Industri kelapa  sawit hingga saat ini adalah salah satu andalan Indonesia dalam meraup devisa. Hingga tahun 2018, total pemasukan yang diperoleh dari usaha ini tidak kurang  US$20,54 miliar atau setara Rp289 triliun.  Kontribusi minyak ini hanya kalah dari  dari batu bara yang sebanyak US$ 18,9 miliar atau setara Rp 265 triliun.
Dengan status peringkat dua dalam penghasil devisa tersebut, tak berarti masalah yang dihadapi industri ini jadi lebih ringan. Selain beragam hambatan dan pembatasan yang dibuat oleh sejumlah negara untuk pasar sawit dalam negeri di manca negara, masalah internal khususnya dari pelaku usaha khususnya dari petani perorangan dan kelompok juga tak sedikit.
Salah satu kendala atau  masalah terbesar sawit Indonesia adalah persoalan Sumber Daya Manusia atau SDM). Persoalan ini menjadi penting, karena hingga saat ini, industri perkebunan pohon  jenis akar serabut ini tetap bergantung serta mengandalkan tenaga kerja manusia dalam jumlah banyak.
Pasalnya, jika SDM dan tenaga kerja yang dimiliki kurang mumpuni, maka keunggulan komparatif sekaligus nilai tambah lain  yang dimiliki bisa menjadi sia-sia, atau justru berbalik menjadi boomerang.
Persoalan ini umumnya diketahui banyak terjadi di petani perorangan atau kelompok tani. Jumlah petani sawit mandiri atau kelompok ini mengelola tidak kurang dari 35 persen lahan sawit tanah air, selain BUMN (5 Persen) dan Korporasi swasta (60 persen)
Sudah sejak lama diketahui bahwa kualitas serta kemampuan petani sawit tanah air dalam mengelola kebun mereka yang terbilang rendah. Petani sawit dalam negeri masih kalah jauh produktif dibandingkan dengan Malaysia.
Salah satu dampak dari rendahnya kemampuan tersebut adalah minimnya pengetahuan petani lokal dalam hal penentuan bibit yang berkualitas serta unggul. Sebab pemilihan bibit yang tepat dan benar adalah titik awal untuk mendapatkan hasil dan panen yang maksimal.
Selama ini petani sawit  Indonesia banyak mengandalkan biji sawit mereka dari bibit jatuhan, bukan dari hasil pembibitan, sehingga produktifitas hasil kebun mereka tidak maksimal. Padahal, jika menilik pola kerja perkebunan sawit milik perorangan di Malaysia, jumlah yang bisa dihasilkan dari kebun petani mandiri ini bisa jauh lebih besar.
Untuk itu, para stakeholder sawit dalam negeri, baik pemerintah, asosiasi dan pihak terkait lain tak bisa lepas tangan. Alias maju sendirian dan menikmati secara lebih massif keuntungan yang mereka peroleh dari bisnis ini.
Tak seperti korporasi atau BUMN yang bisa mendapatkan SDM berkualitas dalam memelihara lahan mereka juga modal yang relative besar, para petani  relative kesulitan mendapatkan dua aspek pendukung tersebut.
Karena dengan SDM dan akses pendaanaan yang minim, mereka juga harus menghadapi sejumlah persoalan lain seiring lahirnya aturan baru dari pemerintah terkait penataan lahan seperti yang disyaratkan oleh label ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil)