Itu belum termasuk hambatan lain dari petani perorangan yang enggan bergabung dalam satu kelompok usaha berbentuk koperasi perkebunan karena kekurangan modal.
Maka selain aspek bantuan kredit yang menjadi wilayah tugas pemerintah,  keseragaman aturan serta penerapan tata kelola secara konsisten dan benar, diyakini akan banyak  membantu pelaku usaha, khususnya petani perorangan.
Hal sama juga berlaku kepada korporasi yang memiliki lahan jutaan hektar, justru dengan status pemain raksasa, tudingan menjadi biang kerok kerusakan dan perambahan hutan lebih mudah disematkan, kendati dalam banyak kasus, tindakan negative serupa juga tak sedikit dilakukan pemilik lahan perorangan.
Belum lagi kepada tudingan  bahwa tujuan awal keberadaan perkebunan dan industry kelapa sawit sebagai salah satu solusi ampuh peningkatan kesejahteraan masyarakat belum sepenuhnnya terlaksana.  Karena hingga saat ini, sebagian besar perkebunan sawit di Indonesia masih lebih banyak dikuasai korporat asing atau konglomerat dalam negeri.
Maka pada titik ini, berbicara tentang  sawit berkelanjutan, tak lagi hanya sekedar peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan dalam lingkup kepentingan  nasional secara ekonomi.. Meski harus diakui bahwa industry sawit dalam negeri telah menjadi salah satu penyumbang terbesar devisa non miga bagi negara.
Maka dengan terbitnya moratorium lahan perkebunan sawit oleh pemerintah sedikit mengurangi tekanan bagi Indonesia dalam menangkis ragam kampanye negatif pihak asing tersebut.
Pada akhirnya, semua kembali kepada pemegang kendali kebijakan usaha ini, baik di pusat maupun daerah.  Karena baik ISPO maupun RSPO  atau lebih, kredibilitas nama industry ini  tetap tergantung kepada kedisplinan dan konsistensi pemerintah dalam perjalannya  memperbaiki tata kelola industri sawit nasional demi kepentingan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H