Â
Tahun 2023 akan dilalui dengan suasana ketidakpastian. Tensi politik global, krisis ekonomi yang hampir pasti melanda seperti negara di dunia bukan masalah ringan. Indonesia yang juga berada dalam pusaran ekonomi global suka atau tidak akan mengalami imbasnya. Contoh terbaik dari situasi tidak mengenakkan tersebut adalah pandemi covid-19. Dimana selama dua tahun atau sejak virus itu mereka tahun 2020, berbagai hambatan, keterbatasan membuat ekonomi tak bergerak sebagaimana mestinya, yang itu berujung kepada pelemahan ekonomi dalam negeri.Kini, situasi serupa masih akan terjadi yang itu disebabkan sejumlah faktor lanjutan dari situasi yang telah berlangsung sejak tahun lalu, seperti konflik perang Rusia Ukraina yang berdampak kepada rantai pasok global serta negara-negara yang belum sepenuhnya pulih dari pelemahan ekonomi akibat virus tersebut, sehingga akumulasi dari seluruh persoalan tersebut kini menggumpal menjadi satu tantatangan yang tidak main-main.
Sejak awal krisis terjadi, pemerintah telah menyadari berbagai kemungkinan yang akan dihadapi dan telah melakukan berbagai upaya agar kondisi buruk yang secara langsung berdampak kepada ekonomi dan kehidupan masyarakat. Upaya yang terus menerus itu antara lain dalam berbagai paket kebijakan telah berhasil mengamankan Indonesia dari kondisi buruk yang hasilnya bisa dinikmati saat ini. Seperti ekonomi yang tetap tumbuh positif saat mayoritas negara justru mengalami situasi sebaliknya. Indonesia tercatat menjadi satu dari sedikit negara di dunia yang penanganan ekoonomi selama pandemi covid beralan sesuai harapan.  Indonesia menjadi satu dari sedikit negara yang  pertumbuhan ekonominya  diproyeksi ada di atas rata-rata negara lain di dunia
Salah satu faktor yang membuat trend positif itu adalah ketergantungan yang tidak besar kepada kinerja ekspor. Seperti diketahui, ketergantungan ekonomi Indonesia kepada ekspor kurang dari 50 persen sehingga resilient terhadap berbagai guncangan yang terjadi. Hal serupa juga dialami negara-negara seperti Jepang, Brasil, Cina, dan Amerika Serikat yang tetap kuat karena punya pasar domestik yang juga tangguh.
Ketangguhan tersebut menjadi sangat berarti karena trend nilai ekspor yang secara perlahan juga menurun. Sejak pertengahan 2022, pelambatan ekspor seperti logam, CPO dan batu bara mulai terjadi dan terus berlangsung hingga akhir tahun. Trend yang juga kemudian diikuti oleh gas alam, minyak brent, dan gandum juga memperlihatkan tren penurunan.
"Kalau kita lihat beberapa negara yang manufakturnya ekspansif yaitu Jepang, Prancis, Meksiko, Indonesia, Brasil, India dan Arab Saudi, sehingga menunjukkan sektornya masih kuat. Tetapi hampir beberapa negara besar seperti Italia, Jerman, Korea PMI-nya di bawah 50%. Sehingga ini menunjukkan bahwa dunia masih (dalam) ketidakpastian dan kita juga melihat pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan perdagangan yang tahun lalu ekspansinya 3,5%, maka di tahun ini diperkirakan hanya 1%," papar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat menyampaikan keterangan pers seusai Rapint terkait Evaluasi Ekspor dan Investasi 2022 di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (11/01).
Hingga akhir 2022, nilai ekspor Indonesia mencapai USD299,57 miliar atau tumbuh 29,40% (yoy). Sedangkan sisi impor juga mengalami pertumbuhan yang hampir setara yakni 25,37% (yoy) atau sebesar USD245,98 miliar. Lebih lanjut, kinerja ekspor dalam perdagangan internasional Indonesia pada tahun 2023 diproyeksikan akan tumbuh sebesar 12,8% (yoy) dan impor akan tumbuh lebih tinggi yakni sebesar 14,9% (yoy).
"Perlu beberapa regulasi yang disempurnakan yaitu tentunya penyempurnaan Peraturan Pemerintah, penyempurnaan OSS RBA, dan Daftar Prioritas Investasi," pungkas Airlangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H