Tak tahu becak ini ada dimana
bagiku terlihat sama
bangunan orang kota dan rumah-rumah sewa
sesak, lorong jadi pembatasnya
terus kudorong saja
kosongnya isi perut anakku
menjadi penguat tanganku menariknya
kalau biaya sekolahnya
tak mungkinlah
membayangkannya pun aku tak bisa
mungkin, karena tuanya roda becakku
jika becakku kupacu
orang sekitar menganggap
"siapalah yang ingin naik di becak seperti itu"
kuhanya menatapnya istimewa
bunyi ayunan pedalku
membuatnya merdu
sesampainya di depan supermarket
milik pengusaha bermata sipit
pengunjungnya ingin naik di becakku
kujawab; "maaf, becakku bukan untuk penumpang"
balasnya; "terus untuk apa?"
aku hanya ingin mengambil sampah di supermarket ini
lalu, mengangkutnya dengan becakku
untuk kujual
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H