Serangan bertubi-tubi masih terus dialami industry sawit dalam negeri terus berlangsug. Kalau dari luar negeri, serangan datang dalam bentuk beragan hambatan pemasaran, hingga  pengenaan tariff yang lebih tinggi. Maka dari dalam,  masalah aturan yang tumpang tindih antara banyak lembaga untuk usaha ini yang kerap jadi sasaran tembak
Maka kini, kritik baru yang baru saja dilepaskan untuk usaha ini  dari salah satu institusi negara kembali membuat pelaku usaha ini kerepotan. Padahal kalau dilihat sercara lebih jernih dan tidak hitam putih, maka kritik tersebut sejatinya juga menyentuh persoalan lebih dalam dalam masalah tata kelola usaha, yang itu juga menjadi bagian urusan secara tidak langsung oleh lembaga tersebut.
Sejatinya, masalah tersebut tidak bisa dilihat secara hitam putih, keterlibatan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) sebagai auditor negara untuk memeriksa tata kelola keuangan Kementerian/Lembaga baik pusat dan daerah juga harus dipertanyakan.Â
Kenapa demikian, karena kewajiban BPK juga menjangkau hingga ke pemerintah daerah, yang umumnya menjadi ujung tombak  pelaksanaan aturan kebun sawit yang disebut tumpang tindih itu.
Alih-alih bisa merimgankan, pernyataan BPK yang menyebutkan sekitar 81% perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak mematuhi tata kelola sawit menuai polemik. Pasalnya, pernyataan ini semakin mendiskreditkan citra komoditas sawit di pasar global yang saat ini tengah terpuruk.
Padahal, ragam masalah yang muncul adalah buah dari beleid tumpang tindih atau bertolak belakang antar satu lembaga dengan lembaga lain. Tak jarang aturan satu lembaga dengan aturan lain yang belakangan muncul dari lembaga yang sama juga bertolak belakang.
Contohnya tentang petani plasma yang mulai berlaku tahun  2007.  Berdasarkan Permentan No 26/2007 yang  mengacu kepada UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang  mengamanatkan Perkebunan Besar Swasta (PBS) maupun Perkebunan Besar Nasional (PBN) membangun plasma sebesar 20% dari luas konsesi dan itu tak berlaku surut. Namun dalam beragam kampanye   PBN dan PBS  yang sudah beroperasi sebelum aturan itu terbit kerap tak menjalani aturan itu.
Itu belum lagi bicara tentang luas lahan kewajiban plasma yang 20 persen tersebut. Disana juga ada beda tafsir. Ada  instansi yang menghitung plasma 20% dihitung berdasarkan luasan HGU, namun ada pula yang mengatur berdasarkan dari luasan areal yang ditanam.
Ada juga aturan lain  yang memicu persoalan baru seperti kebun sawit yang berasal dari Area Penggunaan Lain (APL) yang kemudian disertifikatkan menjadi Hak Guna Usaha (HGU).Â
Namun aturan perubahan tata ruang oleh Kementerian Kehutanan kemudian mengubah lahan yang sudah jadi perkebunan sawit tersebut hutan lindung.
Semestinya BPK harus mampu lebih jernih melihat sumber masalah yakni persoalan sinkronisasi aturan atau satu aturan dengan aturan lain.Â