Sekitar 24 tahun yang lalu ketika penulis lulus STM, penulis dan beberapa teman mendapat tawaran untuk melanjutkan ke salah satu perguruan tinggi negeri kependidikan kala itu masih bernama IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Tentunya dengan janji ikatan dinas, tamat diangkat menjadi guru PNS.
Orang tua mana yang tak senang mendengar berita ini termasuk orang tua penulis. Kepastian masa depan, apalagi orang ibu penulis yang notabene adalah seorang guru. Berbeda dengan penulis yang menolak tawaran ini dengan alasan yang membuat orang tua penulis marah. Alasan yang penulis kemukakan saat itu mungkin bukan saja membuat orang tua penulis marah tetapi mungkin anda juga yang membaca tulisan ini yang berprofesi sebagai guru atau mungkin memiliki keluarga guru. Jadi sebelum penulis menggungkapkan alasan penulis menolak untuk menjadi guru 24 tahun yang lalu menulis mohon maaf jika pembaca atau siapa saja yang terganggu atau tidak suka dengan ungkapan penulis ini.
Penolakan penulis untuk melanjutkan pendidikan di IKIP saat itu bukanlah tidak suka atau membenci profesi guru tetapi alasan kebebasan sebagai seorang guru sebagai seorang terdidik dan terpelajar. Kalimat yan penulis ungkapkan saat itu “Guru itu adalah orang pintar yang selalu dibodohi dan mau dibodohi”.Mungkin anda terkejut dengan pernyataan seorang anak yang beranjak dewasa 24 tahun yang lalu. Mungkin juga anda marah dengan pernyataan ini. Jika ada seorang guru mungkin juga anda ingin menampar saya. Oleh karena itu saya mohon maaf. Ungkapan tersebut adalah ungkapan 24 tahun yang lalu. Dan saat itu saya pikir itulah yang saya lihat. Apakah itu masih terjadi sekarang silakan anda yang nilai sendiri yang jelas itu pandangan seorang anak muda masa itu yang mungkin memiliki idealisme yang keterlaluan.
Tentunya anda bertanya kenapa hal itu menjadi pemikiran penulis di waktu itu bukankan penulis juga anak seorang guru. Alasan pernyataan ini saat itu adalah ketika penulis sering dimarahi orang tua ketika melihat kampanye pemilu PPP dan PDI saat itu. Orang tua saat itu begitu takut ketahuan jika anaknya menghadiri kampanye PPP dan PDI. Padahal kehadiran penulis ke acara tersebut hanyalah sekedar bermain dan keisengan belaka. “Nanti orang tua mu dipecat jadi PNS, gimana kelanjutan sekolah kamu dan saudara – saudaramu”. Itulah bentuk ketakutan kala itu. Dan itu bukan saja terjadi pada orang tua penulis tetapi juga para PNS kalau itu.
Kenapa para PNS harus memilih Golkar ? Bukankah azas pemilu itu adalah LUBER (Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia). Bukankah guru itu adalah orang yang terdidik tapi kenapa guru saat itu mau dimobilisasi untuk mendukung satu kekuatan politik ? bukankah para guru PPKN (dulu namanya PMP = Pendidikan Moral Pancasila) menganjarkan bahwa setiap orang memiliki kebebasan pribadi. Itu artinya para guru tidak berdaya atau merasa takut padahal dari SD sampai SLTA kita selalu diajarkan untuk berani bersikap dalam hal kebaikan. Jadi inilah kenapa alasan penulis mengeluarkan ungkapan tersebut. Itulah pulalah kenapa penulis tidak mau masuk IKIP tetapi walaupun tidak mengecap pendidikan keguruan penulis tetap mencintai profesi guru dan setelah tamat kuliah pun penulis sempat mengajar diberbagai lembaga pendidikan swasta. Walau gaji kecil saat itu tetapi kepuasan mendidik adalah nilai yang tak ternilai harganya.
Nasib berputar, penulis lulus PNS (tetapi bukan guru), apakah faktor kebetulan atau belajar dari sejarah sekitar 10 tahun lalu daerah penulis melaksanakan Pilkada langsung. Kandidat kepala Daerah petahana melakukan politik seperti orde baru yaitu memobilisasi PNS dan Guru. Para PNS dan guru diwajibkan membuat daftar nama 10 orang keluarganya atau tetangganya yang akan mendukung calon tersebut. yang menentang siap – siap di mutasi. Penulis yang saat itu sudah menjadi PNS (bukan guru) menolak. Tetapi yang mengherankan saat itu bagi penulis kenapa para guru banyak yang membuat daftar tersebut walaupun dengan berbagai alasan. Bagi penulis kenapa para guru tidak ada yang protes Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) diam seribu bahasa. Para guru yang menganjarkan kebaikanpun diam seribu bahasa. Mencari posisi aman itulah yang diambil. Saat itu penulis kembali teringat ungkapan penulis ketika menolak masuk IKIP.
Di era sertifikasi ini pun guru banyak dijadikan objek khususnya mereka yang berada di jajaran kependidikan. Sering penulis mendengar cerita miris para guru yang uang sertifikasinya dipotong. Kok ? bukankah uang sertifikasi ditransfer ke rekening si guru ? betul tetapi si guru harus memberikan sejumlah uang jika uang sertifikasi tersebut telah keluar untuk kepala sekolah, bendahara sampai oknum di dinas pendidikan. Jika tidak wa…. Siap – siap saja pencairan sertifikasi guru berikutnya si guru akan mengalami banyak masalah yang akhirnya uang sertifikasi tidak keluar. Bisa saja jam mengajar si guru dikurangi dengan berbagai alasan berdampak pada tidak cukupnya jam mengajar untuk sertifikasi.
Belum lagi masalah kenaikan pangkat guru yang sering menjadi masalah kurang angka kreditlah belum buat penelitian dan hal lainnya. Yang paling krusial bagi kita adalah ketika seorang guru mengajarkan kebaikan – kebaikan dan moral yang baik kepada anak didiknya disatu sisi ia harus mengikuti birokrasi yang bertetangan dengan yang ia ajarkan kepada para muridnya. Ia harus bersedia dipotong uang sertifikasinya, ia harus menberikan sejumlah uang agar angka kredit cukup untuk kenaikan pangkat dan sebagainya.
Tidak adakah daya para guru mendobrak ini ? haruskan diam seribu bahasa ? haruskan melawan hanya dengan hati ? dimana PGRI ? haruskan mencari posisi aman. Tanpa bermaksud mengurui “Nasib sebuah kaum tidak akan berubah jika tidak kaum itu yang merubahnya”.
Apakah pandangan penulis 24 tahun yang lalu itu akan terus. Semoga di hari pendidikan ini pandangan ini akan berubah. Wahai…guruku bergeraklah. Bersatulah…
SELAMAT HARI PENDIDIKAN. TERIMA KASIH BUAT PARA GURU DAN DOSENKU.