Mohon tunggu...
M. Firman Fadilah
M. Firman Fadilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Airlangga

Berasal dari lulusan sekolah swasta kurang terkenal, Firman Fadilah dengan segala keterbatasannya berhasil diterima untuk kuliah di jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga melalui jalur SNBT. Jurusan tersebut memang sering diremehkan karena kondisinya yang seperti sekarang ini. Namun, tanpa Ilmu Sejarah, kita akan melewatkan dan menyia-nyiakan banyak sekali kebijaksanaan serta hikmah dari perisitiwa yang telah terjadi di masa lalu. Kita dapat terjerumus pada kesalahan-kesalahan yang sebenarnya dapat kita cegah dengan kebijaksanaan yang didapat oleh para sejarawan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Agus Salim: Perjalanan Hidup Lulusan Terbaik HBS pada Masanya

10 Januari 2025   00:12 Diperbarui: 10 Januari 2025   00:12 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Siapa yang tak pernah mendengar nama Haji Agus Salim? Sebagai salah satu tokoh pejuang kemerdekaan, nama Agus Salim tentunya erat kaitannya dengan sejarah perjalanan bangsa Indonesia, terutama pada masa-masa sebelum dan setelah kemerdekaan. Ia dikenal sebagai sosok yang memiliki banyak kelebihan, kebiasaan, serta hal-hal baik lain yang patut kita teladani. Pada tulisan berikut ini, marilah kita mengenang dan mengambil hikmah dari sosok diplomat ulung yang menguasai hingga 7 bahasa asing ini.

Pada 8 Oktober 1884, Haji Agus Salim dilahirkan di Kota Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat dengan nama kecil Masyudul Haq. Ia berasal dari keturunan keluarga yang terpandang, yakni keturunan dari datuk atau pemimpin kaum di budaya Minangkabau. Bapaknya ialah Sutan Muhammad Salim dan ibunya ialah Siti Zaenab. Sebenarnya, ketika kecil, orang tuanya memberinya nama Masyudul Haq dengan harapan bahwa kelak anaknya tersebut akan menjadi “pembela kebenaran.” Namun, dalam perjalanan hidupnya, ia mendapatkan panggilan Agus, yang pada akhirnya nama itu lebih melekat pada dirinya daripada nama kecilnya sendiri.

Statusnya yang berasal dari keluarga terpandang membuat Agus Salim dapat menempuh pendidikan di sekolah top di Hindia Belanda, yang mana sangat sedikit orang pribumi yang dapat bersekolah di sana. Ia menempuh pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (ELS) atau sekolah dasar Eropa di Riau, serta kemudian melanjutkan studi di Hogere Burgerschool (HBS) atau sekolah menengah atas di Batavia. Selama perantauanya untuk belajar tersebut, Agus Salim diasuh oleh orang Belanda. Orang tuanya menitipkannya kepada mereka. 

Semasa sekolah, Agus Salim merupakan murid yang tekun. Tak mengherankan apabila kemudian ia berhasil menguasai 7 bahasa asing, mulai dari bahasa Arab, Belanda, Inggris, Jepang, Jerman, Perancis, dan Turki dan berhasil menjadi lulusan terbaik HBS pada 1903 di seluruh Hindia Belanda. Namanya pun terkenal di kalangan murid HBS yang terdiri dari kaum kolonial dan terpelajar serta tersebar di Hindia Belanda kala itu. Bagaimana bisa orang pribumi yang harusnya lebih bodoh dari orang Eropa berhasil mengalahkan mereka?

Pada tahun 1906, Agus Salim direkrut oleh pemerintah Belanda untuk bekerja di kantor konsulat Belanda di Arab Saudi sebagai penerjemah dan pengurus jamaah haji asal Hindia Belanda hingga tahun 1911. Pada masa-masa hidup di Arab Saudi, Agus Salim menjadikan Syekh Ahmad Khatib sebagai gurunya dalam mendalami agama Islam.

Sepulang dari Arab Saudi, Agus Salim sempat bekerja di Dinas Pekerjaan Umum Hindia Belanda, mendirikan sekolah dasar swasta, serta mulai aktif dalam dunia politik. Bersama H.O.S. Tjokroaminoto, ia berjuang melalui Sarekat Islam (SI) untuk memajukan dan menata masyarakat, khususnya masyarakat muslim agar dapat hidup berdasarkan syariat agama Islam.

Pada saat persiapan kemerdekaan, Agus Salim menjadi anggota BPUPKI dan bertugas untuk merumuskan Undang-Undang Dasar Indonesia. Ia tergabung menjadi anggota Panitia Sembilan yang bertugas untuk mematangkan rumusan dasar negara, termasuk Pancasila dari hasil sidang BPUPKI I pada 1 Juni 1945. 

Pada 22 Juni 1945, ia dan kawan-kawan Panitia Sembilan akhirnya berhasil merumuskan Piagam Jakarta yang berisi rancangan UUD 1945 yang isinya memuat tiga bagian inti, yakni pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan, termasuk di dalamnya termuat rumusan awal dari Pancasila.

Namun, karena sila pertama dari rumusan awal Pancasila tersebut terkesan membuat Indonesia akan menjadi negara yang berlandaskan agama Islam, tokoh Indonesia lain yang tidak beragama Islam pun menyampaikan keberatannya. Terjadi perdebatan di antara kedua golongan tersebut yang dapat mengancam persatuan dari bangsa Indonesia yang memiliki peluang besar untuk merdeka. Para tokoh Islam, termasuk Agus Salim, pada akhirnya bersedia legowo untuk menerima perubahan pada sila pertama Pancasila menjadi “Ketuhanan yang maha esa.” Toh, sila yang baru tersebut juga masih mencerminkan bahwa Tuhan itu esa atau tunggal.

Pada 4 November 1954, Haji Agus Salim yang saat itu berusia 70 tahun ini menghembuskan nafas terakhirnya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan. Tokoh yang dikenal sebagai sosok ulama, poliglot, diplomat ulung, The Grand Old Man, orang yang berjasa dalam diakuinya proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh bangsa lain, serta penulis buku yang produktif ini wafat dengan meninggalkan warisan yang terus dipakai oleh bangsa Indonesia hingga saat ini, yakni Pancasila.



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun