlalu berbahaya. Karena itu, besok Dhanapati tidak akan ikut dengan kita…” “Ah…. Tapi kenapa?” (bersambung)
** gambar diambil dari: www.todayscampus.com **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H