Bagi saya, merokok bukanlah sekadar membakar dan mengepulkan asap ke udara semata, tapi jauh lebih dalam dari itu, bahwa merokok adalah gerakan kedaulatan sosial-ekonomi untuk memperkaya negeri ini dengan menikmati limpah mahakarya alamnya.
Namun karena berbagai wacana-wacana sensitif terkait kesehatan, rokok kadang dianggap "tidak baik" bagi sebagian orang, terlepas dari plus minusnya dari efek yang ditimbulkan, rokok tetaplah menjadi alat perjuangan kaum urban Indonesia yang sedari dulu hingga sekarang, dari zaman penjajahan Belanda hinggan zaman penjajahan antar anak bangsa.
Betapa tidak, telah banyak data yang menyebutkan bahwa industri rokok ataupun kretek adalah penyumbang jumlah pajak terbanyak di negeri ini.
Namun di lain sisi banyak industri rokok dikuasai oleh pihak aseeng, juga menjadi ironi.
***
Tadi pagi saat saya pergi mengajar di Pondok Pesantren Al-Mubarak Makassar, salah satu pembina di Pondok Pesantren tersebut menyuguhi saya rokok kretek yang bahannya berasal dari daun pohon Tin kering, tak butuh waktu lama saya untuk menggulungnya, apalagi merasakan sensasinya adalah kali pertama bagi saya.
Walau sejak dulu saya sudah tahu bagaimana rasa sebuah rokok kretek khususnya kretek Ico (tembakau olahan khas Bugis), namun rokok gulungan dari daun kering pohon Tin sangat beda rasanya.
Mungkin jenisnya semacam rokok herbal, sebab kata pembina pondok yang menyuguhi saya, kadar isi gulungannya nda boleh banyak-banyak, secukupnya saja, sebab akan mempengaruhi tingkat konstrasi pikiran.
Dan ternyata benar, awal menghisapnya saja, harum khas dari daun Tin sudah terasa, sampai daun-daun kering yang ada di dalamnya terbakar, mulailah asap-asap kenikmatan menyeruah ke berbagai ruang-ruang refleksi di dalam diri saya.
Kenikmatannya pun bertambah, saat saya menyandingkannya dengan serup kopi panas, uhhh..
Maha Benar firman Allah, "Nikmat mana lagi yang kamu dustakan"