Industri dan produk turunan kelapa sawit Indonesia dan Malaysia adalah produk yang sudah merasuk dalam kehidupan sehari-hari Eropa.
Beragam hasil olahan pohon ini, mulai dari minyak hingga mesin kendaraan telah menjadi bagian keseharian benua biru tersebut. Meski pada saat bersamaan, kritik baik secara terbuka atau lewat pihak ketiga kerap mereka lontarkan. Khususnya yang terkait dengan pengelolaan sumber alam dan pemeliharannya yang bersifat Berkelanjutan.
Bahkan, dalam beberapa tahap negosiasi, kelompok-kelompok negara dengan ekonomi kuat di kawasan benua biru tersebut mampu memaksakan standar mereka terhadap negara produsen. Neggara produsen wajib menggunakan sertifikat RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) yang mereka buat. Sebagai kompensasi mereka berjanji memenuhi target pembelian yang dimintakan.
Saat standar itu berhasil terpenuhi, janji ya tinggal janji. Karena hingga saat ini, target 100 persen pembelian dan penyerapan minyak sawit yang dengan label berkelanjutan yang mereka tuntut, tak kunjung dijalankan.
Berdasarkan kesepakan yang dibuat oleh RSPO dan Uni Eropa beberapa tahun lalu, blok dagang tersebut akan memenuhi target menyerap 100% minyak sawit berkelanjutan pada tahun 2020. Namun hingga tahun 2019 ini, jumlah minyak kelapa sawit dan produk turunan yang telah mereka serap baru mendekati angka 74 persen.
Padahal dipihak lain, dengan pemenuhan target tersebut, sebagaimana yang dijanjikan, akan mampu mempercepat penghapusan deforestasi.
Kegagaan Uni Eropa dalam memenuhi target pembelian tersebut mendapat perhatian dari  CEO RSPO, Datuk Darrel Webber. Dirinya bahkan mengkritik, jangankan berusaha memenuhi target pembelian, upaya diam-diam untuk menghentikan pemasaran justru sedang terjadi di kawasan tersebut. Ini terlihat dari masih banyaknya pasokan yang sudah terkirim belum dijual di pasaran.
Padahal, sawit yang telah masuk dan beredar di kawsan tersebut adalah buah dari kerja keras para petani dalam memenui beragam syarat yang telah ditentukan. Â Mereka telah menginvestasikan banyak waktu dan uang guna mengimplementasikan P&C baru. Jika para konsumen hendak memberikan insentif dan mengutamakan produksi berkelanjutan, pasar kelapa sawit seharusnya berkomitmen untuk membeli minyak sawit berkelanjutan bersertifikat dan mendukung upaya petani tersebut.
Bagi RSPO, perkara sawit dengan label berkelanjutan tersebut, bukan sekedar siapa menghadapi siapa. Tetapi, di adalah wujud dari tangggungjawab bersama yang harus dilakukan oleh  semua pemain industri."
Maka ditengah rasa enggan tersebut, beragam cara dilakukan antara lain dengan menambah ragam persyaratan. Kali ini, bukan pada bagian perkebunan, tapi pada proses produksi. Salah satu wujud hambatan halus tersebut adalah dengan memunculkan RED II, yang khusus menyasar pada produk biodiesel. Â
Uni Eropa sengaja menyasar produk biodiesel dan kerusakan alam sebagai senjata untuk menempelkan label negatif kepada negara produsen.
Padahal langkah sama untuk produk lain juga pernah dilakukan oleh benua tersebut, namun tak terkena apa yang disebut aturan berkelanjutan.
Lalu apakah target pemenuhan pembelian 100 persen minyak kelapa sawit itu akan dipenuhi. ?
Sepertinya belum, karena keinginan tetap menjadi pemegang kendali, walau sudah mulai terdesak sedang dialami kawasan tersebut. Hanya saja, seberapa kuat Indonesia dan negara produsen lain bisa punya stamina untuk menghadapi peperangan panjang tersebut.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H