"Nak, Kalau kamu makan jangan melihat ke atas, jangan mengedapankan tangan kirimu, dan bersihkanlah piring dan gelas yang telah engkau pakai makan sebelum engkau pergi ke tempat tertentu,"Â kata Kakekku.
Di daerahku Sulawesi Selatan, terdapat semacam petuah orang tua dulu tentang peraturan yang harus dipatuhi ketika santap bersama keluarga dan sesudahnya, peraturan itu seperti yang telah saya tuliskan di atas. Jelas saya tidak bisa memaknai secara mendalam peraturan tersebut karena petuah itu tercipta pada zaman dahulu sedangkan saya hidup pada zaman sekarang. Akan tetapi, setelah saya mencoba menelaahnya terdapat benang merah yang saya bisa tarik dari petuah tersebut setidaknya saya bisa menangkap sedikit makna filosofisnya yaitu:
Jangan Melihat ke Atas
Saat santap bersama keluarga biasanya, kita asyik menikmati makanan sambil cerita-cerita bersama keluarga entah itu soal bisnis, politik, karir, atau soal pacar (bagi yang masih jomblo) kita hanyut dalam pembicaraan tersebut sampai lupa berapa porsi makanan yang telah kita habiskan, apalagi kalau baru pulang kampung wah pokoknya ikat pinggang melar, saking semangatnya. Dari yang kita lakukan itu terkadang spontan melihat ke atas, ke langit-langit rumah kita walau terkadang lupa kapan kita melakukannya.
Sikap yang demikian adalah sebuah pelanggaran di daerah saya bagi yang menganutnya, bukan pelanggaran keras sih tapi, semacam penyimpangan dalam kode etik santap bersama keluarga. Menurut saya itu bermakna bahwa, apa yang kita santap bersama keluarga, semurah apapun itu jangan pernah melihat makanan yang mahal di atasnya, enaknya paspasan atau kemasannya murahan, jangan pernah melihat makanan yang lebih mahal dan lebih cantik di atasnya. Bersyukur terhadap yang bisa kita santap bersama, asalkan halal bukan.
Jangan Memposisikan Tangan Kirimu ke Depan
Rumah di Sulawesi Selatan khususnya rumah Bugis-Makassar adalah rumah panggung, jadi saat santap bersama keluarga posisi duduk ialah bersila saling berhadap-hadapan, dengan tempayang berisi piring-piring kecil, tentu dengan makanan didalamnya.
Posisi duduk bersila membuat kaki rapat dan saling mengait, adapun posisi tangan kiri merapat ke pangkuan dan tangan kanan yang menyuap, posisi tangan kiri inilah dianjurkan untuk tidak bertelungkup ke depan oleh kakek saya. Menurut saya anjuran itu bermakna bahwa disaat kita memposisikan tangan ke depan berarti posisi kita seperti hewan yang mulutnya telah terisi makanan dan tangan kirinya tetap bersiap mencengkram makanan lainnya, bukankah itu sebuah kerakusan seperti para koruptor yang mempunyai gaji tinggi namun tetap berdalih mencuri uang negeri.
Piring dan Gelas Harus Dicuci Sebelum Pergi ke Tempat Tertentu
Orang Bugis-Makassar dikenal sebagai perantau ulung dengan kapal layarnya--Phinisi, ada banyak ritual yang dilakukan sebelum berangkat salah satunya mencuci piring dan gelas yang telah dipakai makan dan minum.
Terasa tak ada hubungannya antara menyuci dengan perantauan. Akan tetapi, menurut saya makna filosofisnya adalah membersihkan niat-niat jahat dan merapikan niat-niat baik dalam hati sebelum berangkat, telah diketaui bersama setiap perbuatan haruslah dimulai dengan niat dan basmalah (kata ustadz di tv).
Itulah beberapa pemaknaan yang bisa saya jelaskan dari daerah saya, berupa ragam kekayaan filosofis budaya Indonesia, dalam santap bersama keluarga. Dan masih banyak kekayaan filosofis dari daerah lain di Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H