Suatu waktu, saya berkunjung ke rumah teman saya untuk mengerjakan sebuah proyek pengetikan dari dosen saya, akan tetapi sebelum kami mengerjakan proyek itu, kami ngobrol tentang banyak hal terlebih dahulu sembari menikmati segelas kopi panas dan sebatang rokok surya. Ayyehh.
Tema yang kami bicarakan pun beragam, mulai dari kerajaan-kerajaan jagad itu, sampai kepada tema receh tentang jam tidur saya ketika malam yang membuat kelopak mata saya seperti burung hantu.Â
Atauu.. tentang banyaknya cewek zaman sekarang yang jual mahal kepada cowok (padahal bisa jadi wajah kami yang memang tidak memenuhi standar haha).
Terus dan terus, kami membicarakan banyak hal. Kebetulan teman saya itu mahasiswa jurusan hukum maka ia terus berbicara tentang kebobrokan negara ini.
Mulai dari sistemnya yang hanya berporos pada tingkat pusat dan jarang menyentuh tingkah pelosok, yang pada saat yang sama desa-desa di pelosok "dicuri" sumber dayanya untuk menghidupi perekonomian kota.
Saya yang hanya jurusan pendidikan Islam, hanya manggut-manggut saja tidak mengerti soal begituan, saya hanya memberikan dorongan bahwa "benar sekali katamu teman melalui mimik wajah yang meyakinkan".
Ia bercerita lagi bahwa mau dibawa ke mana negara ini, jika kita terus-terusan begini, hutan bertumpuk sekian banyaknya, sedangkan Rupiah melemah dan stag di situ-situ saja, beberapa badan usaha milik negara terbengkalai dan korupsi.
Di saat yang sama ada sekolah yang runtuh, ada warga negara yang tidak makan, ada anak kampung yang tidak bersekolah, ada jomblo yang nggak bisa dapat jodoh karena hobinya hanya rebahan, ada sarjana yang tidak kebagian lapangan kerja. Sinis teman saya.
Manggutan saya mendengar teman saya itu bercerita tentang negara, semakin meyakinkan dari manggutan saya sebelumnya, selain karena memang yang dikatakannya terasa benar tapi juga waktu itu sementara ia berbicara ia juga memesan gorengan melalui grab food. Hehe
Dan katanya lagi, alangkah mirisnya negara ini tokoh-tokoh politik kita bukannya perjuangin nasib rakyat jelata, malah ngeributin posisi-posisi untuk berkuasa, yang bagi teman saya itu, kedewasaan tokoh politik kita belum terlihat hari ini di mata rakyat.
Kali ini, mendengar pembicaraannya itu saya tidak manggut saja, tapi saya bertanya "Ah masa.. Ada tonji itu pasti tokoh politik berjuang untuk rakyat? liatmi kalo biasa kampenye dan nakasiki kalender, rata-rata kalendernya tertulis 'siap berjuang untuk rakyat.".
"Apatong mutaukkangi kau, tokoh politik itu kalo di kalender editan tapi kalo naikmi pencucian uang." jawabnya.