Aku terlanjur jatuh dan patah
Oleh gempa di Pidie Jaya
Sebelumnya, Aku mendengar
Teriakan lara orang-orang sekitar
Mereka berlari tak kenal arah
Kudengar rintihan bocah di bawahku
Memanggil ibunya, ayahnya
"Abu, Ma tolong aku..."
Naas, aku iba namun tak bisa berbuat apa-apa
Tubuhku sudah terlanjur menguburnya
Kudengar juga gelisah seorang gadis
Yang mencari calon suaminya
Di antaraku, mengais-ngais bebatuanÂ
Berharap ia ada di dalamnya
"Suhar..., Suharnas di mana kamu, mana janjimu
Kita akan sehidup semati
Tapi kenapa kau pergi dan tak kembali,"
"Tuhan tak adil," iringnya.
Andai aku bisa bicara
Namanya Yusra, 'kan kukatakan padanya
"Tuhan telah membuatkanmu pelaminan di surga,"
Namun, Ia tak mendengar
Karena memang aku hanya reruntuhan
Ada juga seorang Ibu denganÂ
bayi yang dikandungnya
Meregam nyawa
Tertimpa olehku
Mungkin, jika bayi itu hidup
Ia akan bercita-cita menjadi pemimpin negeri ini
Dengan tulus dari hati
Tetapi, Ia lebih dicintai Ilahi
Kudengar suara galian liang
Ribut sirine ambulance
Ingin diberikan jalan
Menambah nada cekam kala itu
Liang lahat untuk 15 orang jenazah
Berderai doa dan air mata
Mengiringi ke pulangan mereka
Tatapan sinis tambah gerimis
Terlihat di wajah-wajah penduduk
Yang tertimpa gempa
"Yaa siin wal qur'anul kariim innaka laminal mursalin....,"
Terus menenangkan suasana
Di tenda-tenda pengungsian
Berharap yang lebih dulu diambil oleh-Nya
Diberikan tidur yang nyenyak
Senyenyak bayi yang tertidur
Setelah meminum susu
Oh dunia, atau apalah kau menyebutnya
Datang kemari dan lihat apa yang terjadi
Ini hanya secuil kesaksian untukmu
Untung aku hanya reruntuhan
Yang memang tak bisa berbuat dan
Berkata
Tak seperti manusia lainnya
Yang terkadang hanya bisa berkata-kata mutiara
Tanpa bisa melakukan apa-apa
Hanya terkadang tapi jangan keseringan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H