PETANG melarut menuju malam di Trowulan.
Sudah waktunya kedai Pawon ManteraKata tutup. Kedai itu memang hanya buka hingga petang hari.
Begitu Pendekar Codet, Matanaga dan Harimau Hitam meninggalkan kedainya, Hestrinaputri, sang pemilik kedai yang biasa disapa dengan nama Mbakyu Tri mulai membereskan peralatan makan serta cangkir- cangkir yang tersisa di atas meja. Setelah itu satu persatu kursi kayu digeser, dimasukkan ke bawah meja. Jendela- jendela juga mulai ditutup.
Dia baru saja hendak menutup pintu ketika tiga orang tamu menerobos masuk.
Mbakyu Tri menyambut tamunya dan berkata, “ Nyuwun sewu, maaf, tapi kedai ini sudah hendak tutup. “
Tiga orang tamu itu menoleh tapi tak memperdulikan apa yang dikatakannya. Persis seperti yang telah diduga sebelumnya. Ketiganya terus masuk ke dalam kedai dan duduk di sebuah bangku yang terletak di pojok kedai.
Mbakyu Tri mematikan beberapa lampu cempor, berharap bahwa mereka mengerti isyaratnya dan segera meninggalkan tempat itu tanpa dia harus mengatakan apa- apa lagi.
Tapi sama dengan yang telah beberapa kali terjadi sebelumnya, ketiga tamu itu tak perduli.
Mbakyu Tri gelisah.
Tamu itu terdiri dari dua orang perempuan dan seorang lelaki. Tak seorangpun dari mereka yang disukai Mbakyu Tri.
Perempuan pertama, dikenal dikalangan pendekar dengan nama Lendi Cidra. Dia peramu obat untuk kalangan keluarga keraton. Lendi Cidra sering membeli bahan ramuan obat di toko obat yang berada tak jauh dari Kedai ManteraKata dan mampir ke kedai setelah itu. Selalu pada petang hari saat tamu- tamu lain telah meninggalkan kedai dan Mbakyu Tri juga bersiap pulang.
Diliriknya ketiga tamu tersebut. Mereka duduk di bangku pojok. Tampak olehnya Lendi Cidra tertawa- tawa genit dengan gerak tubuh yang sangat mengundang.
Setiap kali melihat Lendi Cidra, rasa tak nyaman selalu menyelinap ke dalam hati. Nalurinya selalu mengatakan bahwa perempuan ini culas dan berbahaya.
Mbakyu Tri memiliki kehalusan hati. Karenanya dia sering dapat menakar perilaku dan sifat orang segera setelah dia bertemu dengan orang tersebut. Biasanya, kesan pertama itu kelak akan terbukti benar.
Entahlah. Setiap kali melihat Lendi Cidra, selalu terpikir olehnya tentang seorang pembisik. Hatinya mempertanyakan apakah Lendi Cidra sebenarnya mata- mata dari kerajaan lain dan kegiatan meramu obat dilakukannya agar dapat berkeliaran dengan bebas di dalam lingkungan keraton.
Kadangkala bahkan terpikir oleh Mbakyu Tri, bahwa saat meramu obat sebenarnya Lendi Cidra sedikit demi sedikit sedikit memasukkan racun ke tubuh para penghuni keraton dan keluarganya. Jika penghuni keraton sudah dilemahkan, tentu kerajaan Wilwatikta (Majapahit) akan dengan mudah diserang dan dihancurkan.
Mbakyu Tri memperhatikan meja pojok di mana ketiga tamunya berada. Selain Lendi Cidra, ada seorang perempuan lain serta seorang lelaki duduk di sana.
Hestrinaputri juga tak menyukai lelaki ini.
Lelaki ini perawakannya tinggi besar. Tapi tak pernah bergaul dengan sesama lelaki. Dia selalu hanya bertemu dengan para perempuan setiap kali mampir ke kedai itu.
Tidak. Jelas bukan karena laki- laki itu tampan sehingga banyak perempuan yang menyukainya. Dia sama sekali tak tampan. Hidungnya bulat, giginya besar- besar. Cara bicaranya kasar dan sorot matanya menakutkan.
Mbakyu Tri yakin sekali bahwa laki- laki itu walau berbadan tegap tapi hatinya pengecut. Dan dia jelas tak memiliki rasa kesetiaan. Dia akan setia pada siapapun yang memberinya banyak keuntungan.
Entah apa yang dilakukan lelaki tersebut dengan para perempuan itu. Mungkin dia adalah seorang penghubung antara Lendi Cidra dengan kerajaan lawan yang mengutusnya menyusup ke dalam istana, pikir Mbakyu Tri.
Orang ketiga, perempuan yang sudah lebih berumur dikenalnya sebagai istri seorang pegawai tinggi Kotaraja. Naluri Mbakyu Tri juga mengatakan bahwa ada yang kurang beres dengan sikap perempuan ini. Suaminya seorang pegawai tinggi tapi dia bergaul dekat dengan orang- orang yang sungguh diragukan ketulusan dan kelurusan hatinya.
***
Suara bisik- bisik dan tawa kecil terdengar dari meja pojok itu.
Sungguh mual rasanya melihat kegenitan Lendi Cidra, juga menyaksikan bagaimana lelaki berlogat kasar tadi membungkuk- bungkuk di depan sang istri pegawai tinggi dan bermanis muka menjilat kepadanya. Sementara,
seakan berpura- pura tak mengerti atau memang pada dasarnya dia menyukai hal tersebut, perempuan istri petinggi Kotaraja itu menyambut sikap semacam itu dengan senang hati.
Pada ora benere, pikir Mbakyu Tri. Pancen wong sidane ngumpul karo sing sepikiran. Sama tak beresnya. Memang pada akhirnya orang akan berkumpul dengan orang yang sepaham dengan dirinya.
Di meja pojok, suara bisik dan tawa terdengar lagi.
Hari makin gelap. Suara serangga yang biasa hadir di malam hari nyaring terdengar.
Diputuskannya untuk menghampiri ketiga tamunya untuk mengatakan bahwa kedai sudah tutup. Dan saat dia mendekat itulah sebuah nama yang disebutkan Lendi Cidra tertangkap oleh telinganya.
Iblis Sapta Kupatwa.
Mbakyu Tri makin gelisah...
***
Di pondok Harum Hutan, Kiran mengintip dari celah papan. Tamu tak diundang, tujuh pengepung kini sudah berada di dekat pondok. Sangat dekat.
Kiran mengambil keputusan. Dia berbalik hendak mengatakan sesuatu pada Dhanapati dan terkejut ketika dilihatnya lelaki itu berdiri hanya sedepa di belakangnya, berdiri menghunus sebuah pedang.
“ Kangmas, tidak ! “ kata Kiran segera, “ Biarkan aku yang menghadapi mereka. Kau belum pulih... “
Dhanapati tak bergeming.
Apa yang dikatakan Kiran memang betul. Dia belum pulih. Jauh dari pulih. Walau keadaannya membaik, tapi belum sepersepuluh tenaganya kembali. Dia masih merasa lemas dan rasa nyeri muncul di setiap jengkal tubuhnya.
Tapi bagaimanapun, mereka kini diserang. Dan tak mungkin dia hanya berdiam diri.
Dhanapati tak tahu siapa yang berada di luar. Suruhan Bhagawan Buriswarakah? Atau bukan?
Siapapun mereka, Dhanapati tahu bahwa kemampuan mereka jauh di bawah Bhayangkara Biru. Kecerobohan tentang daun kering yang terinjak sudah cukup untuk membuktikan hal tersebut. Dalam keadaan normal, Dhanapati sama sekali tak khawatir. Jangankan hanya tujuh. Berlipat duapun jumlahnya dari itu, dirinya masih akan mampu menghadapi.
Kali ini, dia sendiri tak tahu seberapa kekuatannya yang masih bersisa akan mampu melawan ketujuh orang di luar sana. Namun dia tak punya pilihan. Dia hanya berdua dengan seorang gadis sekarang. Dan tentu tak akan dibiarkannya seorang gadis bertempur sendiri melawan tujuh lelaki di luar sana. Walau jelas gadis itu memiliki kemampuan sangat tinggi dalam ilmu pengobatan, tapi belum tentu kemampuannya untuk bertempur juga setinggi itu.
Dhanapati bergerak maju, tangannya terjulur hendak meraih lengan Kiran memintanya mundur.
Tapi dia terlambat. Jemarinya meraih udara. Seakan tak melihat tangan Dhanapati yang terjulur, Kiran membalikkan badan dan bergerak maju ke arah pintu.
Gadis itu telah memutuskan untuk menantang ketujuh orang di luar secara terbuka dengan keluar dan berdiri di depan pintu. Dengan begitu, dia akan berada di tengah-tengah di antara ketujuh orang itu dan Dhanapati. Tanpa banyak cakap Kiran telah dengan sengaja menghalangi jalan Dhanapati.
Kiran memang tak menginginkan Dhanapati turut bertempur. Tidak saat ini. Sebab dia tahu persis bahwa masih banyak luka yang belum pulih di dalam tubuh lelaki itu. Masih banyak racun yang belum berhasil dikeluarkannya.
Tidak. Biar dia sajalah yang menghadapi ketujuh orang tak dikenal yang mendatangi mereka ke Pondok Harum Hutan ini.
Kiran melangkah maju. Selendang sutra halus yang terikat di pinggangnya melambai ringan, membiaskan pendar cahaya berwarna pelangi dalam gelap malam...
( bersambung )
** gambar diambil dari counter-force.com **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H