"A woman is like a tea bag - you can't tell how strong she is until you put her in hot water". Eleanor Roosevelt
Bus trayek Solo - Tawangmangu melintasi gapura selamat datang desa yang terletak di lereng barat Gunung Lawu, Karanganyar itu. Kabut perlahan turun, petani yang memetik sayuran, hijau sejauh mata memandang mengalir begitu pelan.
Awalnya film Mantan Manten dibuka dengan kehidupan glamour perempuan sukses ala Jakarta: muda, terkenal, kaya, lulusan kampus Amerika. Namanya Yasnina Putri (Atiqah Hasiholan).
Setelah 10 menit berlalu, keberuntungan seperti menjauhi kehidupan Yasnina. Cerita pun berpilin menawarkan hidup yang sangat berbeda. Yasnina terbelit kasus hukum, harta disita, reputasi lebur, kehilangan teman dan pemujanya. "Hidup saya hancur", tangisnya.
Airmata itu, airmata yang membawa Yasnina mesti pergi menjauh dari Jakarta, tepatnya ke Tawangmangu. Dataran tinggi di lereng barat Gunung Lawu dan terkenal oleh cuacanya yang dingin.
Dan disanalah cerita sesungguhnya dimulai. Yasnina sendirian di dalam  bus trayek Solo -- Tawangmangu.
Anda akan terpukau bagaimana sutradara merinci detil-detil untuk memasukkan gambaran Tawangmangu ke kepala setiap penonton. Resepsi Mantenan Jawa dengan sajian piring terbang yang masih dipegang teguh oleh penduduk Tawangmangu, detil pada dekorasi janur dan rokok klobot yang sudah jarang dinikmati anak muda meresap dengan baik dalam ingatan saya.
Iya. Rokok klobot. Rokok dengan lintingan kulit jagung. Hangat aroma khas tembakau dan cengkeh menguar begitu Anda menyulut api diujungnya.
Saya cukup deg-deg-an selama menonton film Mantan Manten. Bukan. Bukan karena saya ingat mantan. Bukan itu.
Saya menunggu-nunggu adakah detil yang bakal salah? Di bagian mana? Apakah pada pilihan jarik yang salah? Mungkin di kebayanya? Paes Mantennya? Adakah kemungkinan si pembuat film tidak bisa membedakan mana adat pernikahan Jawa khas Solo, mana adat pernikahan Jawa khas Jogja?