Kasus lainnya, tak sedikit perusahaan perkebunan yang sudah mendapat HGU, tiba-tiba kebunnya dinyatakan sebagai kawasan hutan. Padahal untuk dapat mengantongi HGU, prosesnya melibatkan sejumlah institusi, seperti KLHK, Kementerian Pertanian, dan ATR/BPN.
Pada  bagian lain tumpang tindih penguasaan lahan tersebut muncul ke permukaan karena  UU Tata Ruang baru ada pada tahun 2007, sedangkan UU Kehutanan sudah ada sejak 1999 sehingga ada dispute ruang.  Hingga saat ini, dua Beleid tersebut  sama sekali belum ada sinkronisasi batas kawasan hutan dan bukan hutan (menjadi hak pengelolaan -- HPL).
Dalam bahasa Ketua Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) Mukti Sarijono,  carut-marut persoalan HGU yang dalam aturannya merupakan  hak tertinggi sebuah perusahaan dalam penguasaan satu kawasan, tiba-tiba dinyatakan masuk kawasan hutan harus menjadi prioritas pemerintah dalam merapikan regulasi-regulasi tersebut.
Tak hanya konflik  tumpang tindih lahan, kelompok pegiat lingkungan dan masyarakat juga mengkritik, pembukaan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan serampangan bisa jadi ancaman terhadap hutan Indonesia, selain  menimbulkan dampak lingkungan dan dampak sosial.
Perubahan bentang alam dan lingkungan hutan yang menjelma menjadi lahan perkebunan memunculkan masalah keberlangsungan fungsi kawasan tersebut dari yang awalnya sebagai perlindungan keanekaragaman hayati dan satwa langka. Belum lagi terjadinya bencana susulan, seperti asap, banjir, dan kekeringan.  Itu belum menyebut adanya konflik  konflik agrarian antara penduduk dan korporasi yang merasa telah memegang hak pengelolaan kawasan.
Konsorium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, selama 2018 sedikitnya ada 410 konflik agraria yang mencakup wilayah seluas lebih dari 800 ribu hektare dan melibatkan 87.568 KK di berbagai provinsi. Konflik agraria di sektor perkebunan sepanjang 2018 ada 144 kasus (35 persen) atau yang tertinggi, menyusul kemudian di sektor properti (137 konflik atau 33 persen), pertanian (53 konflik atau 13 persen), pertambangan (29 konflik atau 7 persen), kehutanan (19 konflik atau 5 persen), infrastruktur (16 konflik atau 4 persen), dan sektor pesisir (12 konflik atau 3 persen). Dari 144 konflik agraria di sektor perkebunan itu, 83 kasus atau 60 persen di antaranya terjadi di perkebunan kelapa sawit. KPA mencatat ada 659 konflik agraria sepanjang 2017, meningkat dari tahun 2016 yang mencapai 450 konflik, dengan penyumbang utama dari sektor perkebunan, umumnya dipicu ekspansi lahan yang bersinggungan dengan tanah milik masyarakat.
Fakta-fakta diatas menjadi bukti bahwa dibalik gurihnya harga TBS jelang akhir tahun karena dipicu penerapan B30, tak lantas membuat semua pihak terkait menutup mata dan hanya mengangkat sisi positif bisnis ini.
Jangan biarkan masalah-masalah yang ada menjadi api dalam sekam dan meledak pada satu waktu yang suka atau tidak akan merugikan semua pihak, khususnya dari serangan pihak luar negeri dengan kampanye hitamnya. Kerja sama semua pihak untuk mengatasi persoalan salah satu industri strategis dan penyumbang devisa terbesar dari sektor non migas menjadi niscaya. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H