Sampai hari ini data keras mengungkap bahwa ekonomi domestik tetap solid sehingga memberi kesempatan bagi adanya  insentif untuk penguatan sektor manufaktur. Itu terlihat dari Indeks Manajer Pembelian (PMI) untuk sektor manufaktur Indonesia pada Juni 2023 yang mencapai level  ekspansif di angka 52,5. Ditambah adanya peningkatan permintaan dalam negeri  yang memberi harapan  kepada  perusahaan manufaktur untuk tetap tumbuh positif.  Belum lagi bicara lonjakan penjualan yang didorong oleh permintaan dalam negeri menjadi sentimen utama bagi prospek positif ekonomi nasional di masa depan.
"Dengan berakhirnya status pandemi dan beralih menjadi endemi, aktivitas ekonomi telah kembali normal. PMI meningkat menjadi 52,5, dan kita sudah berada di atas 50 selama 22 bulan berturut-turut, ini adalah sifat yang ekspansif. Indeks Kepercayaan Industri (IKI) mencapai 53,94 pada Juni 2023, meningkat sebesar 3,03 poin dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,90," jelas Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam  satu acara di  Jakarta (10/7/2023).
Lungusran data  Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga mengungkap, kontribusi industri pengolahan terhadap investasi total Indonesia pada kuartal pertama 2023 mencapai 42,5% atau sebesar Rp328,9 triliun, naik  sebesar 32,5% dibandingkan tahun sebelumnya. Pada kuartal pertama 2023, kontribusi industri pengolahan terhadap sektor industri secara keseluruhan mencapai 18,57%, dengan industri makanan dan minuman menjadi kontributor terbesar sebesar 6,47%.
Dalam pandangan Ketua Umum Partai Golkar ini, prospek industri tekstil dan pakaian jadi akan terus positif ke depannya karena permintaannya terus meningkat seiring perubahan gaya hidup. Hanya saja hambatan yang muncul seperti pembatasan dan bea masuk yang tinggi yang dialami Indonesia ke pasar Amerka dan Eropa perlu dikurangan agar  kapasitas ekspor produksi tekstil dan pakaian jadi dari Indonesia bisa terus ditingkatkan.
Secara internal, Indonesia harus tetap mengoptimalkan keunggulan kompetitif lain, seperti di sektor pembiayaan, iklim tenaga kerja, serta ketersediaan dan kedalaman struktur bahan baku. "Indonesia sedang fokus untuk menyelesaikan EU-CEPA agar pasar menjadi lebih terbuka. Pilar pertama dalam Indonesian Economic Partnership Agreement (IPEF) juga membahas fasilitasi perdagangan. Pemerintah berharap dapat mengurangi hambatan perdagangan di negara-negara tersebut," ungkap Menteri Airlangga.
Sementara untuk pelambatan  di China yang tak lain adalah mitra dagang utama Indonesia  Indonesia sedang mengambil langkah-langkah untuk mengamankan rantai pasok.  Ini berdasarkan pengalaman awal  pandemi COVID-19 dua tahun yang lalu, saat rantai pasok global  terganggu lantaran sangat bergantung kepada negeri itu dan berujung pada kenaikan drastis harga komoditas. "Yang tak kalah sangat pentingnya adalah  mineral kritis, termasuk untuk produksi baterai berbasis nikel. Di masa depan, mineral kritis tidak hanya penting untuk mobilitas, tetapi juga untuk energi terbarukan yang akan bergantung pada ketersediaan baterai. Ini akan menjadi kekuatan utama Indonesia," jelas Menteri Airlangga.
Akibat gangguan rantai pasok di Tiongkok, negara produsen utama sedang mencari negara lain untuk memproduksi mineral kritis atau bagian-bagian penting untuk rantai pasok tersebut. Misalnya, Indonesia menjadi salah satu negara yang dipertimbangkan untuk pembangunan pabrik semikonduktor. "Pemerintah berkomitmen untuk menciptakan iklim yang lebih baik bagi Kawasan Industri, Kawasan Ekonomi Khusus, dan Zona Perdagangan Bebas, yang sedang dipersiapkan untuk menjadi basis rantai pasok global. Kami ingin menarik rantai pasok yang sebelumnya ada di Tiongkok ke Indonesia," ungkap Menteri Airlangga.
Menurut Menteri Airlangga, pemerintah mendorong industri nasional untuk menjadi lebih terbuka, dengan mempertimbangkan proyeksi jangka panjang selama lebih dari 10 tahun ke depan. Indonesia telah menunjukkan ketahanannya di sektor-sektor seperti elektronik dan otomotif. Tahun lalu, industri otomotif telah mengekspor hampir 400 ribu kendaraan ke lebih dari 80 negara. "Kita hanya perlu membangun satu hal lagi untuk menjadikan Indonesia sebagai basis produksi kendaraan listrik (EV). Alhamdulillah, semua investor optimis terhadap investasi yang mereka bangun di Indonesia. Ini membuktikan bahwa basis produksi kita memiliki daya saing dari segi biaya, karena kita memiliki biaya energi atau listrik yang efisien, termasuk biaya gas, yang menjadi bagian dari daya saing industri kita dibandingkan dengan negara lain," pungkas Menteri Airlangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H