EUDR)  yang membatasi negara-negara seperti Indonesia dalam memasarkan produk pertanian dan hutannya ke benua tersebut terus mendapat sorotan. Sorotan terjadi karena aturan tersebut mewajibkan uji tuntas berbagai komoditas  perkebunan dan kehutanan yang secara praktik sangat menantang untuk negara produsen seperti Indonesia, yang dalam hal ini adalah produsen kelapa sawit utama dunia..Â
Rancangan undang-undang Deforestasi Uni Eropa (Karena suka atau tidak, aturan tersebut sama saja dengan mengganggap Indonesia tak menjalankan komitmen dan berbagai upaya dalam penyelesaian isu terkait perubahan iklim hingga perlindungan biodiversity sesuai dengan kesepakatan, perjanjian, dan konvensi multilateral.Sehingga menjadi wajar jika langkah yang diambil Indonesia berikutnya adalah dengan menyatakan rasa prihatin dan ketidaksetujuan atas laku diskriminatif EU terhadap kelapa sawit yang terdapat dalam EUDR itu.
 Sejumlah langkah juga telah diambil Indonesia bersama Malaysia dan Uni Eropa sendiri antara lain lewat pembentukan gugus tugas bersama (Ad Hoc Joint Task Force) dalam menghadapi masalah  terkait pelaksanaan EUDR itu. Gugus tugas tersebut juga dibentuk untuk mengidentifikasi solusi dan penyelesaian yang terbaik terkait  implementasi EUDR. "Penerapan EUDR jelas merugikan komoditas perkebunan dan kehutanan yang begitu penting buat kami seperti kakao, kopi, karet, produk kayu dan minyak sawit," tegas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di hadapan para perwakilan Civil Society Organisations dan Non-Governmental Organisations di Brussel, Belgia, pada akhir bulan Mei tahun lalu.
Suara dan keprihatinan Indonesia tersebut juga mendapat dukungan dari kelompok bipartisan baik dari Partai Republik dan Demokrat Amerika Serikat melalui website mereka mypalmoilpolicy.com. Badan tersebut secara jelas menyoroti kebijakan EUDR yang dianggap tidak adil bagi para petani yang akan memasuki pasar Eropa. Selain itu, penundaan implementasi atau perubahan regulasi EUDR juga dinilai menjadi salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk saat ini.
Pandangan tersebut sejalan dengan sikap Menteri Pertanian EU yang juga menyatakan kurang sepakat dengan penerapan aturan EUDR itu. Apalagi pada saat bersamaan  sebanyak 20 dari 27 Menteri juga menyerukan untuk dilakukan penundaan EUDR, pada Pertemuan Dewan Agriculture Fisheries Council Configuration (AGRIFISH) yang telah diselenggarakan dalam waktu dekat lalu.Â
"Amerika bipartisan menentang EUDR, jadi EUDR yang diinisiasi oleh Indonesia di kunjungan bersama antara Menko Perekonomian dan PM Malaysia, itu terus mendapatkan dukungan dari like-minded countries, beberapa waktu lalu baik Republikan maupun Demokrat juga mempertanyakan EUDR. Jadi like-minded countries terinspirasi apa yang dilakukan Indonesia dan Malaysia," ungkap Menko Airlangga dalam sesi doorstop di Kantor Kemenko Perekonomian, Rabu (24/4/2024).
Sejumlah media AS juga menyoroti regulasi EUDR itu dan menyebut jika tetap dilanjutkan akan memberi dampak besar kepada rantai pasok pangan berkelanjutan, harga maupun pilihan konsumen. Situasi yang pada gilirannya akan berpengaruh buruh kepada petani dan negara eksportir. Sehingga oleh New York Times dan Financial Times,yang diharapkan oleh produsen pangan tersebut adalah penetapan pendekatan yang lebih terukur. Ini sejalan dengan permintaan asosiasi pertanian  Uni Eropa, Copa Cogeca, yang menyarankan agar penerapan  kebijakan EUDR ditunda dulu karena tidak memungkinkan untuk dilaksanakan karena waktu penyiapan kerangka kerja yang lebih memadai tidak dapat diselesaikan hingga batas waktu implementasi kebijakan EUDR tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H