hari ini aku ujian nasional
seluruh siswa bergembira
aku yang baru tiba
melepas lelah di depan gerbang sekolah
tersesak-sesak nafas menggumpal dalam dada
karena puluhan kilometer yang ditaklukkan langkahku
bunyi bell berdering "kring"
kutarik pintu gerbang dan berlari
menuju ruangan
tempatku nanti menumpahkan teori di lembar jawaban
walau itu kaku dan rumit bagiku
di depan ruangan itu
dadaku tertawan
ada hiasan yang tak kukenakan
di seragam putihku
aku harus menghadap Kepala Sekolah
tatapan jelek menyambutku
aku hanya disuruh pulang
mengambil uang
untuk melunasi iuran
yang selama ini aku tunggakkan
terpaksa aku tak ikut ujian
kutarik kembali gerbang
tapi, ini untuk berlari pulang
kulepas sepatu yang menganga alasnya
kaos kaki busuk ikut kuseret keluar dari mata kakiku
kutenteng sepatuku pulang
tak peduli, kutak ikut ujian
karena uang, alergi dengan keluargaku
"Kenapa kamu cepat sekali pulang nak," sambut Ibu yang sedang memilah beras sisa yang masih bersih
"Aku tak bisa ikut ujian, Bu, karena pembayaranku belum lunas," jawabku sambil memutar-mutar tali sepatuku
pada saat itu, beras sisa menjadi harum
diharumkan oleh air mata ibu
aku takut bila air mata ibu terus menetes dunia ini akan
harum selamanya
"Berhentilah menangis, Bu,"
ibu menimbah kembali air matanya yang telah tumpah
"Bu, bukankah engkau yang pernah mengatakan kepadaku,
bahwa ilmu itu cahaya,
jadi, tak selamanyakan cahaya itu bersinar di gedung sekolah, bisa jadi di tempat sampah"
pelukan erat langsung hinggap di tubuhku
ternyata itu pelukan ibu..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H