Islamiah
Aku berlari-lari kecil menuju ruang guru. Bertanya-tanya pada diriku sendiri. Perbuatan bodoh apalagi yang tidak sengaja aku lakukan atau sengaja aku lakukan hingga harus menghadap ke ruang guru bertemu guru yang terkeren sejagat SMP ternama ini.
Seminggu terakhir ini aku tidak pernah melakukan apapun. Itu seingatku. Aku tidak bolos, tidak memanjat pohon di belakang sekolah dan tidak menganggu guru manapun. Aku yakin kali ini tidak ada kesalahan.
Aku menarik nafas dalam-dalam. melantunkan doa yang aku sendiri tidak tahu apakah isi dari doaku. Bahkan dalam doapun aku bisa ngelantur apalagi dalam menjalani kehidupan ini yang seperti sebuah permaianan.
Ayah... ini ruangan yang paling mengerikan. Dipermalukan dan tertawakan. Menjadi tontonan semua siswa-siswi di sekolah ini. Hanya saja meski begitu aku tidak pernah jerah dengan semua hukuman. Kadang akupun heran pada hobiku yang aneh ayah. Jangan bilang bahwa tingkahku ini adalah warisan karaktermu.
Aku melangkahkan masuk kakiku. Menjulurkan kepalaku seperti jerapah kemudian memandang ke sekeliling ruangan. Semua mata tertuju padaku. Aku menelan air liur kecut. Menarik kembali kepalaku sejajar tubuhku. Kakiku melangkah dengan berat masuk ke ruangan guru. Terakhir masuk minggu lalu karena ketahuan menyetorkan tugas temanku yang tidak kerja tugas. Entah baik atau sebenarnya aku gila urusan. Aku tidak peduli selama aku nyaman menjalaninya.
Aku menghadap pada guru matematikaku. Guru terkeren menurutku. Bahkan mimpi gilaku sedang bersenang-senang dengan berpacaran dengan guru keren tersebut. Mimpi gilaku berharap bahwa usia tidak akan pernah jadi persoalan dalam percintaan.
Aku tertunduk di depan meja guru matematika. Aku yakin untuk nilai ulangan yang buruk bukanlah alasan aku dipanggil ke ruang guru ini. Bukankah nilaiku selalu terbaik se-SMP? Hanya tingkahkupun menjadi salah satu keluhan terlepas dari kecerdasanku. Apa kali ini aku ketahuan lagi memberikan contekan pada April teman sebangkuku? Tapi bagaimana mungkin ketahuan? Ataukah memang IQ April benar-benar di bawah rata-rata sampai ketahuan seperti ini?
Aku gugup. Aku sudah berjanji untuk tidak melakukan hal yang melanggar peraturan. Jika masih melanggar aku akan dikeluarkan tanpa surat peringatan lagi. Aku semakin kwatir. Bagaimana mungkin aku melanggar peraturan itu dalam seminggu setelah aku tanda tangan surat pernyataan itu.
“Kenapa lagi dengan Islamiah pak Idrus?” Celutuk ibu Eni. Guru sejarahku yang merangkap menjadi wali kelasku. Pak Idrus hanya tersenyum menjawab pertanyaan itu. Senyum yang menenangkan.
“Namanya Islamiah tapi perbuatannya tidak mencerminkan namanya.” Sinis Pak Andre. Guru tergalak di sekolahku. Aku mengcibir menanggapinya yang dibalas dengan senyuman manis oleh pak Indrus. Senyum yang akan selalu mencairkan es batu. Senyum yang akan meluluh lantakkanku. Senyum yang menerbangkanku naik ke langit dan lupa untuk kembali ke bumi.
“Minggu ini ada olimpiade matematika dan kau yang akan mewakili sekolah ini.” Pak Idrus memberikan penjelasan mengapa aku dipanggil di ruang guru.
“Kapan itu pak Idrus?” Tanya ibu Aisyah yang merupakan guru bahasa Indonesia. Aku hanya diam mendengar percakapan mereka.
“Minggu ini ibu.” Jawab pak Idrus pada ibu Aisyah.
“Tepatnya tanggal berapa pak?” Tanya ibu Aisyah lagi. Membuatku jengkel. Bukankah yang akan ikut olimpiade itu adalah aku. Mengapa ibu Aisyah sepertinya kurang kerjaan dengan bertanya terus tentang olimpiade tersebut.
“Tanggal tujuh ibu. Bulan ini.” Jawab pak Idrus sabar.
“Tidak bisa pak. Karena itu bertepatan dengan tampilnya Islamiah sebagai pemenang lomba pidato dan puisi sekecamatan waktu tujuh belasan kemarin.” Bantah Ibu Aisyah. Dahiku berkerut. Sejak kapan ada lanjutan lomba seperti yang ibu Aisyah jelaskan. Jika harus memilih maka aku pasti akan memilih untuk mengikuti olimpiade matematika meski aku tahu bahwa peluangnya untuk menang itu sangat kecil. Setidaknya seharian aku bisa melihat pak Idrus.
“Tapi ibu.. islamiah mau mengikuti olimpiade ini.” Jawabku pada ibu Aisyah.
“Tidak boleh Islamiah. Kau harus ikut lomba puisi dan pidato.” Jawab Ibu Aisyah tegas. Aku memicingkan mataku menatapnya. Dasar perawan tua umpat hatiku. Pak Idrus hanya menatapku.
***Cafein Cinta***
Bukankah aku sudah terkenal pembangkang. Tidak masalah jika aku menambah satu saja catatan burukku di sekolah ini. Setidaknya aku akan di kenang sebagai si cerdas yang pengacau. Bukankah selama ini sekolah ini hanya mencetak seorang pelajar yang cerdas dan penurut dimana semua sikap dan sifat baik berpusat padanya. Seperti seniorku kak Andi yang berhasil membawa nama sekolah ini hingga international.
Tidak masalah kali ini sekolah ini mencetak satu lagi nama seorang pelajar yang cerdas namun tidak diiringi dengan prilaku yang membanggakan. Setidaknya itu lebih di kenang dari pada kak Andi. Karena meski dalam kenakalan apapun namaku pasti akan disebut dengan pengecualian cerdasku.
Tepat tanggal tujuh. Pak Idrus menatapku dengan pandangan horornya. Tapi anggaplah bahwa cinta akan membutakan segalanya. Meski di depan aku tahu bahwa lautan bara tengah menungguku karena semua tingkahku yang tidak aku fikirkan dengan jernih tetap saja aku bahagia menjalani hari ini. Menatap wajah pak Idrus sepanjang waktu. Semahal apapun harga yang harus aku bayar maka tetap akan aku jalani meski taruhannya adalah masa depanku. Aku akan keluar dari sekolahku tercinta ini.
“Kau ingin ikut olimpiade?” Tanya pak Idrus ketika melangkah menuju pagar sekolah.
“Iya pak.” Jawabku tegas kemudian tersenyum manja berharap senyum itu akan meluluhkannya dan mengizinkanku untuk mengikuti lomba olimpiade tersebut.
“Bagaimana dengan lombamu yang lain?” Tanyanya kemudian menyerahkan surat izin pada penjaga pagar. Aku menarik lengan bajunya sebagai permohonan untuk menulis namaku di buku izin keluar sekolah itu. Pak Idrus menatapku lagi kemudian menimbang-nimbang keputusannya.
“Cepatlah pak. Nanti...” Aku tidak melanjutkan kalimatku. Tatapan pak Idrus semakin aneh. Dia seorang guru dan aku yakin bahwa dia apa yang aku coba sembunyikan. “Waktu aku ikut lomba aku yang terakhir tampil pak. Masih bisa dikejar sepulang dari olimpiade. Aku serius pak aku ingin ikut lomba itu.”
“Awas kalau bohong.” Ancam pak Idrus menunjukiku dengan pulpen yang dia pakai untuk mengisi buku izin keluar sekolah tersebut.
“Aku tidak akan melanggar peraturan sekolah lagi pak. Kalau aku melanggar akan di keluarkan. Tidak akan ada sekolah yang menerimaku kecuali aku mendaftar jadi siswi baru di sekolah lain tahun depan.” Jelasku mencoba untuk menyakinkannya.
“Baiklah. Ambil tasmu di kelasmu.” Kata pak Idrus. Aku tidak bergeming. Menarik lengan bajunya sekali lagi. “Islamiah. Kau bukan anak kecil yang harus aku bohongi dan meninggalkanmu ketika kau ke kelasmu. Aku seorang guru Islamiah tidak akan melakukan itu padaku. Terlepas dari itu semua kau pasti tahu bahwa kaulah harapanku. Aku yakin hanya kau yang bisa bersaing di olimpiade ini. Jadi pergilah.” Katanya.
Aku tersenyum berlari-lari kecil ke kelasku. Mengambil tasku dan mengabaikan pertanyaan semua temanku. Aku berlari-lari kecil kembali ke tempat pak Idrus tapi aku tersentak dengan tatapa tajam yang terarah padaku. Aku berbalik dan membalas tatapan itu dengan tanda tanya. Seorang pemuda dengan perawakan sederhana dan aku tahu bahwa dia memiliki IQ di bawah standar mengingat dia tidak populer sepertiku. Bahkan mengenalnyapun tidak. Semenit kami bersitatap kemudian aku mengabaikannya dan berlari kembali ke arah pak Idrus.
“Jawab saja sebisamu.” Pak Idrus menjelaskan tanpa mengalihkan tatapannya dari ramainya jalanan. “Olimpiade ini sistemnya seperti penerimaan mahasiswa baru di sebuah universitas negeri. Sifatnya menyeleksi. Jawaban benar kau akan dapat nilai empat dan jika salah akan dapat minus satu. Kerja sesuai dengan kemampuanmu.”
“Tenang saja pak.” Jawabku. Bagaimana rasanya di usia dua belas tahun duduk bersebelahan dengan pemuda yang kau cinta. Hanya berdua dalam mobil ini. Melayang. Seperti semua bunga-bunga di muka bumi ini sedang bermekaran dan berlomba mengirimkan wangi cintanya kepada kami.
“Islamiah. Bapak mengandalkanmu.” Katanya ketika aku melangkah memasuki ruangan olimpiade.
Ruangan olimpiade ini tidak ada bedanya dengan kelasku. Hanya saja kali ini dipenuhi oleh pemilik kepala-kepala jenius yang penuh dengan rumus matematika. Aku sedikit bergidik. Sedikit menyeramkan ketika harus berada diantara orang-orang cerdas. Bagaimana aku bisa berjuang bersaing dengan mereka jika seandainya mereka adalah teman-teman sekelasku. Mungkin setiap malam aku habiskan dengan belajar dan tidak akan lagi berbuat nakal, tidak melanggar peraturan di sekolah.
“Tidak ada selembar kertaspun yang ada diatas meja selain soal dan lebar jawaban. Tepat jam sepuluh maka olimpiade ini di mulai.” Ujar sang pengawas olimpiade. Sebenarnya aku penasaran bagaimana olimpiade itu dilaksanakan. Tadinya aku pikir seperti perlombaan yang heboh atau dilaksanakan di laboratorium atau apalah bukan sejenis ujian seperti ini.
“Oke. Siapkan semua peralatan kalian. Tepat ketika bel berbunyi maka olimpiadepun di mulai.” Selepas penjelasan itu bel olimpiadepun berbunyi.
Lumayan sulit tapi bisa dipastikan bahwa tidak ada jawabanku yang salah. Karena jika aku ragu maka aku pasti memutuskan untuk tidak menjawabnya. Kalaupun tidak mendapat juara itu tidak masalah setidaknya aku sudah bahagia dengan kebersamaanku dengan pak Idrus.
“Kita makan siang dulu sambil menunggu hasil tesnya.” Ujar pak Idrus. Aku hana cengegesan menanggapinya. Pak Idrus seperti selalu mampu membaca pikiranku. “Kenapa?” Tanyanya lembut. Wahai semesta tolong kali ini saja jangan buatku melayang. Seakan pertanyaan itu adalah pertanyaan perhatian terhadapku.
“Anu pak... lomba pidatoku serta lomba puisiku. Mungkin lebih baik aku kembali ke kecamaan sekarang. Bapak bisa menunggukan hasilnya? Kalau sempat aku akan kembali ke sini pak. Semangat pak.” Ujarku kemudian tersenyum dan berbalik berlari meninggalkan pak Idrus tanpa mendengarkan sepatah katapun darinya. Aku sudah berjanji untuk tidak melanggar aturan sekolah kalaupun kali ini aku menambah catatan burukku setidaknya sekarang aku berusaha untuk memperbaikinya.
Pukul lima sore. Pembacaan puisi serta pidato berhasil aku lewati dan aku memutuskan untuk kembali ke kabupaten menemui pak Idrus. Bukankah pesertanya ada ratusan dari semua sekolah di Kabupaten ini. Bukan hal mudah untuk memeriksa jawaban para peserta. Sampai besokpun pasti tidak akan selesai.
Ternyata perkiraanku meleset. Bukannya menemukan pak Idrus di tempat olimpiade tersebut malah menemukan pemilik tatapana tajam seperti elang itu. Aku membalas menatapnya seakan bertanya apa kesalahanku terhadapnya hingga dia membenciku seperti itu. Kami berbicara lewat tatapan.
***Cafein Cinta***
Hari ini aku kembali harus menghadap ke ruang guru. Tepat di hari jumat ketika semua siswa-siswi sedang asyik senam pagi maka aku sedang gugup menuju ruang guru. Diiringi dengan tatapan tajam guru lain. Seakan bertanya padaku kekacauan apalagi yang aku perbuat. Aku membalas tatapa itu dengan tatapan sendu seakan berkata bahwa aku benar-benar tidak berbuat apapun kecuali kabur dari semua lomba yang aku ikuti.
“Kenapa tidak menunggu pengumuman Islamiah?” Tanya ibu Aisyah dengan tatapan menohok. Aku berbalik ke belakang. Tepat di depan meja ibu Aisyah adalah meja pak Idrus. Pak Idruspun memandangku dengan tatapan geli. Aku memicing padanya. Dia malah terkesan menahan tawanya.
“Islamiah. Kalau ditanya jangan memperhatikan yang lain.” Bentak ibu Aisyah. Aku hanya diam. Ingin sekali berteriak bahwa silahkan ibu Aisyah marah atau mungin menghukumku tapi jangan di depan pak Idrus karena saat ini aku sedang berusaha untuk menanam perilaku baik di depannya.
“Aku sakit perut ibu.” Jawabku sekenanya. Ingin sekali aku berbalik dan melihat kembali ekspresi pak Idrus.
“Kalau seperti itu. Ibu tidak bisa bilang apa-apa. Kau juara dua. Untuk lomba puisi dan jura tiga untuk lomba pidato. Setidaknya pada tingka akhir perlombaan itu kau tetap bisa menyabet juara. Karena salah satu pertimbangannya kau terlambat datang.” Ujar ibu Aisyah dengan mata berbinar. Bukankah dalam tiga tahun terakhir ini hanya aku dan kan Andi yang bisa menorehkan tinta emas untuk sekolah ini. Wajar jika ibu Aisyah bahagia. Toh aku sukses di bidangnya. Aku berbalik. Tidak ada lagi pak Idrus. Aku melangkah gontai meninggalkan ruangan guru. Setidaknya pak Idrus harus tahu akhir kisah hari ini. Bahwa aku dipanggil ke ruangan guru bukan hanya untuk di marahi tapi juga untuk diberikan selamat.
Aku gontai memasuki kelas. Disana pak Idrus sudah tersenyum manis duduk di kursi guru. Aku tidak menatapnya. Bukan karena malu tapi karena marah. Setidaknya dia bisa mendengar bahwa aku melakukan pekerjaanku dengan baik kemarin. Bukan malah pergi.
***Cefein Cinta***
Bagaimana rasanya memandang riak ombak denga seorang pemuda yang sangat kau cintai di sampingmu? Seperti mimpi indah. Ada semerbak wangi kebahagiaan yang memenuhi rongga dadaku. Akan menjadi penyemangat setiap kali aku bangun tidur. Akan selalu menjadi motivasi untuk masa depan yang jauh lebih baik.
Terlepas bahwa dia adalah guruku maka waktu tolong longgarkan sedikit ikatanmu hingga ini tidak berlalu dengan cepat. Aku sangat bahagia. Meski aku tahu bahwa ini bukanlah kencan tapi aku sudah sangat bahagia. Anggap saja untuk hari ini saja aku sedang kencan dengan pemuda yang aku cinta. Kupu-kupu cinta beterbangan diantara kami. Angin yang berembus mengukir kisah cinta kami.
Untuk hari ini saja maka aku berharap pantai ini bersedia menjadi latar cintaku. Cinta yang aku pupuk dengan harapan-harapan yang aku coba untuk hadirkan. Hanya untuk hari ini. Setidaknya aku bisa bahagia sekali seumur hidupku. Hanya untuk hari ini.
“Bapak minta maaf Islamiah.” Kata pak Idrus lirih. Baju dan celananya mengembang akibat angin yang berembus kencang. Rambutnya yang rapi sedikit berantakan membuatnya terlihat lebih mudah sepuluh tahun itu berarti kami terlihat serasi seperti pasangan kekasih lainnya.
“Minta maaf untuk apa pak?” Tanyaku dengan bibir yang menyunggingkan senyum. Bukan untuk mengoda tapi hatiku sedang memimpikan hal yang berbeda. Hatiku yang gila sedang mengkhayal bahwa permohonan maaf itu untuk rasa yang hadir diantara kami. Rasa cinta terlarang karena beda usia. Tidak perlu kwatir pak. Asalkan kaupun suka padaku maka aku berjanji bisa memperjuangkanmu menjadi suamiku di depan keluargaku. Imajinasi liarku sedang asyik berfantasi.
“Bapak juga tidak bisa melakukan apapun.” Ujarnya kemudian melepaskan kacamatanya menyeka sudut matanya. Ini sudah terlihat serius dan sepertinya tidak sesuai dengan apa yang aku fikirkan.
“Ada apa sebenarnya pak?” Tanyaku penasaran.
“Aku tidak bisa perjuangkanmu ketika aku diminta untuk menghadap ke panitia penyelenggara olimpiade. Buat orang lain. Bahwa harga diri sebagai penyelenggara itu diatas segala-galanya. Tidak mungkin mereka kalah di kadang mereka sendiri. Karena itu aku hanya bisa diam ketika mereka mengatakan bahwa mereka yang harus menjadi pemenang dan kau hanya bisa menjadi juara dua.” Pak Idrus mencoba menjelaskan dengan suara serak. Sepenting itukah olimpiade ini buatnya? Bahkan tidak ada kekecewaan aku mendengarkan penjelasannya. Bukankah aku mengikuti olimpiade tersebut hanyalah karena ingin bersamanya. Jika menang itu adalah bonus untuk obsesiku.
“Tidak ada pak. Namanya juga lomba. Kadang menang kadang kalah. Kalaupun kalah dengan cara seperti itu. Percayalah bahwa akulah pemenang sesungguhnya. Tidak perlu ada olimpiade. Cukup bapak yang mengakui kecerdasanku itu sudah cukup.” Jawabku tulus. Cukup dia yang mengakui kecerdasanku maka aku tidak perlu lagi pengakuan dari yang lain. Cukup dia yang beranggapan bahwa aku yang terbaik dan aku tidak butuh orang lain mengakuinya pula.
“Kelak jika kau benar-benar dewasa nanti maka cegahlah kemungkaran dengan tanganmu, jika tidak mampu maka cegahlah dengan lisanmu namun jika itupun kau tidak mampu maka cegahlah dengan doamu. Itulah selemah-lemah iman.” Ujarnya kemudian membelai rambutku.
“Terlalu berat untukku amanah itu pak. Tidak bisa aku memungkiri bahwa aku memang siswi ternakal. Bagaimana aku mengcegah kemungkaran jika aku sendiri yang menciptakan kemungkaran tersebut. Berat pak.” Jawabku.
“Kau pasti bisa. Aku yakin kau anak yang baik.” Katanya kemudian merapikan rambutku. Untuk pertama kalinya aku sadar bahwa dia memang menyayangiku sebagai anak bukan sebai perempuan. Bukan sebagai lawan jenisnya.
Aku belum mengubur mimpi-mimpi itu. Meski aku tahu bahwa perasaanku tidak terbalaskan. Aku tetap memelihara mimpi-mimpi itu. Membiarkannya tumbuh subur dalam hatiku. Aku tidak sedang menanawa mawar cinta dalam hatiku hingga aku harus ketakutan akan durinya yang mungkin akan menusukku tajam. Aku menanam angrek cinta yang menumpang di pohon hatiku. Akan menjadi penyemangatku tanpa harus melukaiku.
***Cefein Cinta***
Ayah aku akan pulang. Tiga tahun diasramakan cukup membuatku sangat merindukanmu. Meski bayarannya adalah harus kehilangan kisah cintaku dengan pak guru yang keren itu.
Ayah apa kabarmu? Masihkah kau menjadi ayah yang akan tertidur dengan nyanyian amarah dari ibu? Masihkah kau menjadi ayah bijak yang menanggapi semua keadaan dengan senyum manis? Jika iya maka aku akan kembali menemuimu dengan kisahku.
“Dunia di luar sana kejam Islamiah.” Nasehat Pak Idrus ketika aku memilih untuk duduk di belakang kelas setelah menerima penghargaan sebagai siswi dengan nilai terbaik tahun ini.
“Aku tahu pak. Mungkin di luar sana tidak ada lagi orang yang bisa menerima semua tingkah konyolku.” Kataku berusaha untuk bercanda.
“Kadang yang terlihat tidak sama dengan yang sebenarnya. Belajarlah untuk menganalisa. Orang tersenyum padamu bukan berarti memang mereka menyukaimu. Orang marah padamu bukan berarti membencimu.” Pak Idrus menatapku dengan tatapan kwatir.
“Iya pak.” Jawabku.
“Tanamkan kecurigaan pada setiap orang meski itu hanya satu persen. Agar kau tidak terluka. Agar kau tidak tertipu. Jangan terlalu baik pada orang. Itulah kelemahanmu.” Katanya sambil tersenyum dipaksakan ke arahku.
“Entahlah pak tapi ayah selalu berpesan bahwa aku harus baik pada semua orang. Terserah mereka hanya menipuku. Terserah mereka hanya memanfaatku. Kata ayah itu urusannya dengan Allah dan urusanku hanyalah berbuat baik. Jika aku menanamkan kecurigaan pada setiap orang itu berarti aku berharap orang itulah yang membalas kebaikanku. Padahal kata ayah sebaik-baik pembalasan itu datangnya dari Allah.” Jawabku.
“Kau memang selalu berbeda Islamiah. Bahkan meskipun itu jelas-jelas salah kau selalu mengatakan bahwa itu semua kembali pada niat. Kau hanya ingin berbuat baik tidak peduli kau hanya dimanfaatkan ataupun ditipu. Aku penasaran bagaimana kau bertahan di dunia yang kejam ini dengan prinsipmu yang seperti itu.” Jelasnya kemudian kembali memperbaiki poni rambutku.
Ayah.. pak guru bilang dia penasaran bagaimana aku menjalani kehidupanku. Bagaimana aku bertahan dengan prinsipku di dunia yang kejam.
Ayah haruskah aku ceritakan pada pak guru apa yang ayah alami karena prinsip itu? Bagaimana om ayah menipu ayah dengan meminta pinjaman di bank memakai sertifikat rumah ayah kemudian dia kabur meninggalkan utang yang harus ayah bayar. Apakah ayah marah dan mencarinya? Ayah hanya bilang berniat berbuat baik tanpa harus curiga pada keluarga sendiri.
Ayah haruskah aku ceritakan pada pak guru tentang prinsip ayah yang hampir menghancurkan rumah tangga ayah dan ibu. Karena ibu tidak sepaham dengan prinsip itu.
Ayah haruskah aku ceritakan pada pak guru betapa ayah selalu menjalani hidup dengan senyum karena ayah selalu percaya bahwa Allah selalu ada bersama ayah.
Ayah.. aku tidak peduli dengan dunia luar yang kejam. Setidaknya akupun tidak harus ikutan kejam untuk bisa bertahan hidup.
Aku akan jadi ikan di tengah lautan kehidupan. Dagingku tidak akan ikut asin hanya karena aku hidup di lautan.
***Cafein Cinta***
Masa Transisi
Pak Idrus.. usiaku tujuh belas tahun ketika aku melangkahkan kaki ke suatu tempat yang bernama Universitas. Bukan karena aku tidak benar-benar mencintaimu sehingga tidak memilih jurusanmu. Tapi karena panggilan hatiku tidak disitu. Aku tidak ingin jadi ahli matematika pak. Aku ingin menjalani hidupku seperti ayahku pak. Untuk kali ini kau tidak jadi prioritas pak. Untuk kali ini aku akan benar-benar mengejar mimpiku.
Aku ingin menjadi seorang sastrawan dengan belajar sastra. Terlalu muluk-muluk mungkin. Tapi bukankah bapak mengatakan bahwa aku cerdas? Aku pasti bisa. Karena aku percaya bahwa kerja keras akan mengubah segalanya termasuk jalan takdir.
Ayah menjalani hidupnya tidak dengan menjadi pegawai negeri seperti mimpi orang desa lainnya. Tapi ayah menjalani hidup sebagai pedagang sukses agar bisa punya waktu untuk keluarganya. Begitupun denganku pak. Aku akan menjalani hidupku menjadi sastrawan yang punya waktu untuk keluarganya. Bukan harta yang akan aku bawa keakhirat pak tapi keluargaku.
Pak Idrus... jika kali ini kita bertemu apakah kau akan jatuh cinta dengan penampilanku? Aku sudah tumbuh dewasa pak. Dengan tinggi 162 cm, lumayan tinggi untuk ukuran perempuan. Dengan tubuh yang cukup langsing. Rambutku terurai panjang namun masih berponi mungkin masih terobsesi dengan belaian bapak ketika merapikan poniku. Baju kemeja dengan celana kain. Bukankah itu style yang bapak suka? Wajahku lumayan cantik dengan kulit putihku pak. Apakah kau akan jatuh cinta padaku pak?
Katanya dunia kampus adalah masa transisi dimana dari remaja menuju dewasa. Jika bapak penasaran bagaimana aku menjalani hidupku maka kali inipun aku penasaran bagaimana aku menjalani hidupku. Jauh dari keluarga dan sedang mengembang amanah. Berat. Seberat amanah yang pak Idrus embangkan padaku.
Aku menyusuri kampus yang sangat luas ini. Tapi herannya meski luas tetap saja ada celah untuk melakukan reboisasi. Di tengah kota Makassar maka kampus ini menyajikan pemadangan yang berbeda. Penuh dengan pepohonan yang rimbun.
Pak Idrus... inilah kampusmu dulu. Meski aku tidak memilih jurusan yang kau pilih tapi bukan berarti aku tidak ingin kuliah di kampusmu. Aku penasaran seperti apa dunia kampus mendidikmu sampai saat itu berat sekali kau melepasku berhadapan dengan dunia luar yang kejam.
Semua ada waktunya pak Idrus dan saat itu wejangan terakhir untukku harus kau katakan agar aku bisa menghadapi dunia. Lihatlah saja bagaimana kehidupan memperlakukanku maka akan membentuk pribadi yang berbeda-beda. Mungkin saat itu generasi pak Idrus sedang diperhadapkan dengan masalah kebijakan sehingga dapat melahirkan generasi yang bijak seperti bapak. Tapi mungkin saat ini. Kehidupan akan memperhadapkanku dengan persoalan hidup yang sederhana saja pak. Entahlah. Kita lihat saja.
“Islamiah..” Suara baritong yang tidak aku kenal memangilku ketika aku melangkah meninggalkan ruangan tata usaha setelah menyelesaikan administrasiku.
“iya...” Jawabku kemudian berbalik memperhatikan pemuda yang berlari ke arahku. Berpenampilan menarik, lumayan keren di mataku. Dengan kuliatnya yang putih untuk ukuran seorang lelaki dan hidungnya yang mancung.
“Kau ingat aku?” Tanyanya disela-sela kelelahannya menjejeri langkahku.
“Aku tidak mengingatmu.” Jawabku polos tanpa berfikir bahwa pemuda ini bisa saja kecewa dengan kejujuranku.
“Aku Ken. dulu kita tetangga kelas waktu masih SMP.” Ujarnya. Aku memperhatikan wajahnya. Mencoba mencari sosoknya di memori otakku. Seperti spongebob yang mencari memari itu di setiap laci dalam memori otaknya. Aku menatapnya dalam-dalam dan menemukan tatapa tajam itu. Tatapan elang yang dulu meski dia menatapku dari belakang tetap saja bagai pedang yang menghunus tubuhku.
“Jadi namamu Ken?” Tanyaku.
“Iya... kau ingat?” Tanyanya berbinar. Aku tersenyum kemudian menganguk mengiyakan. Tidak mungkin aku menceritakan padanya bahwa aku tidak mungkin melupakan tatapan kebencian itu. Meski mungkin akulah yang salah dala mengartikannya.
“Kau kuliah disini? Jurusan apa?” Tanyanya mencoba untuk akrab denganku.
“Sastra Indonesia.” Jawabku.
“Sama kalau begitu.” Katanya penuh semangat.
Pak Idrus... pernahkah bapak mengajar di kelas Ken? jika aku adalah lambang kebanggaan serta harapan bapak maka aku tahu bahwa Ken adalah lambang kegagalan bapak. Meski otaknya di bukapun kemudian di masukkan rumus-rumus matematika itu aku yakin bahwa tidak akan pernah bisa dia pahami.
Aku bisa membayangkan betapa frustasinya bapak saat itu. Tapi tahukah bapak bahwa orang-orang seperti dia lebih paham bagaimana menjalani kehidupan dibandingkan denan orang-orang sepertiku. Yang bapak selalu sebut bahwa aku terlalu lugu dalam menghadapi dunia.
***Cafein Cinta***
Aku meletakkan ranselku di sofa ruang tamu. Aku terlalu lelah untuk memperhatikan kebersihan dan keindahan. Berkeliling kampus dengan jalan kaki bersama Ken pemuda yang sudah lama aku tahu namun baru tadi siang aku kenal namanya. Lumayan menyenangkan meski terkesan pembual.
Aku meneguk air es kemudian melangkah ke ruang tamu dan membaringkan tubuhku di sofa. Mencoba untuk memejamkan mataku. Benarkah aku sudah menjadi seorang mahasiswi? Pak Idrus bapak lupa memberiku bekal bagaimana menghadapi masa transisi ini. Masa dimana egoku selalu aku ke depankan. Ayah juga diam. Hanya pesan aku harus berbuat baik yang menjadi pesan untuk semua momen dalam kehidupanku. Ayah bahkan lupa memberiku saran bagaimana jika aku telah berbuat baik tapi tetap orang jahat padaku.
Aku menghembuskan nafas beratku. Aku seperti memulai kehidupanbaru. Kehidupan tanpa ayah dan ibu disetiap detiknya. Mereka menyebut ini mandiri. Jauh dari keluarga. Tapi buatku ini adalah siksaan. Makan sendiri, nonton sendiri dan banyak hal lain yang aku jalani sendiri.
“Assalamu alaikum... Islamiah.” Teriak suara baritong itu lagi. aku tertawa kecil. Benarkan pak Idrus, dia sangat bodoh. Bagaimana mungkin dia tidak tahu bahwa disudut pagarku ada bell. Dia tidak perlu berteriak sekencang itu. Membangunkan para tetangga yang sedang beristirahat di siang hari.
“Waalaikum salam. Masuk Ken.” Ajakku.
“Maaf menganggu.” Ujarnya berbasa-basi.
“Tidak. Bahkan aku sangat senang kau datang. Setidaknya aku tidak makansiang sendirian.” Ujarku bersemangat. Dia tersenyum menatapku. Meskipun dia gagah namun senyumnya belum mengalahkan senyummu pak Idrus.
Aku memanaskan makanan sebelum menyajikannya. Ken memilih untuk menonton di ruang keluarga sambil menungguku menyiapkan makanan. Baru beberapa jam kami saling kenal ternyata kami bisa sedekat ini. Waktu memang tidak pernah memberikan jaminan apapun.
“Agak asin.” Ujarnya ketika menyantap makanan.
“Benarkah?” Tanyaku.
“Tapi sudah agak mending. Rasa asinnya sudah dinetralisir dengan wajah manismu.” Jawabnya. Benarkan pak? Dia seorang perayu dan pembual. Tapi untuk saat ini masih dalam batas-batas yang bisa aku percaya.
Ken masih saja memilih untuk berbincang-bincang hingga sore. Menceritakan betapa hebatnya dia karena mampu kuliah sambil kerja. Bahwa hasil kerjanya sudah dinikmati oleh semua orang dalam keluarganya. Kakaknya yang pertama telah dia bantu untuk membangun rumah, lalu kakak iparnya yang berpofesi sebagai sopir telah dia belikan mobil. Lalu ayah dan ibunya telah dia bahagiakan dengan memperbaiki rumah mereka sesuai dengan rumah adat untuk darah nigrat sepertinya. Pak Idrus bisakah kali ini aku menyebutnya sedang membual? Ataukah saat ini dia sedang membuatku iri karena aku masih dibiayai oleh orang tuaku. Apapun itu pak Idrus tetap saja membuat hatiku tidak betah berlama-lama dengannya.
“Sudah larut malam. Aku pulang.” Ujarnya kemudian beranjak meninggalkanku yang sangat kelelahan. Aku menatap punggung Ken yang semakin menjauh. Dia teman yang sangat cerewet.
***Cafein Cinta***
Sang mentari tersenyum manis pada bumi. Seakan mengatakan selamat pagi pada semua penghuni jagat raya. Seperti janjiku bahwa senyum pak Idrus akan selalu menjadi penyemangatku dalam menghadapi hari-hariku. Bahkan kali ini aku sangat bahagia menjemput pagi.
“Selamat pagi Islamiah.” Pemilik suara baritong itu bahkan sudah ada di depan rumahku ketika pertama kali aku membuka mata.
“Ken...” Sapaku ketika dia berlari-lari kecil di depan rumahku.
“Aku sedang joging. Karena itu aku menyempatkan diri menjengukmu.” Jawabnya terkesan basa basi. Meski dia memang memakai baju kaos serta celana training tapi itu belum membuatku yakin bahwa dia memang sedang joging dan kebetulan yang dia sengaja lewat di depan rumahku.
“Masuklah dulu.” Ajakku.
“Kalau kau memaksa. Aku akan masuk.” Jawabnya. Aku tersenyum menanggapi kata-katanya. Bukankah itu harapannya.
Ken mencuci mukanya di kamar mandi ketika aku menyiapkan sarapan. Nasi goreng untuknya dan roti bakar buatku. Dan segelas susu cokelat untuk kami berdua.
“Kau tidak ke kampus hari ini?” Tanyanya sambil melahap nasi goreng buatanku.
“Tidak. Minggu depan baru perkuliahan dimulai.” Jawabku masih tetap menatapnya.
“Kenapa tidak pulang kampung dulu?” Tanyanya kemudian menyilangkan sendok dengan garpu pertanda dia selesai sarapan.
“Tidak nambah?” Tanyaku.
“Tidak terima kasih.” Jawabnya.
Ken sedang nonton di ruang keluarga ketika aku membersihkan dapur. Meski aku heran dengan sikapnya aku tetap tidak keberatan ketika dia menganggap rumah ini adalah rumahnya.
Ken sedang membuat susu cokelat dingin ketika aku melangkah ke kamar untuk mandi dan bersiap-siap untuk melakukan belanja bulanan. Aku tidak tahu bagaimana mengatakan pada Ken? Ataukah aku mengajaknya juga agar aku tidak sendirian belanja bulanan. Entahlah. Aku juga bingung karena aku belum begitu dekat dengan Ken.
“Kau akan keluar?” Tanyanya ketika aku melangkah keluar kamar dengan meneteng ranselku. “Bukannya kau tidak ke kampus?”
“Aku bukan mau ke kampus. Tapi akan ke pusat perbelanjaan. Bias kebutuhan bulanan.” Ujarku.
“Kalau begitu aku ikut. Kau pasti akan kelelahan membawa barang banyak.” Katanya penuh semangat. Aku hanya tersenyum memandangnya yang penuh dengan semangat.
***Cafein Cinta***
Aku tidak tahu apa yang mesti aku lakukan saat ini. Haruskah aku marah? Ataukah aku harus sabar menghadapinya. Bahkan aku sendiri seorang perempuan tidak pernah sepertinya. Pak Idrus apakh bapak juga sepertinya? Ini untuk pertama kalinya aku menemukan sosok seperti dia.
Ini sudah kelewatan. Sudah tiga jam aku menunggunya untuk memilih pakaian. Jam makan siang sudah lewat. Tidak pahamkan dia tentang ilmu anatomi tubuh? Lambung akan tetap mengeluarkan asam serta akan tetap bergesakan ketika waktunya makan siang dan makan tidak teratur seperti inilah yang menyebabkan maag. Bahkan aku mulai pusing dan mual akibat kelaparan.
“Kalau yang putih. Jahitannya akan cepat terbongkar yang mengakibatkan kerusakan pada seluruh pakaian. Kalau yang merah warnanya kurang terang. Kalau yang hitam tidak cocok denganku. Lebih baik warna biru lebih elegan.” Ujarnya kemudian melangkah ke kasir. Aku menatap punggungnya. Bukankah itu baju pertama yang aku tawarkan padanya? Dan dia menolak dengan beribu alasan.
Aku membayar belanjaan Ken. Aku selalu risih jika belanja dengan orang lain maka sebisa mungkin belanjaannya aku yang bayar. Bukankah ayah selalu berpesan agar aku berbuat baik.
“Kita makan siang dulu baru pulang.” Ujarku pada Ken yang sedang tersenyum menatapku.
“Dimana?” Tanyanya.
“Terserah...” Jawabku.
“Kalau begitu kita makan coto saja.” Jawabnya penuh semangat.
Aku menatap Ken yang lahap memakan coto serta ketupat yang ada dihadapannya. Semakin aku mencoba paham dengan karakternya semakin yang ada hanyalah rasa penasaran yang tak berujung. Siapa sebenarnya dia dan apa maksudnya tiba-tiba hadir dalam kehidupanku.
Maafkan aku ayah. Bukannya aku menaruh kecurigaan padanya. Hanya saja aku heran. Dia jatuh dari planet mana hingga bisa menemaniku saat ini.
Tapi setidaknya aku tidak merasa sendirian dengan hadirnya dia.
Ayah... apakah aku tetap harus berbuat baik meski aku tidak tahu mengapa dia hadir dalam kehidupanku?
Aku membayar makan siang kami. Ken melenggang meninggalkanku. Aku berjalan lambat tidak berusaha untuk menjejeri langkahnya. Tanya itu masih mengusikku. Kenapa dia tiba-tiba hadir dalam kehidupanku? Dia hanya seseorang yang selalu memandangku dengan kebencian. Dia bukan temanku sewaktu SMP jadi itu bukan alasan untuk akrab denganku saat ini. Waktu bisakah kau menjawab tanyaku?
“Ini rasanya seperti ayam tapi bentuknya tidak menyerupai ayam. Trus rasanya lebih enak ayam asli. Ini ayam palsu mungkin.” Komentarnya ketika aku menyajikan nugget ayam ketika makan malam.
“Kau tidak suka?” Tanyaku berusaha sabar menghadapinya. Bukankah dia tamu? Dia harusnya bersyukur dengan menu apapun yang aku sediakan untuk menjamunya.
“Iya.. tadi aku lihat kau membeli hati ayam. Bisakah kau memasaknya untukku?” Tanyanya. Aku mengorengkan hati ayam untuknya.
“Terima kasih.” Ucapnya kemudian lahap menikmati hati ayam yang aku gorengkan.
Ayah meski dia banyak bicara tapi dia tetap melahap makanan yang aku buatkan untuknya ayah. Apakah ayah di kampung makan hati ayam? Aku disini sedang memandang teman baruku bingung.
***Cafein Cinta***
Mungkin faktor kebiasaan atau apalah namanya. Aku tahu hari ini Ken akan melakukan hal yang sama. Menjemput pagi denganku. Entah alasan apa. Bukankah aku sudah menyebutnya sebagai pembual pak Idrus? Entah hari ini dia akan memulai dengan bualan apalagi meski harus aku kaui bahwa aku sedikit terhibur dengan bualannya.
“Pagi...” Ken menyapaku. Aku tersenyum menatapnya. Sengaja aku bangun lebih dulu kemudian menyiram bunga sambil menunggunya. Setidaknya dia tida perlu berteriak dan membangunak tetangga.
“Aku habis jalan-jalan. Kebetulan lewat sini karena itu aku singgah.” Alasan Ken tanpa aku tanya terlebih dahulu.
“Masuklah.” Ajakku seperti biasa.
“Kalau kau menyediakan roti bakar buatku. Aku pasti akan masuk.” Katanya tanpa basa-basi. Aku meganguk mengiyakan.
Ayah siapapun dia dan apapun alasannya hadir dalam hidupku aku tidak peduli. Setidaknya dialah yang membuat hidupku jadi berwarna.
Aku tidak tahu betul dimana dia tinggal di Makassar ayah. Dia seperti jelangkung ayah. Dia datang tidak dijemput dan pulangpun tidak aku antar ayah.
Tapi kehadirannya memberikan kesan yang berbeda. Sangat berbeda ayah meskipun aku akan selalu mengatakan bahwa dia adalah pembual ulung.
“Kau mau minum susu cokelat?” Tanyaku sambil mengolesi roti dengan selei kacang.
“Aku mau minum es jeruk. Biar segar.” Jawab Ken. Aku menatapnya masih penuh dengan keheranan. Bukankah ini masih pagi? Tidakkah dia kedinginan kemudian meminum es jeruk? Ayah dari mana asalnya manusia yang satu ini.
“Baiklah kalau begitu.” Katak kemudian membuatkan es jeruk untuknya.
“Kau tidak keluar hari ini?” Tanyanya dengan roti yang masih penuh di mulutnya.
“Sebenarnya tidak tapi melihatmu sepertinya aku harus keluar.” Ujarku.
“Kenapa?”Tanyanya dan menghentikan aktifitasnya. Dia bahkan berhenti mengunyah makanan yang ada dalam mulutnya.
“Karena aku harus membelikanmu perawatan kulit. Mukamu kusam.” Kataku lalu meninggalkannya yang masih menikmati sarapannya. Entah ini akan berlangsung lama atau bagaimana namun yang aku tahu hingga saat ini Ken akan tetap bersamaku. Mungkin lebih menyenangkan ketika merawat Ken dan aku tidak akan minder ketika jalan bersamanya untuk belanja.
Ken menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku defenisikan ketika aku mengajaknya untuk berbelanja. Dia hanya diam di dapur ketika aku menarik lengannya untuk melangkah di sampingku.
Ayah... apa yang Ken pikirkan tentangku saat ini? Aku belum begitu mengenalnya. Hanya saja aku menghabiskan hari-hariku bersamanya akhir-akhir ini.
Ayah apakah dia pikir aku jatuh cinta padanya? Ayah... masih lebih keren pak Idrus meski hanya kalah diusia.
Aku memilihkan parfum untuk Ken. sabun mandi, lulur mandi, sabun muka dan semua keperluannya. Tadinya aku pikir kesedihannya akan berlangsung lama tapi aku salah. Ternyata Ken adalah tipe cowok yang senang berbelanja. Dia malah dengan riang memilih-milih barang yang ingin dia beli.
“Sudah selesai belanjanya?” Tanyaku. Dia tersipu malu. Aku tidak ingin mengulang kejadian kemarin. Proses belanja ini harus slesai sebelum makan siang. “Kita makan dimana?”
“Makan ayam.” Jawabnya semangat seperti anak kecil. Aku lagi-lagi tersenyum melihat tingkahnya.
“Ya sudah kita makan ayam di warung sebelah.” Ujarku menunjuk warung yang ada di sebelah tempat pembelajaan ini.
“Oke dech.” Jawabnya penuh semangat melangkah meninggalkanku.
Aku menatapnya menyantap ayam goreng kesukaannya. Dia makan sangat lahap. Membuat selera makankupun ikut meningkat.
Ayah.. jika ayah melihat Ken makan maka ayah akan bersemangat makan sepertiku saat ini.
Ayah makan apa di kampung? Apakah ayah sedih karena tidak ada putrimu yang menemanimu makan siang?
“Kau kenyang?” Tanyaku.
“Iya... sangat kenyang.” Jawabnya semangat.
“Mau minum juice alvokat?” Aku mencoba untuk menawarinya minuman.
“Boleh.” Jawabnya.
Ayah... bahkan meminum juice alvokat itupun dia tidak butuh jedah. Ayah dari mana datangnya pemuda asing ini?
Ken melangkah gontai meninggalkanku. Dia terburu-buru masuk ke rumah. Aku menatapnya heran yang berlari ke kamar kemudian membawa bantal ke depan Tv di ruang keluarga.
“Tolong pasangkan masker di mukaku.” Katanya penuh semangat kemudian berbaring di depan TV.
“Tidakkah kita harus istirahat dulu Ken.” Bantahku.
“Sekalian istirahatnya.” Katanya dengan penekanan. Aku menatapnya. Bingung dengan perasaanku. Bahkan aku tidak marah dengan tingkahnya.
“Baiklah.” Jawabku kemudian mengoleskan masker wajah di wajahnya. Membelai dahinya dan menahan rambut yang terjuntai di dahinya. Aku menyentuh rambutnya. Sedikit kasar dan tidak bisa diatur. Sepertinya perawatan ini tidak hanya sebatas wajahnya tapi juga rambutnya.
Tiga puluh menit dia habiskan dengan menatap TV dengan wajah yang penuh dengan masker. Aku tersenyum menatapnya yang kaku bahkan untuk berkedip sekalipun dia berusaha untuk menahannya.
Ayah.. mengapa tingkah konyolnya bukan menimbulkan amarah namun malah membuatku tertawa memandangnya.
“Kau sudah bisa membersihkannya.” Ujarku.
“Apakah sudah waktunya?” Tanyanya sambil mengikutiku yang melangkah ke kamar mandi.
“Jangan mengosoknya seperti itu. Malah akan merusak wajahmu. Tidak bisakah kau sedikit lembut?” Tanyaku sambil membersihkan wajahnya dengan lembut. “Rambutmupun harus dimaskeri tapi sebelumnya kau harus menyiramnya dengan air kemudian memakai sampo setelah itu baru aku pakaikan masker.”
“Kenapa tidak sekalian kau samphokan saja?” Rengek Ken.
“Baiklah.” Ujarku.
Butuh waktu satu jam untuk membuatnya siap makan malam denganku. Aku heran pada dirik sendiri. Ini untuk pertama kalinya aku melakukan hal yang menyenangkan dengan seorang pemuda dan itupun pemuda asing. Pemuda yang aku tahu hanyanamanya KEN pernah satu sekolah denganku dan sekarang kuliah di universitas sama denganku dan jurusan yang sama selebihnya aku tidak tahu. Bahkan nama lengkapnyapun aku tidak tahu. Jika seadainya Ken bukanlah nama sesungguhnya dan semua hal yang diceritakannya adalah kebohongan maka seratus persenlah aku tidak mengenalnya.
“Kau suka cumi-cumikan? Aku sudah tumiskan untukmu.” Kataku sambil menyajikan makanan. Ken hanya duduk diam menatapku yang sibuk menyajikan makanan. Dia terus meraba kulit wajahnya dan mengelus rambutnya sendiri. “Kenapa Ken?”
“Rasanya sangat lembut.” Katanya dengan mata berbinar.
Ayah apa yang membuatnya bahagia? Bohong jika untuk pertama kalinya dia merasakan kulitnya lembut dan rambutnya halus.
“Sudah... makanlah dulu. Setelah itu kita lanjutkan perawatannya dengan lulur untuk keseluruhan tubuhmu.” Ujarku kemudian menyiapkan piring serta mengisinya dengan nasi dan lauk yang Ken inginkan.
Ayah.. mungkin tanpa aku dan Ken sadari maka kami sudah sangat dekat. Seperti seorang sahabat atau mungkin kelihatan seperti sepasang kekasih yang saling memperhatikan. Entahlah ayah yang pasti aku menikmati kebersamaan ini.
***Cafein Cinta***
Aku melangkah ke dapur. Tidak lagi ke teras menunggu Ken karena semalam dia memutuskan untuk menginap. Aku menyiapkan menu sarapan pagi untuknya. Roti bakar dengan susu cokelat.
“Kemarin aku jalan dari kos ke rumahmu makanya kelelahan, keringatan dan haus. Maka wajar kalau aku memintamu untuk memberikan juice buatku. Tapi sekarangkan aku menginap di rumahmu. Jadi cukup sediakan susu cokelat seperti yang kau minum” Katanya cerewet duduk di kursi meja makan.
“Iya...” Jawabku.
Ayah... tidak ada komitmen diantara kami berdua ayah. Anggap saja bahwa kami hanya berteman ayah. Jika ternyata pada akhirnya cinta datang menyapa kami maka biarkanlah waktu dan takdir yang menjawabnya.
“Belanja lagi?” Tanya Ken dengan mata berbinar.
“Sepertinya kau butuh sepatu.” Jawabku.
“Baiklah kalau begitu.” Jawabnya.
Ayah kejadian itu terulang ayah. Dia memilih sepatu tanpa berfikir bahwa aku kelelahan dan kelaparan menunggunya ayah. Aku ingin marah ayah. Apakah amarahku tidak akan merusak kebaikanku. Ayah aku lapar. Dan orang yang lapar cenderung berbuat di luar otak warasnya.
“Ken pilih satu kemudian kita pulang.” Ujarku tegas.
“Kalau yang ini takutnya mudah rusak. Kalau yang cokelat gayanya seperti orang tua. Kalau yang hitam lumayan. Netral dan semua warna celana serasi. Kalau begitu menurutmu yang mana?” Tanyanya meminta pertimbangan tanpa memperhatikan bahwa aku sudah menjadi banteng yang siap untuk mengamuk.
“Ken. Aku lelah. Aku lapar.” Ujarku sambil berjalan meninggalkannya yang masih berdiri di depan stand sepatu.
Ayah... air mataku menetes. Aku sangat lapar. Mengapa dia tidak peduli dengan rengekanku. Ayah mengapa tidak sedikitpun dia peduli terhadapku?
“Aku minta maaf.” Ujar Ken menjejeri langkahku.
“Kau sudah memilihnya?” Tanyaku padanya.
“Ini...” Ken menyerahkan sepatu itu dengan penuh semangat tanpa rasa bersalah sedikitpun. Aku tidak akan marah andai saja dia bersikap wajar. Selama berjam-jam menunggunya memilih satu barang saja. Bagaimana jika kami memilih beberapa barang.
“Bahkan mungkin ini tidak hanya makan siang tapi sekalian makan malam. Sudah jam enam sore.” Ujarku kemudian menatap Ken tajam. Dia hanya cengegesan.
Ayah... mengapa hanya memilih sepatu harus membuatku menangis menunggunya? Bukankah dia bukan siapa-siapa dalam hidupku? Seharusnya aku meninggalkannya tapi selalu saja aku terhalau dengan pesan ayah bahwa aku harus berbuat baik pada siapapun termasuk pada Ken.
***cafein Cinta***
Mentari kini tidak bersinar dengan terang. Awan hitam menyelimutinya. Sepertinya hari ini akan turun hujat lebat. Aku duduk di teras menunggu Ken seperti biasa namun hingga pagi menjelang siang dan suara gemuruh guntur berkelabat. Saat itu aku mulai sadar bahwa sekarang Ken tidak datang.
Aku tidak tahu harus mencarinya kemana. Aku tidak tahu rumahnya dimana. Tidak tahu nomor telfonnya berapa. Tidak tahu bagaimana cara mengetahui kabarnya. Apakah dia sedang sakit atau baik-baik saja.
Ayah.. ada sesuatu yang hilang ketika dia tidak datang ayah. Kebersamaan yang sesaat ini meninggalkan sebuah lubang yang kosong di hatiku ayah. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi tapi aku selalu berharap di tengah hujan lebat dia akan datang kemudian mengatakan bahwa dia kwatir aku sendirian di rumah.
Ayah aku sesak. Aku tidak tahu apa penyebabnya. Bahkan riwayat penyakitku aku tidak pernah menderita asma tapi mengapa sekarang aku merasa sesak ayah. Sangat sesak. Aku bahkan sudah tidak tahu bagaimana menarin nafas ayah.
Ayah aku menangis... aku tidak bisa menahan rasa rindu terhadapnya ayah. Siapa dia aku tidak tahu. Bahkan aku sendiri tidak tahu apakah aku mencintainya atau tidak. Yang aku tahu saat ini aku sangat ingin dia hadir disini ayah.
Ayah jika dia ingin pergi harusnya dia pamit padaku ayah. Setidaknya dia tidak membuatku kwatir seperti saat ini ayah.
Ayah kemana aku harus mencarinya?
Aku meneguk susu cokelat hangatku. Setidaknya dalam cuaca seperti ini aku berharap bahwa aku bisa membuat hatiku hangat dengan meninum susu cokelat hangat. Menangis sedikit membuatku lega. Meski aku sendiri tidak tahu alasan mengapa aku menangis.
Anggap saja bahwa ini hanya faktor kebiasaan. Aku terbiasa sarapan, makan siang dan makan malam bersamanya. Wajar jika kekosongan dalam hatiku hadir. Hanya faktor kebiasaan dan terlalu jauh aku berfikir jika itu harus aku sebut sebagai cinta.
Pak Idrus apakah ini salah satu kekejaman dunia? Jika ini adalah salah satu kekejaman dunia maka aku akan selalu percaya pada prinsip ayah bahwa Allah selalu bersamanya. Biarkan Ken berlari meninggalkanku dengan tanda tanya. Dia pasti bisa lari dariku. Dia pasti bisa menghilang dari kehidupanku. Tapi dia tidak pernah bisa lari dari nurani dan Tuhannya.
Pak Idrus seperti ini caraku menjalani kehidupan. Meski taring-taring kekejaman dunia sudah mulai nampak tapi aku selalu percaya bahwa berbuat baik tetaplah kunci utama dalam menjalani kehidupan ini. Tidak ada perbuatan yang akan sia-sia pak Idrus apalagi jika itu kebaikan.
***Cafein Cinta***
Cafein Cinta
Setelah seharian hujat lebat sanggupkah malam memelukku dengan kehangatan? Apakah sang rembulan dan bintang sedang asyik berselimutkan awan hingga tidak menampakkan dirinya? Bahkan bulan dan bintangpun sedang sibuk.
Aku meneguk susu cokelat hangatku. Hanya untuk memberikan suplai makanan pada tubuhku. Seharian aku tidak bisa makan. Dalam setiap sudut rumah ini ada Ken disitu. Ken yang berbaring di sofa ruang tamu, Ken yang gonta-gani canel di depan TV ruang keluarga, Ken yang rusuh dengan penamapilannya kemudian keluar masuk kamar mandi, Ken yang rewel dengan sarapannya di meja makan. Semua penuh dengan Ken dan itu malah membuatku semakin sesak.
Bayangan Ken semakin membuatku sesak kemudian membuat dadaku panas. Ada gemuruh di balik dadaku yang siap untuk membelahnya. Menekan setiap saat untuk bisa keluar.
Hanya beberapa hari bersamanya dan hasilnya sungguh sangat mengejutkan. Bahkan aku terluka karena hal kecil.
Ken punya kehidupan sendiri yang harus dia jalani. Dia bahkan belum bisa aku sebut teman. Tapi aku malah terisak disini dan mengatasnamakan itu sebagai luka.
Ayah.. apakah dia juga merasakan resah yang aku rasakan? Atau hanya aku yang merindukannya.
Ayah.. meski aku selalu memungkirinya dan menyebut ini sebagai kebiasaan saja tapi hati kecilku mengatakan bahwa aku menyukainya
Ayah.. aku tidak paham tentang rasa suka ataupun rasa cinta, apalagi dengan perjuangan cinta.
Ayah yang aku tahu bahwa saat ini rasa ini begitu menyiksa.
Mataku mengerjap-ngerjap. Semakin aku paksakan untuk terlelap maka semakin bola mataku berputar dalam kelopak mata yang tertutup. Aku tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi. Meski usiaku sudah tujuh belas tahun tapi sekalipun aku tidak pernah merasakan jatuh cinta. Aku terlalu sibuk bermain dengan kehidupan.
Bagaimana aku harus menghadapi perasaan ini? Sedangkan hanya karena mataku bersinar terang seperti bola lampu yang menyinari ruangan sudah membuatku merasa kwatir apalagi jika harus berhadapan dengan hal yang lebih besar bernama perasaan.
Dia bukan tipe idamanku. Jauh langit dan bumi dibandingkan dengan pak Idrus. Tapi semakin aku mengingkarinya maka semakin hatiku menengaskannya bahwa aku menyukainya bukan hanya sekedar teman namun lebih dari itu.
Apakah rasa suka mengandung cafein? Yang membuatku terjaga sepanjang malam. Kenapa harus ada perasaan seperti ini? Mengapa tidak semuanya hanya berada dalam lingkaran sederhana saja yang disebut cinta. Cukup mencintai saja. Tidak perlu ada rindu apalagi luka.
Bahkan meski aku kelelahan berfikir tentang rasa yang tidak aku pahami ini tetap saja aku tidak bisa terlelap. Keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Aku tidak pernah merasakan ini maka wajar jika tubuhkupun memberikan respon yang berbeda. Ada perasaan aneh yang menyelimutiku. Aku lemas aku berdaya namun perasaan menyiksa itu terus saja menyerangku. Bahkan mungkin air mataku sudah tidak mampu menetes saking aku kehilangan tenagaku.
Ayah.. separah inikah disebut rasa rindu? Apakah disana diapun merasakannya? Minimal signal rindu itu sampai padanya.
Ayah... mengapa dia harus hadir kemudian malah pergi meninggalkanku. Bukankah itu sangat jahat ayah? Lalu jika dia datang kembali apakah aku harus tetap baik padanya?
“Jangan balas kejahatan dengan kejahatan nak. Itu membuktikan bahwa tidak ada bedanya kau dengan dia. Tapi balaslah dengan kebaikan.” Ujar Ayah menasehatiku ketika aku masih kelas satu sekolah dasar dan kembali dengan luka lebab di sekujur tubuhku. Aku membela diri begitu aku teriakkan lantang pada ayah. Aku tergelincir karena mereka mendorongku maka aku membalas perbuatanku. Begitu jawaban Islamiah yang masih kecil.
Ayah... jika aku tetap baik pada Ken apakah itu tidak memberinya kesempatan untuk lebih menginjak-injakku?
Ayah jika aku tetap baik pada Ken apakah itu tidak memberinya kesempatan untuk mengulangnya bahkan lebih parah ayah.
Ayah saat ini aku membutuhkanmu. Aku sangat bingung bagaimana cara menghadapi persoalanku kali ini.
***Cafein Cinta***
Mentari mengapa terlalu cepat kau menjemput malam? Padahal tidak sedetikpun aku bisa teridur. Jika aku resah karena faktor kebiasaan maka resah itupun akan hilang karena faktor kebiasaan. Biarkan waktu memberikan jawaban yang tepat.
Aku menapaki jalan kampus. Ini hari pertamaku kuliah. Aku tidak ikut bina akrab seperti teman-temanku yang lain. Aku tidak bisa kelelahan ataupun kelaparan dan keterangan dari dokter bisa membuatku tidak ikut kegiatan tersebut.
Dari jauh aku bisa melihat sosok Ken sedang membelakangiku. Aku tidak akan bersedia menegurnya. Jika dia sudah menghilang berarti besar kemungkinan dia juga tidak ingin ditegur.
“Islamiah....” Teriak Dina. Teman SMPku dulu.
“Ech... Dina” Tegurku tidak bersemangat.
“Kau kenal Ken tidak? Teman SMP kita dulu. Dia tambah keren loh.” Cerita Dina sok akrab.
“Apakah Ken waktu SMP keren?” Tanyaku berusaha untuk menyembunyikan gemuruh di balik dadaku. Aku tidak lagi mendengar penjelasan Dina. Bahkan ketika tepat aku berlalu di samping Ken tetap Ken tidak menegurku. Seakan tidak penah mengenalku.
Aku tidak tahu apa salahku. Kalaupun memang tidak ingin sedekat dulu setidaknya berperilaku santailah. Jangan seolah-olah dia tidak pernah mengenalku. Ada perih yang terasa di balik dadaku.
Jauh lebih menyakitkan melihatnya seakan-akan tidak mengenalku daripada dia menghilang tanpa sebab yang jelas. Dia yang datang dan pergi seperti jelangkung. Dari awal aku tahu bahwa dia seperti itu tapi tetap saja rasa sakit ini menyerang.
“Islamiah...” Sapa seorang pemuda. Dina sejak tadi sudah meninggalkanku. Sekarang ak sedang sendiri mengisi waktuku dengan membaca novel di perpustakaan kampus.
“Yusuf..” Aku terkejut bercampur bahagia dengan kehadiran Yusuf. Yusuf teman SMPku, teman memanjat pohon di belakang sekolah, teman bolosku dan semua kenakalanku dulu ketika aku masih SMP.
“Kau kuliah disini?” Tanyanya dengan mata terbelalak seakan tidak percaya dengan kehadiranku.
“Iya.. jurusan satra.” Jawabku.
“Bukan memilih jurusan matematika? Seperti pak Idrus?” Tanyanya.
“Masih ingat saja kau dengan pak Idrus.” Jawabku dengan tersenyum. setidaknya kehadiran Yusuf bisa sedikit melegakanku. Bisa mengalihkan sakit hatiku karena perbuatan Ken.
“Siapa yang tidak ingat pak Idrus, mengajar seperti dosen tanpa buku. Semua rumus-rumus dikumpulkan disatu tempat. Disini.” Kata Yusuf sambil menunjuk kepalanya.
“Betul itu. Meski aku kagum padanya tapi tetap saja aku ingin kerja sesuai dengan jiwaku. Panggilan hatiku bukan menjadi guru matematika atau ilmuwan. Panggilan hatiku lain Yusuf.” Kataku.
“Betul juga itu. Pasti menyenangkan menjadi apa yang kita inginkan.” Jawab Yusuf.
“Kau kenal Ken?” Aku mencoba untuk mencari tahu dari Yusuf. Yusuf lebih bisa dipercaya dibandingkan Dina.
“Ken... Ken yang palyboy itu?” Tanya Yusuf padaku.
“Aku tidak tahu tapi kata Dina dia teman sekolah kita.” Kataku.
“Oooo.kalau begitu. Benar Ken yang aku maksud. Dia playboy. Merasa paling keren dan sok kaya. Entahlah mungkin memang dia benar-benar kaya. Tapi yang jelasdia playboy. Dia pernah menjemput pacarnya jalan dan menyuruh pacarnya pulang sendiri. Tidak pernah mau berkorban untuk pacarnya. Dia tidak pernah tunduk pada pacarnya. Intinya pacaran buatnya hanya untuk bersenang-senang jika bosan maka saatnya dia untuk melepaskan.” Yusuf menarik nafas dalam-dalam mungkin lelah menjelaskan. “Dia baik untuk dijadikan teman tapi untuk kau jadikan kekasih dia bukanlah pria yang tepat.”
“Padahal waktu SMP dia kelihatan bodoh yach.” Desahku tanpa aku sadari.
“Iya aku lupa... diakan memang bodoh. Dulu kerjanya Cuma nyontek. Tapi tahukah kau bahwa dia orang yang suka bekerja keras. Sejak kecil ketika uang jajan kita berlimpah dari ke dua orang tua kita, dia sibuk mencari uang jajan dari hasil penjualasan buah lontar. Sepulang sekolah dia akan memanjat pohon lontar kemudian menjualnya. Belakangan aku dengar sebelum dia sukses seperti sekarang ini dia pernah menjadi cleaning service di sebuah swalayan. Tapi sekarang lihatlah gayanya. Sok keren.” Kata Yusuf.
“Kenapa kau menjelaskan seakan-akan mencari celah buruknya?” Tanyaku penasaran. Aku kenal betul siapa yusuf. Dia bukanlah orang yang suka menjelek-jelekkan orang lain.
“Dia pernah merebut kekasihku. Diguna-gunai olehnya.” Katanya berbisik ciri khas ibu-ibu yang sedang bergosip. Aku tertawa terbahak sampai kami harus meninggalkan perpustakaan sebelum penjaga perpustakaan sendiri yang mengusir kami.
Aku dan Yusuf duduk berhadapan di taman kampus. Yusuf masih menatapku tajam karena menertawakannya.
“Masih zamankah seperti itu Yusuf? Ini zaman modern dimana zaman milenium telah dilewati. Sekarang zaman komputer. Dimana jatuh cinta dan penculikan lebih banyak lewat dunia maya dibandingkan harus magic seperti yang kau bicarakan.” Kataku sambil tertawa.
“Pacarku tidak bisa tidur. Matanya tidak mau terlelap selama sebulan setelah ditinggalkan oleh Ken. dadanya selalu terbakar karena merindukan. Dia seperti orang gila yang akan selalu mencari dimana Ken berada. Meskipun itu tengah malam dia akan mencarinya. Bayangan Ken selalu menari-nari di pelupuk matanya. Selalu Ken dan Ken. Apalagi namanya kalau bukan magic. Bahkan aku yang pernah memacarinya selama tiga tahun tidak pernah dia perlakukan seperti itu.” Yusuf terlihat sedih ketika menjelaskan.
Ayah bagaimana aku akan menyakinkan yusuf bahwa itu bukanlah magic tapi begitulah cintayang sesungguhnya. Mengandung cafein.
Ayah bagaimana aku menjelaskanpada yusuf bahwa Ken menggunakan trik playboynya. Kebersamaan adalah kunci utama dalam hubungan. Faktor kebiasaan akan menjadi pemicunya ayah. Karena itulah yang aku rasakan.
Dia akan menanamkan rasa memiliki itu kemudian menghilang. Lalu akan membuat tunduk dan mengikuti ingin Ken. Aku terlalu jenius untuk percaya bahwa itu adalah magic.
“Mereka masih pacaran? Maksudku Ken dan Pacarmu?” Tanyaku padaYusuf.
“Sudah lama berpisah. Dia mencampakkannya begitu saja.” Jawab Yusuf.
“Mengapa tidak kembali pada kekasihmu?” Tanyaku lagi.
“Dia yang meninggalkanku. Tidak akan pernah aku izinkan kembali wanita yang telah meninggalkanku apapun alasannya.” Ujar Yusuf tegas.
“Bukankah itu magic?” Tanyaku lagi. namun hanya wajah murung Yusuf yang menjadi jawaban untuk semua pertanyaanku.
Cinta bukanlah magic tapi cinta itu memang berasal dari hati hingga mampu mempengaruhi sistem kerja otak. Jika cinta itu tidak membuat kwatir dan tidak membuat rindu maka itu belum bisa disebut cinta. Hanya sekedar rasa senang yang kemudian disalah artikan sebagai cinta.
Cinta mampu membuat orang yang jatuh cinta tidur dengan nyenyak dan terbangun dengan senyum bahagia namun disatu sisi cintapun akan mampu membuat orang yang sedang patah hati tidak tidur berminggu-minggu hanya memikirkan kekasihnya. Membuat orang jadi gila dan paling buruknya adalah bunuh diri. Itu pelakunya adalah cinta bukan magic. Bukan dukun. Tapi itulah cinta yang sebenar-benarnya cinta.
***Cafein Cinta***
Bulan sabit menyapa malam. Bintang masih enggan untuk menemani. Langit gelap. Malam ini akan sama dengan malam sebelumnya. Tidak ada lagi Ken. Tapi jika ini adalah sebuah permainan trik maka kecerdasanku harus mengalahkan trik itu. Hari ini Ken bisa tersenyum manis karena melihatku murung tapi besok Ken yang akan mempertanyakan cara kerja triknya. Untung aku tidak menyapa Ken setidaknya itu akan memberika skor dua kosong.
Ayah... aku tidak menyangka akan terlibat dalam permainan seperti ini. Permainan cinta dari seorang playboy.
Ayah.. bukankah selain cerdas akupun baik? Senjata paling ampuh untuk mengalahkan trik playboy.
Sekarang aku tahu ayah. Bahwa semuanya dia sengaja dan aku tahu bahwa signal gelisahku sampai padanya dan membuatnya tersenyum kegirangan. Ayah.
Selamat tinggal masa gelisah. Sekarang aku akan menjemput tidurku dalam dekapan bulan sabit. Ini hanya warna kehidupan. Selama aku masih bisa melibatkan logika maka selama itu aku tahu bagaimana mengatasi masalah hati yang playboy seperti Ken lakukan.
Jika semua perempuan datang memohon cintanya maka suatu saat dialah yang hadir memohon cintaku. Bukan dengan trik playboy seperti yang dia lakukan namun menanam kebajikan. Suatu saat kebajikan itu akan mengusik nuraninya.
Pak Idrus aku sudah tahu bagaimana menghadapi perasaan ini. Aku harus mengutamakan logika. Jika boleh maka perbandingannya adalah tujuh puluh lima persen dengan dua puluh lima persen. Logikaku harus bisa mengalahkan perasaanku. Karena saat ini aku sedang tidak berhadapan dengan pencinta sejati namun sedang berhadapan dengan seorang playboy.
***Cafein Cinta***
KEN DAN EGONYA
Mentari pagi menyapa dengan senyum manisnya. Berharap bahwa sinarnya tidak akan menimbulkan keresahan pada penduduk bumi. Tapi bukan manusia namanya jika tidak mengeluh. Hujat lebat akan dikeluhkan termasuk sinar mentari yang menyengat.
Tidak adalagi rutinitas menunggu Ken di teras. Aku harus tetap melanjutkan kehidupanku. Entah Ken melanjutkan misinya atau tidak.
“Pagi...” Suara baritong itu berteriak-teriak. Apakah dia masih belum tahu bahwa rumah ini punya bell? Dasar aneh.
“Jangan berteriak. Tetangga bisa merasa terganggu.” Kataku sambil membukakan pintu pagar untuk Ken.
“Kau masak apa hari ini?” Tanyanya penuh semangat. Seakan lupa bahwa kemarin dia memperlakukanku seperti orang asing.
“Aku hanya buat sarapan. Nasi goreng dan susu cokelat panas. Kau mau?” Tawarku padanya yang terus melangkah menuju dapur.
“Aku mau makan roti bakar saja.” Jawabnya. “Kemarin aku gatal-gatal. Mungkin tidak cocok dengan air di kos.”
“Sepulang dari kampus baru kita belanja untuk obat gatalmu.” Kataku kemudian menyodorkan roti bakar dan juga susu cokelat panas.
Ayah dia hadir tanpa penjelasan seakan-akan tidak terjadi sesuatu diantara kami ayah.
Ayah ataukah ini juga adalah triknya?
Agar aku terlihat gelisah dan berharap kehadirannya dengan bertanya-tanya dan menampakkan bahwaaku memang benar-benar merindukannya.
Ayah... jika perempuan lain bisa dia tundukkan maka aku akan berbeda dengan perempuan itu. Aku yang akan menundukkannya dengan kebaikan sesuai dengan kata-kata ayah.
Ken mengikuti langkahku ketika aku memilihkan obat untuknya. Hari ini tidak ada kuliah. Katanya ada rapat begitu Yusuf menginfokan. Karena itu aku langsung memutuskan untuk membelikan obat Ken.
“Ini teh... bagus untuk gatal. Mengobati dari dalam.” Kataku padanya yang masih berdiri di belakangku. “Kemudian yang ini untuk obat luar. Kau masukkan ke air yang akan kau pakai. Malam kau bisa mengolesi bagian tubuhmu yang gatal.”
“Oke.” Jawabnya lesu.
“Kenapa Ken?” Tanyaku penasaran.
“Kau tidak mencari kebiasaanmu ketika aku tidak ada?” Tanyanya. Aku tersenyum.
Ayah.. aku menang satu point darinya ayah. Dia yang mengalah.
“Kenapa tidak menjawab?” Tanyanya lagi.
“Kau awalnya tidak ada kemudian ada dan jika pada akhirnya tidak ada. Itu hanya kembali pada titik semula. Tidak ada pengaruhnya buatku.” Jawabku menyembunyikan perasaanku.
Ayah.. playboy tidak pernah berperasaan. Kerjanya hanya menyakiti. Dia tidak akan paham dengan rasa sakit. Bahkan rasa sakit itu memberikan kepuasan tersendiri pada mereka. Aku harus menjadi orang lain untuk melawannya ayah.
“Semudah itu?” Tanyanya lagi dengan mimik heran. Aku hanya menganguk mengiyakan.
Ayah... jika dia menanam cinta dengan cara kebersamaan dan kebiasaan maka cinta itu akan berbalik tertancap di hatinya ayah dengan teori berbeda. Dengan kebaikan ayah. Mungkin dengan cara ini pulalah aku bisa membuktikan sejauh mana kebaikan berpengaruh pada orang-orang ayah. Anggap saja bahwa kami sama-sama sedang melakukan percobaan pada hati kami masing-masing.
“Ken dan Islamiah datang bersama?” Tanya seorang gadis cantik yang aku tahu bahwa dia teman sekelas kami. Dia datang denga beberapa teman wanitanya yang lain. Aku hanya tersenyum kemudian ke kasir dan membayar belanjaan sedangkan Ken sibuk menjelaskan sesuatu pada mereka. Apapun itu aku tidak mau tahu.
***Cafein Cinta***
Aku menutup meletakkan ranselku di sebuah bangku di taman kampus. Aku kelelahan dan lapar tapi tidak punya selera makan.
“Kau juga menjadi salah satu target Ken?” Tanya Yusuf mengagetkanku.
“Target?” Aku menertawakan Yusuf. Yusuf hanya memandangku dengan dahi berkerut.
“Islamiah.” Tegurnya lagi. dia menyodorkanku susu cokelat dalam kemasan. Dia tahu betul minuman kesukaanku.
“Target apa maksudnya?” Tanyaku balik.
“Bukankah kalian kemarin menghabiskan waktu dengan berbelanja? Ternyata kau sama saja dengan perempuan-perempuan itu. Kau bilang wajahnya keren namun dengan mata halusmu kau bisa melihat otak bodohnya. Tapi ternyata kau termakan oleh kata-katamu sendiri.” Kata Yusuf terkesan marah.
“Emang apa yang kau tahu tentang kejadian kemarin?” Tanyaku penasaran.
“Ken sedang mengklarifikasi kejadian. Katanya kau yang memaksanya untuk ikut berbelanja. Kau yang menyukainya. Memenuhi semua inginnya. Tapi dia tidak mau memacarimu. Kau tidak tahu memasak, tidak bisa mencuci pakaian dan tidak bisa membersihkan rumah. Bukan calon istri yang baik.” Kata Yusuf menirukan gaya bicara Ken ketika mengklarifikasi masalah.
“Jadi Ken bermaksud memperistrikanku? Bukan memacariku? Bukankah itu terdengar hebat?” Tanyaku lagi.
“Kenapa begitu?” Yusuf bertanya balik.
“Bukankah dia bilang aku bukan calon istri yang tepat untuknya? Kalau dia hanya ingin pacaran dan bersenang-senang denganku maka tidak perlu dia memperhatikan hal seperti itu.” Jawabku dengan penuh senyum.
Ayah.. mungkin seperti itu cara seorang play boy menyelamatkan harga dirinya. Aku tahu meski dia terus memungkiri maka aku tetap hadir dengan cara berbeda dalam kehidupannya. Aku tidak bisa dia tundukkan seperti yang lain ayah.
***Cafein Cinta***
Bukankah semua berdasarkan kebiasaan? Jika hari ini Ken tidak datang maka aku sudah siap untuk kemungkinan itu. Bukankah dia seperti jelangkung datang dan pergi seenaknya. Aku tidak pernah tahu maksud hadirnya dalam hidupku. Meski mungkin hanya untu ebuah pembuktian bahwa dia mampu untuk menundukkan sapapun termasuk aku.
Pak Idrus... bagaimana aku bisa menganalisa karakternya jika terus berubah-ubah seperti cuaca yang tidak ada kepastiannya. Bahkan setelah menyebarkan gosip murahan seperti itu dia tidak merasa bersalah. Mungkin itu caranya untuk menyelamatkan harga dirinya. Tapi tidakkah dia berfikir bahwa itu juga menyakitiku? Perempuan mana yang ingin diperlakukan seperti itu? Bukan memintanya untuk membalas kebaikanku. Aku tahu ada Tuhan yang akan membalasnya tapi setidaknya tidak usah menyebar rumor yang juga menghancurkan harga diriku.
Pak Idrus... aku tidak datang mencarinya. Dia yang datang dalam kehidupanku. Kalaupun aku baik padanya bukan berarti aku memohon untuk cintanya.
Pak Idrus apakah cinta memang seperti ini? Selalu mengutamakan ego. Akupun tidak bisa memungkiri bahwa aku tidak ingin diperlakukan seperti itu karena egoku. Harga diriku terluka. Kurang baik apa aku padanya pak Idrus?
“Islamiah.” Teriak Yusuf memanggilku.
“Kau dari mana?” Tanyaku ketika Yusuf berhasil menjejeri langkahku.
“Dari kelas. Ech.. Ken sakit. Kemarin kecelakaan tunggal. Kau mau menjenguknya?” Tanya Yusuf.
“Kau sendiri?” Aku bertanya balik pada Yusuf. Setidaknya jika dia ingin pergi maka aku bisa ikut dengannya.
“Aku akan menjenguknya.” Jawabnya tegas kemudian tersenyum. aku menatapnya dalam-dalam. Sekuat itukah yusuf? Bagaimana kalau seandainya mantan pacarnya juga datang? Apakah dia benar-benar kuat?
“Tidak usahlah keburukan dibalas keburukan. Tidak ada gunanya. Mana bisa kita menakar pembalasan. Biarkan Tuhan yang membalasnya karena Tuhan tidak akan salah dalam menakarnya.” Ujar Yusuf bijak seakan membaca jalan pikiranku.
Dalam perjalanan ke rumah kos Ken kami singgah membelikannya buah. Aku mengenggam erat buah itu. Bukankah niatku untuk menjenguk. Bukankah aku memang hanya ingin menanam kebaikan? Apapun nanti hasilnya biarkan saja. Cepat atau lambat maka kebaikan akan memperlihatkan cahayanya.
“Iya kecelakaan.” Katanya semangat ketika aku datang bersama Yusuf menjenguknya. “Hujan dan malam-malam kemudian ada lampu jarak jauh dari depan yang menyilaukan. Aku tidak tahu arah dan jatuh. Lebam diseluruh tubuhku. Bahkan jas hujan yang kau belikanpun ikut robek.” Kata Ken. Yusuf menatapku lamat-lamat seakan bertanya sejauh itukah hubungan kami hingga pakaian Kenpun aku yang belikan.
Setengah jam kemudian kami pamit pulang. Gemuruh petir mengiringi kepulangan kami. Tidak ada seratus meter dari kos Ken kami kena hujan. Hujan deras. Tapi Ken hingga pagi tidak menelfon bertanya kabar apakah kami kehujanan atau tidak. Apakah aku baik-baik saja? Apakah aku tiba dengan selamat di rumah. Setidaknya itu adalah pertanyaan seorang teman.
***Cafein Cinta***
Aku tertunduk menatap Yusuf. Aku tahu bahwa dia teman yang baik dan ingin yang terbaik untukku. Aku tahu bahwa saat ini akupun sedang membutuhkan saran darinya. Tapi saat ini ada perih yang juga sedikit mengusik logikaku.
“Bagaimana jika kau hanya dimanfaatkan?” Tanya Yusuf. Air mataku mengalir tidak terbendung mendengar pertanyaan itu. Ayah selalu mengatakan untuk berbuat baik pada siapaun. Jika ternyata orang itu malah hanya memanfaatkan maka serahkan pada Tuhan. Itu urusannya dengan Tuhan dan aku harus tetap berbuat baik pada orang lain. Selama ini aku menjalani hidupku denga baik-baik saja kalaupun ada yang bersamaku sekedar karena suatu kepentingan itu tidak masalah buatku. Tidak apa mereka memanfaatkanku selama aku masih bisa dimanfaatkan. Aku akan membantu selama aku bisa.
Ayah.. mengapa hanya mendengar dari bibir Yusuf tentang Ken yang mungkin hanya memanfaatkanku membuatku terluka ayah. Apakah memang orang kita sukai selalu menyakiti? Jika orang lain yang memanfaatkan dapat aku pastikan aku akan baik-baik saja ayah. Tapi ini Ken. pemuda yang meski aku memungkirinya tetap saja rasa ini kuat meminta pengakuan.
“Islamiah...” Yusuf berkata pelan. Mencoba untuk menenangkanku.
“Itu urusannya dengan Tuhan Yusuf. Jika memang dia hanya memanfaatkanku.” Ujarku.
“Kau mencintainya?” Tanya Yusuf menatapku dalam-dalam. Aku hanya menganguk. Hembusan nafas berat Yusuf terdengar begitu menyakitkan olehku.
“Aku memang mencintainya Yusuf. Tapi aku tidak memakai perasaan. Aku memakai logika. Aku memperlakukannya seperti itu bukan karena perasaan tapi karena logika. Ayahku selalu bilang untuk berbuat baik. Siapapun yang saat itu ada bersamaku maka akan aku perlakukan seperti aku memperlakukan Ken. Bukan berdasarkan kepentingan aku bersamanya Yusuf. Karena meski tanpanya aku tetap mampu untuk melanjutkan hidupku.” Ujarku.
“Karena prinsipmu itulah harga dirimu diinjak-injak. Kau tahu apa rumor yang beredar? Ken akhirnya sukses membuktikan bahwa kaulah yang mengejar-ngejarnya. Lihatlah kau datang dengan membawa buah untuknya dalam keadaan hujan deras. Bahkan Ken tidak mau tahu keadaanmu. Dia tidak menghubungimu dan menanyakan kabarmu. Itulah bukti bahwa Ken memang hanya ingin memanfaatkanmu dan membuktikan bahwa dia bisa mendapatkanmu dan buatmu mengejarnya. Dia bisa membuktikan bahwa dia bisa bersama siapapun termasuk kau. Gadis yang tidak pernah jatuh cinta.” Ujar Yusuf dengan menekan rasa emosinya.
Aku memeluk erat bantal gulingku. Menangis terisak dalam dekapan itu. Mengapa rasanya sakit padahal sejak awal aku tahu bahwa hal ini pasti terjadi. Sejak awal aku sudah siapkan diri dengan kemungkinan terburuk sekalipun tapi tetap saja rasanya sangat sakit.
Ayah.. aku harus sebaik apa hingga dia sadar bahwa dia salah memperlakukanku seperti itu ayah?
Kami tidak punya hubungan apapun. Aku tidak berhak meminta perhatian darinya. Wajar jika Ken mengumbar kebaikanku sebagai permohonan cintaku terhadapnya. Biarkan dia dengan jalan hidup yang dia pilih. Mungkin dirikulah yang terlalu membenarkan sikapku. Mungkin saja jika dilihat dari sisi Ken maka sebenarnya aku salah.
Aku membasuh mukaku dengan air. Dengan menangis mampu untuk menenangkan diriku. Anggap saja bahwa kejamnya dunia sedang menampakkan taringnya. Aku harus kuat. Bukankah tidak akan ada pedang yang tajam dan mematikan jika tidak ditempa. Begitupun denganku. Aku akan semakin kuat menjalani kehidupan. Akan banyak Ken di luar sana berkeliaran dan mungkin saja akan terus memanfaatkanku.
***Cafein Cinta***
Rasa sakit itu masih terasa. Semakin aku tekan rasa sakit maka semakin terasa. Tapi aku tahu bahwa waktu untuk kali ini bisa menjamin luka itu bisa mengering. Semua ada waktunya. Sekarang aku terluka maka besok mungkin aku akan bahagia. Aku harus menikmati saja apa yang aku miliki. Bahkan rasa sakit itu harus tetap aku syukuri. Setidaknya rasa sakit itu mampu membuatku sadar bahwa selama ini aku terlalu nyaman pada dunia yang aku jalani. Terlalu nyaman dengan prinsip-prinsipku tanpa tahu bahwa di luar sana banyak hal yang mengerikan. Aku seperti burung yang baru keluar dari sangka emas. Tadinya aku berfikir bahwa sangkar emasku sangat membosankan. Ternyata di alam liar penuh dengan persaingan yang mengerikan. Bahkan tidak sekalipun aku membayangkan bahwa ada satu episode dalam hidupku mengukir kisah seperti ini.
“Islamiah...” Suara baritong itu lagi. tanpa rasa bersalah dia hadir kembali. Jika orang luar tahu apa yang sebenarnya yang terjadi maka aku yakin bahwa dia hanya akan dijadikan bahan tertawaan. Terkadang semua ceritanya hanya untuk membenarkannya. Melihat dari sisinya saja.
“Masuk.” Ujarku terus mencoba untuk menekan rasa sakit yang mencuat. Bahkan aku seperti tidak mampu untuk membendung air mataku. Tapi aku tidak akan memgizinkan Ken menang mutlak. Tidak sadarkah dia bahwa sedalam apapun luka yang dia torehkan aku tetap terima kehadirannya. Tidak sadarkah dia bahwa apapun yang dia katakan pada semua orang tetap saja aku balas dengan kebaikan. Dan kata maaf selalu hadir untuknya meski tidak sekalipun dia meminta maaf padaku.
“Kau masak apa?” Tanyanya.
“Kau mau makan apa?” Aku bertanya balik.
“Terserah.” Jawabnya. Mungkin diapun merasakan perubahan sikapku. Tapi rasanya sangat sakit ketika orang yang kita sayangi ternyata menikammu terus menerus tanpa peduli dengan luka itu.
Ayah... dia selalu datang tanpa rasa bersalah ayah. Dia selalu datang tanpa permohonan maaf. Dia selalu datang dengan caranya dan selalu berhasil untuk menyakitiku.
Ayah aku lelah diperlakukan seperti itu.
***Cafein Cinta**
Aku menghindar untuk melindungi hatiku
Aku menatap Ken dalam-dalam. Tidak bisa aku memungkiri bahwa aku kalah dan telah jatuh hati padanya. Jika aku memang tidak bisa membuatnya jatuh cinta padaku mungkin lebih baik melepaskannya sebelum belati cinta ini menikamku lebih dalam lagi.
Pak Idrus.. bahkan aku langsung patah hati tanpa sempat merasakan manisnya cinta. Mungkin sakit ini tidak kelewatan andai yang ada hanya cinta yang bertepuk sebelah tangan. Tapi yang hadir malah cinta yang diremehkan dan ditertawakan oleh semua orang.
Liburan semester pertama akan aku habiskan jauh dari Ken. Waktu dan jarak akan menghapus tentangnya. Jika dia bahagia diatas lukaku.
Harus aku akui bahwa Ken memang pemuda yang hebat. Bisa membuatku patah hati tanpa sempat menyentuh kata cinta dan juga pacaran. Selama tujuh belas tahun aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Sekalinya jatuh cinta langsung ke tahap tertinggi yaitu patah hati.
Kadang-kadang kehidupan tidak bisa berjalan sesuai dengan teori. Tidak berjalan sesuai dengan planing tapi apapun yang terjadi hidup harus tetap kita lanjutkan.
Aku memilih untuk liburan di kampung ayah. Daerah dingin. Pemandangan bagus dan jauh dari keramaian kota. Susananya sama denga di desa-desa lain.
“Bagaimana kuliahmu?” Tanya tante Nisa saudara dari ayahku.
“Baik tante.” Jawabku malas-malasan karena masih kelelahan. Aku bahkan belum ganti baju. Langsung ke sofa ruang tamu berbaring menatap langit-langit rumah.
“Sudah punya pacar?” Tanya Tente Nisa. Ketika semua anggota keluarga sedang gempar-gemparnya melarang pacaran sebelum sarjana tante Nisa malah asyik menanyakan tentang pacaran.
“Belum boleh tante.” Jawabku masih asal.
“Benarkah itu?” Tanya tante Nisa jahil.
“Menurut tante gimana?” Tanyaku balik mencoba membuat seru permainan yang dia buat. Salah sendiri menganggu harimau yang sedang bad mood.
“Entah apapun alasanmu melakukan itu hanya kau yang tahu. Cinta mungkin masih bisa menunggumu. Tapi harus selalu kami ingat bahwa terkadang ada kata lelah. Menyerah.” Ujar Tante Nisa sok tahu.
“Harus ada efek jera tante. Jika memang benar-benar menyukai seseorang mengapa tidak menunjukkannya. Biarkan semua orang tahu tentang itu semua. Tidak perlu risih dengan harga diri. Resiko mencintai. Semua orangpun tahu bahwa cinta itu buta. Tidak memilih pada siapa kita akan jatuh cinta. Tapi berbeda dengannya tante. Dia ingin dialah yang dicintai dengan sangat. Dialah kita memohon. Kenapa tidak membuat hubungan ini jadi simpel. Aku mencintaimu dan kaupun mencintaiku. Kita bersama karena saling mencintai bukan karena aku mencintaimu dan memaksakan hubunga ini.” Jelasku dengan mata berkaca-kaca.
“Dia telah membuktikannya. Dia telah mencarimu. Mencarimu di rumahmu di Makassar dan di kampung.” Tante Nisa mencoba untuk membela Ken.
“Buat apa tante? Ketika dia sendiri belum sadar dengan kesalahannya. Ketika dia sendiri dengan egonya.” Jawabku.
“Kau sendiri dengan egomu.” Tante Nisa menimpali kata-kataku.
“Sampai kapan aku harus baik padanya tante? Sampai kapan?” Tanyaku dalam isak tangisku.
“Baik itu tidak punya batas waktu Islamiah. Itu yang harus kau pahami.” Kata tante Nisa.
“Tapi akupun punya hak untuk menjaga hatiku agar tidak terluka. Aku berhak untuk menghentikan kedzaliman terhadap diriku tante dan aku menghindar untuk melindungi hatiku tante.” Jawabku kemudian meninggalkan tante yang menatapku dengan pandangan kasihan.
Seperti para pecinta yang patah hati maka hari-harikupun terlewatkan dengan sangat mengenaskan. Seperti tidak ada yang aku lakukan dalam hidupku. Seperti tidak memiliki jalan hidup. Seperti semua pintu sudah tertutup meski aku telah mengetuk setiap pintu itu.
Ayah.. ada satu ruang di dadaku yang terletak di pusatnya tertekan. Seperti ada batu yang menganjal disana ayah. Sangat sakit. Dan itu membuat hari-hariku menyedihkan. Membuatku lemas.
Ayah.. apakah dia memikirkanku seperti aku memikirkannya?
Ayah... aku merindukannya dan ingin mengalah dengan keputusanku
Tapi ayah kasihan hatiku jika terus-terusan di tikam.
“Islamiah... bicaralah dengannya.” Bujuk tante Nisa ketika Ken menelfonnya. “Bukan seperti ini cara menyelesaikan masalah. Kau lari dari masalah islamiah.”
“Baik tante.” Ujarku kemudian menerima telfon dari Ken.
Air mataku menetes lagi. Sakit itu bahkan telah menyelimuti rasa cinta. Sakit itu telah membuatku menjadi keras. Sudah sering aku memaafkannya. Sudah sering aku menghapus air mata karenanya. Kali ini terakhir aku menghapus air mata untuknya. Lebih baik aku melepaskannya untuk bisa membuat hatiku bahagia seiring berjalannya waktu daripada aku harus mempertahankannya namun setiap detik yang aku punya diwarnai dengan luka.
“Aku minta maaf.” Kata Ken dengan suara serak. Aku tidak bisa berkata-kata hanya isak tangis yang bisa mewakili kata-kataku. “Aku merasa bersalah.” Lanjut Ken dan aku masih terus dalam isakan tangisku. Rasanya sangat sakit bahkan permohonan maaf itu tidak mampu mengobati sedikit saja perih yang aku rasakan.
“Aku tahu bahwa aku salah. Aku merasa bersalah. Kau tidak tahu bagaimana berada di posisiku. Kau tidak tahu bagaimana rasanya menyukai sesuatu yang dibenci.” Katanya dengan isak tangis. Kami sama-sama menangis. Kami sama-sama terluka akibat perbuatan kami sendiri. Kami sama-sama egois dan tidak ada satu titikpun yang mampu untuk menyatukan kami.
“Aku tidak tahu apa-apa tentangmu Ken. Yang aku tahu perbuatanmu selalu membuatku terluka.” Kataku disela isak tangisku. Isak tangis Ken perlahan redah. Bukankah yang membuat hubungan ini menjadi sangat sulit adalah dia. Bahkan kami tidak sempat seperti remaja lain dimana mereka akan saling menyatakan cintanya. Kami malah saling menjelaskan tentang luka yang hadir di hati masing-masing.
“Maaf..” Ujarnya lagi.
“Jika kau malu punya pacar sepertiku aku bisa terima. Kau cukup menjelaskan pada orang-orang bahwa kau tidak suka padaku. Bahwa kita hanya sekedar teman. Tidak perlulah kau menjelek-jelekkanku.” Kataku seperti memohon. Pintu maaf serta pernyataan penyesalan itu bisa membuatku memaafkannya tapi untuk kembali seperti semula itu nyaris mustahil. Hatiku belum bisa menerima dengan ikhlas perbuatannya.
“Maaf...” Kata Ken lirih.
“Untuk apa kata maaf itu? Jika kau tidak pernah bisa berubah. Untuk apa kata maaf itu jika hanya jadi kalimat yang paling mudah kau ucapkan. Tanpa kau pahami arti dari kata maaf itu sendiri.” Kataku. Tangiskupun sudah redah. Meski luka itu terus menohok hatiku.
“Aku memang salah.” Desah Ken.
“Sekarang kau bilang bahwa kau salah. Tidak sadarkah kau bahwa kesalahan itu sudah menghempaskanku? Aku mencari-cari celah kesalahanku padamu hingga kau bisa memperlakukanku seperti ini. Tapi tidak ada. Aku salah dan selalu salah di mata semua orang akibat perbuatanmu. Aku tidak perlu membalas keburukan dengan keburukan. Aku tidak perlu mengklarifikasi semua kejadian. Karena tidak peduli dengan anggapan orang-orang yang penting kau sendiri tahu bahwa itu tidak benar. Bahkan kejaran nurani itu lebih menyakitkan dari pada kebenaran. Sekarang kau tahu bahwa kau salah ketika semuanya sudah tidak bisa kita perbaiki.” Kataku kemudian menutup sambungan telfon.
***Cafein Cinta***
Aku yakin aku tidak akan menyesal dengan keputusanku. Hidupku baik-baik saja sebelum dia hadir dan sekarang adalah mwaktu untuk mengembalikan semuanya ke awal. Sudah saatnya mengakhiri masa berkabung. Cinta hanya potonganterkecil dari rangkaian cerita kehidupan.
Aku menyibukkan diri dengan ikut tante Nisa keliling kampung ke acara nikahan atau sunatan. Tante Nisa selalu kebagian rejeki sebagai fotorgrafernya.
Aku menyantap makanan pembuka pesta dengan seyum manis yang aku miliki. Aku buka tamu undangan. Hanya mengatar tante Nisa ke acara pernikahan tapi lihatlah makanan yang tersaji di depanku, segala macam olahan daging kuda. Daging kebanggaan desa ini. Mulai dari sate hingga gantala (Makanan khas Jeneponto).
“Makanlah sebanyak yang kamu bisa.” Bisik tante Nisa.
“Kenapa hidangannya banyak sekali tante?” Tanyaku penasaran.
“Makan sajalah.” Jawab tante Nisa.
Aku tersentak. Bukankah ini makanan yang Ken juga sukai. Bahkan ada coto daging kuda. Dia pasti sangat suka dengan coto daging kuda.
Ayah.. aku baik-baik saja meski masih tetap mengingatnya. Tidak masalah ayah. Bukankah ini terbilang cepat untuk move on.
Ayah... tidak perlu terburu-buru. Akupun jatuh cinta padanya tidak terburu-buru ayah.
Ayah.. bahkan cintapun akan selalu butuh waktu
Aku membuat juice alvokat tapi buahnya aku langsung petik di belakang rumah tante Nisa. Ante Nisa berteriak-teriak minta tolong seperti kesetanan ketika melihatku seperti monyet memanjat pohon alvokatnya. Bukan buahnya yang takut aku petik tapi keponakan kesayangannya yang dia takutkan terjatuh.
Ayah tante Nisa tidak tahu berapa kali ayah harus menghadap ke sekolah hanya karena aku yang selalu kedapatan memanjat pohon di belakang sekolah ayah.
Ayah.. aku tahu bahwa kau tidak akan marah ketika aku mengulang kenakalanku.
Ayah kau tahu bahwa aku harus membuat tenang hatiku dengan caraku. Anggap saja inilah caraku buat berlari sejauh mungkin dari rasa sakit hati yang aku derita.
***Cafein Cinta***
Cara termudah dan ampuh untuk mengobati sakit hati yaitu mencari penganti yang jauh lebih baik darinya. Terserah mengatakan itu pelarian atau apalah. Tidak penting. Yang penting adalah luka itu terobati.
Terobsesi dengan prinsip hidup entah siapa. Maka Tente Nisa berinisiatif untuk menjodohkanku dengan keponakan suaminya.
Ayah.. tante Nisa tidak tahu betapa sulitnya untukku jatuh cinta.
“Kenalkan ini Islamiah. Islamiah ini Radith.” Ujar tante Nisa bangga memperkenalkan kami.
“Radith?” Tanyaku berusaha untuk menyakinkan penglihatanku serta ingatanku tentang Radith.
“Islamiah kan?” Radith bertanya balik.
“Kalian saling kenal?” Tanya Tante Nisa sambil menunjuk ke arah kami.
“Dia teman SMPku tante. Tepatnya dia adalah ketua kelasku.” Jawabku. Dunia ini sempit. Akhir-akhir ini aku di kelilingi oleh teman SMPku. Seperti sedang reunian saja.
“Kalau begitu buat apa kalian saling kenal. Langsung nikah aja.” Teriak Tante Nisa penuh semangat. Aku dan Radith hanya bisa menanggapinya dengan tertawa.
“Emang kau sudah siap menikah? Bagaimana kalau suamimu tidak secakep dan secerdas pak Idrus?” GodaRadith.
“Artinya mau apalagi. Mungkin karena dialah jodohku. Terima saja. Anggap bahwa pak Idrus adalah bintang di langit yang tidak akan pernah bisa aku raih.” Jawabku asal dengan memesan mimik sedih yang malah membuat Radith dan tante Nisa mual melihatnya.
“Ngomong-ngomong. Pak Idrus sudah menikah loh. Katanya pacarnya waktu dulu kuliah. Beliau sudah punya anak. Mereka hidup bahagia selamanya. Seperti sebuah dongeng.” Goda Radith lagi.
“Sungguh beruntung.” Ujarku.
Radiht sudah tampak lebih dewasa dan keren dan aku berharap diapun menjadi orang dewasa yang sesungguhnya. Bukan lagi Radith yang plinplan. Radith yang jatuh cinta pada Ani sahabatku malah mengajakku pacaran. Katanya untuk mengubahku menjadi perempuan benar. Alasan yang tidak masuk akal.
***Cafein Cinta***
Pak Idrus dan keluarga bahagia
Kebahagian itu bukan berapa banyak harta yang bisa ditimbun, berapa luas tanah yang dimiliki, berapa buah rumah yang bisa dibangun dan berapa kendaraan yang ada dibagasi. Tapi kebahagiaan itu ketika kau tetap tersenyum melihatku meskipun di periuk tidak ada nasi. Tapi kebahagiaan itu ketika kau tetap bersabar di sampingku meskipun aku tidak memberimu apapun selain rejeki yang halal.
Dunia digenggam bukan dalam genggaman harta namun dalam genggaman senyum dan kebaikan. Tidak perlu bersedakah dengan harta jika itu tidak memberikan jaminan untuk tidak menyakiti orang lain. Cukuplah dengan senyum maka semua akan berbalik menjadi temanmu.
Jika ayah selalu beranggapan bahwa untuk menjalin hubungan dengan orang lain cukuplah dengan menaburkan bibit kebaikan maka pak idrus mengajarkan bahwa senyum mampu memberikan efek yang sama. Tapi apapun prinsip hidup mereka aku selalu tahu bahwa mereka bijaksana dalam menanggapi kehidupan. Ayah maupun pak Idrus selalu melihat kehidupan dari kacamata berbeda dengan semua orang dan aku yakin bahwa itulah cara pandang yang sesungguhnya.
“Kau yakin untuk keluar dari persembunyianmu?” Radith masih berusaha untuk menyakinkanku bahkan ketika aku akan naik ke sepeda motor yang dia kendarai.
“Sampai kapan aku akan sembunyi, bahkan kehidupan kelelawar jauh lebih menyenangkan dari pada kehidupanku. Lalu aku menyalahkan cinta” Jawabku kemudian naik ke sadel motor Radith.
“Ini berbeda dengan kelelawar. Bahkan cinta memang bisa melakukan hal yang jauh dari nalar.” Kata Radith sebelum menstater motornya.
“Kalau memang tidak bersedia. Bilang saja tidak bersedia Radith. Tidak perlu banya bicara.” Bentakku.
“Persoalan bersedia. Bahkan keujung duniapun aku bersedia. Tapi percayalah bahkan ini tidak sesederhana kehidupan kelelawar Islamiah.” Ujar Radith.
Aku sudah terlalu lama bersembunyi. Meratapi keadaan. Bukankah sebelum Ken datang hidupku baik-baik saja. Dari sehari kehidupan yang aku miliki Ken hanya hadir sedetik tapi mengapa begitu membuatku terpuruk.
Terus bersembunyi bukanlah sesuatu pilihan yang benar. Sudah cukup aku berkabung untuk lelaki yang sebenarnya tidak pernah mau menghargaiku. Kata maaf serta rasa bersalah itu hanya milik Ken tidak ada pengaruhnya terhadapku karena sakit itu tidakakan sembuh hanya dua kata sakti.
Setidaknya kebaikan sudah membuktikan diri bahwa tidak akan ada yang sia-sia. Cepat atau lambat maka nurani akan mengejarnya. Ken selalu menang, di mata semua orang Ken telah menang. Tapi mungkin sekali dalam seumur hidup Ken. Untuk pertama kalinya Ken merasa kalah. Dikalahkan oleh sesuatu yang bernama nurani. Meski dunia tidak melihat itu.
***Cafein Cinta***
Inilah rumah yang dibangun oleh cinta. Tidak megah namun menenangkan. Tidak mewah namun menetramkan. Halamannya yang asri membuatku yakin mampu melapangkan hati pemiliknya.
Bagaimana aku gambarkan rumahnya? Bahwa rumahnya hanya type 21, bahwa beliau hanya punya ruang tamu yang memilikisatu sofa, bahwa beliau hanya punya dapur yang sempit dan dua buah kamar, satu untuknya dan istrinya dan satu untuk anaknya. Tapi rumah itu simbol kebahagian. Bahwa rumah itu bersinar diantara rumah-rumah yang lain. Bahwa di rumah itu enantiasi terlantun ayat suci al Quran. Bahwa di rumah itu dipenuhi oleh wajah-wajah yang menenangkan hati ketika melihatnya. Wajah seorang mukmin yang berseri-seri.
“Islamiah... masuk nak.” Sambut pak Idrus ketika melihatku memasuki pekarangan rumahnya.
“Makasih pak.” Ujarku kemudia melangkah mengikuti pak Idrus.
“Istriku... ini Islamiah yang selalu aku ceritakan. Siswiku yang cerdas meski nakal. Setelah dia kami sudah tidak menemukan masterpiece selanjutnya.” Ujarnya pak Idrus sambil tertawa.
“Sudah Dewasa rupanya.” Kata istri pak Idrus. Aku hanya tersenyum menyalai istri pak Idrus kemudian duduk di sofa ruang tamu disebelah Radith. Istri pak Idrus kembali ke dapur.
“Bagaimana dengan kuliah kalian?” Tanya pak Idrus membukan percakapan.
“Aku kerja pak.” Jawab Radith.
“Kalau Islamiah? Sayang loh otak cerdasmu kalau kau tidak kuliah hingga mencapai gelar tertinggi.” Kata pak Idrus.
“Islamiah kuliah pak. Tapi ternyata kehidupan perkuliahan jauh lebih menyeramkan.” Candaku.
“Tidak ada yang menyeramkan Islamiah. Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. Bapak tahu bahwa kau selalu punya senjata ampuh untuk menghadapaki kehidupan. Bukankah kau akan selalu berenang di lautan luas tanpa harus ikut asin? Dulu aku penasaran bagaimana kau menghadapi kehidupan. Sekarang aku paham. Kau benar-benar telah mampu untuk menghadapinya.” Ujar pak Idrus meskipun aku sendiri tidak paham dengan perkataan pak Idrus aku hanya manggut-manggut. “Tidak ada balasan kebakan kecuali kebaikan (pula). Aku tahu bahwa hidup modern selalu mengatakan bahwa kebaikan itu beda tipis dengan kebodohan tapi bapak percaya bahwa Islamiah lebih memilih menjadi orang bodoh daripada menjadi orang jahat.”
“Mungkin karena aku tidak mampu melaksanakan amanah bapak.” Candaku.
“Amanah?” Tanya pak Idrus dengan dahi berkerut.
“Mungkin karena aku tahu bahwa aku tidak mampu untuk mengcegah kemungkaran makanya aku lebih memilih menyemaikan bibit kebaikan pak.” Jawabku.
“Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. Mungkin terlalu jauh kita membahas tentang kemungkaran tapi setidaknya kita tidak perlu membalas perbuatan buruk dengan perbuatan buruk pula.” Kata pak Idrus kemudian tertawa. “Janganlah melihat kejadian dari sisimu. Tapi percayalah bahwa itu yang terbaik untukmu.”
“Kita makan siang dulu. Baru melanjutkan percakapan.” Sela istri pak Idrus.
“Tidak usah Ibu. Merepotkan.” Kataku malu-malu.
“Kewajiban kami memuliakan tamu.” Ujar pak Idrus kemudian mengajak kami makan siang.
Ayah... aku makan tempe dan sayur bening serta ikan pepes.
Ayah... aku sekarang baru paham bahwa kebaikan itu meliputi segalanya termasuk memuliakan tamu. Sekarang aku paham bahwa cukup dengan kata kebaikan maka aku akan sukses menjalani kehidupanku ayah.
Ayah.. kebaikan yang ikhlas. Yang bayarannya akan sepuluh kali lipat dari kebaikan itu sendiri. Bukankah itu janji Allah? Dan Ken silahkan berurusan dengan Tuhan.
***Cafein Cinta***
Senja di kaki bukit. Jingga sang mentari mengubah sawah berwarna emas. Mengubah langit menjadi temaram. Seperti hujan emas. Menikmati senja di kaki bukit.
“Maka sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja” Desah Radith di sampingku ketika kami memutuskan untuk menjemput senja di kaki bukit di dekat desa tante Nisa.
“Cahaya meras... seperti hujan emas. Menyilaukan.” Kataku lirih.
“Sekarang aku baru tahu mengapa selama ini kau selalu menghilang di kelas dan menghabiskan waktu di belakang kelas pada jam istirahat bersama pak Idrus.” Kata Radith kemudian menyerahkan susu cokelat kemasan dan biskuit cokelat kesukaanku yang sengaja dia beli sepulang kami dari rumah pak Idrus.
“Untuk gadis remaja sepertiku saat itu. Untuk seorang gadis yang kerjanya hanya buat keributan dan tidak paham dengan kehidupan maka harus ada orang seperti pak Idrus yang bisa membuatku paham tentang arti kehidupan. Aku selalu menganggap bahwa kehidupan itu hanya sebuah permainan. Kehidupan itu selugu aku yang tidak punya ambisi. Tapi ternyata kehidupan yang sesungguhnya itu dipenuhi dengan warna ambisi. Hukum rimba berlaku. Mengerikan. Tapi ayah selalu mengatakan bahwa Allah akan selalu bersamaku jika aku selalu berbuat baik. Cukup berbuat baik maka aku akan sukses menjalani kehidupan ini.” Ujarku.
“Aku pikir saat itu kau hanya terobsesi dengan kegantengan pak Idrus. Aku kira kau hanya ingin bersamanya seperti gadis centil lainnya. Aku tidak pernah berfikir bahwa kau belajar kehidupan darinya.” Ujar Radith kemudian tersenyum.
Bahkan ketika menghadapi tingkah koyolmu yang memintaku menjadi pacarmu hanya untuk mengubahku. Aku dapatkan dari pak Idrus. Tanpa harus melukaimu dan tanpa menyimpan dendam untukku.
Jika saja aku menghadapimu sebagai gadis remaja seusiaku saat itu maka dapat aku pastikan bahwa tidak pernah ada percakapan seperti ini.
Aku sendiri belum paham betul tentang falsafah kebaikan andai aku paham meski itu adalah Ken maka tidak akan pernah ada luka yang timbul.
“Apakah kau sudah memaafkannya?” Kata Radith sambil tetap memandang senja.
“Aku memaafkannya tapi untuk kembali seperti dulu itu sudah sangat mustahil.”Kataku.
“seseorang pernah bilang padaku. Kalau perempuan di dunia nyata ini maka tidak ada perempuan yang sangat baik ataupun perempuan yang sangat jahat tanpa hati nurani. Bukan perempuan seperti disinetron. Yang meski diinjak-injak tetap akan baik atau meski semua orang berbuat baik padanya tetap saja dia jahat.” Radith muli bicara ngelantur.
“Aku tidak tahu apa maksudmu. Tapi sepertinya kita harus pulang sebelum benar-benar gelap.” Kataku.
Aku tidak paham apa maksud Radith. Tapi yang aku tahu bahwa Radith selalu menceritakan sesuatu dengan caranya. Radith akan membuat kita menebak maksud kalimatnya dan ketika sesuatu terjadi maka Radith akan mengatakan inilah maksudku.
***Cafein Cinta***
“Tuhan itu adil.” Kata Pak Idrus. Besoknya aku menemui pak Idrus sendiri tanpa Radith. Ada hal yang harus aku bicarakan dengan pak Idrus dan sepertinya akan jauh lebih baik jika Radith tidak ada.
“Adil... mungkin memang adil. Hanya saja manusia yang tidak mampu melihat keadilan itu. Dan tidak bisa aku pungkiri bahwa akupun demikian.” Kataku sambil berusaha menahan isak tangisku.
“Keadilan itu akan terlihat ketika kau ikhlas. Percayalah.” Kata Pak Idrus bijak.
“Sulit untuk mengaplikasikannya pak.” Keluhku.
“Bahkan itupun menjadi keluhan bapak. Tapi bapak selalu berusaha untuk ikhlas. Tidak perlu balasan dari sapapun. Ingat ada Allah.” Kata Pak Idrus kemudian memperbaiki poniku yang terjuntai. “Kau mau mendengarkan aku bercerita?”
“Ceritalah.” Jawabku.
“Apapaun yang terjadi padamu. Ada kisah yang jauh lebih menyedihkan dari kisahmu.” Kata pak Idrus dengan misterius seperti mampu untuk membaca pikiranku. “Dulu.. waktu bapak kuliah. Bapak punya teman kuliah seorang gadis. Cantik untuk ukuran seorang gadis. Kemudian sang gadis jatuh cinta pada seorang pemuda. Bahkan pemuda itu sangat jelek dimata semua wanita kecuali mata gadis itu. Saat itu mereka menyebutnya bahwa cinta itu buta atau apalah. Sang gadis mengorbankan segalanya untuk sang pemuda. Semua mata melihatnya mengatakan bahwa sang gadis bodoh. Tapi tahukah kau bahwa itu bukan sebuah kebodohan tapi itulah cinta. Cinta hanya tahu memberi tanpa pernah berfikir untuk menerima. Itulah cinta dimana semua orang berfikir tentang kebodohan. Tapi bukankah tidak ada yang sia-sia? Ketika sampai pada satu titik sang gadis sudah menyerah dengan cintanya maka dengan ikhlas tanpa penyesalan dia menyelesaikan kisah cinta itu dengan senyuman dan sebuah kalimat “BUKANKAH AKUPUN TELAH BERJUANG UNTUK CINTAKU?” mungkin terkesan bodoh. Tapi itulah cinta Islamiah. Ketika sang gadis diabakan oleh sang pemuda. Sang gadis terus berjuang hingga akhirnya menyerah. Namun dengan ikhlas dia menjalani semuanya. Tahukah kau apa yang terjadi? Setelah sang gadis memutuskan untuk pergi maka saat itu sang pemuda menyesali semuanya. Cintanya datang terlambat. Cinta yang sayangnya seumur hidup menjadi cerita cintanya yang tidak akan pernah tergantikan. Ikhlas Islamiah. Ikhlas itulah kunci utamanya.”
“hmmm...” Aku hanya bisa mendesah terputus.
“Apapun kisahmu maka percayalah bahwa banyak yang sepertimu atau bahkan lebih pedih darimu. Hanya saja mereka ikhlas menjalaninya.” Kata pak Idrus lagi.
***Cafein Cinta***
Aku memandang sang mentari. Meski awan hitam menyelimuitinya tapi tetaplah sang mentari menepati janjinya untuk menyinari bumi semampunya. Tanpa sekalipun ingkar dengan janjinya. Meski badai di depan menghadang.
“Akad nikah akan mengubah segalanya.” Ujar tante Nisa. Aku hanya mampu menelan air liurku. Pernikahan bukanlah sebuah permainan. Pernikahan bukanlah pacaran dimana perpisahan selalu memiliki celah untuk terjadi.
“Keputusan ada ditanganmu. Ini pernikahan. Jangan sampai menjadi penyesalan seumur hidup. Mungkin cinta bisa tumbuh karena kebersamaan tapi apakah ada jaminan untuk hal itu?” Kata pak Idrus ketika aku ceritakan keputusan keluargaku. Menurut mereka pernikahanlah yang mampu menyembuhkan luka. Penikahanlah yang mampu mengakhiri semua kisah yang terjalin antara aku dan Ken.
“Aku tidak tahu harus melakukan apa. Tidak ada yang bisa aku putuskan. Aku takut salah dalam memilih pak. Aku takut.” Ujarku dengan suara serak.
“Wajar. Ini adalah keputusan terberat dan terbesar yang harus kau ambil. Sisa hidupmu akan kau habiskan dengan pasanganmu. Seberapa menyebalkanpun dia kau harus menerimanya apa adanya. Seberapa menjengkelkannya pasanganmu kau harus tetap menjalani karena ini adalah pilihanmu namun terlepas dari itu semua maka ini adalah sebuah kewajiban yang harus kau jalani. Pahami itu Islamiah. Kau harus menjalaninya sampai akhir dan kau perlu tah satu kunci yang akan menyelamatkanmu hingga akhir. Cinta dan keikhlasan Islamiah. Itu akan berjalan berbarengan.” Kata pak Idrus. Aku hanya menangis menatap beliau.
“Aku bahkan tidak pernah mau mendengarkan penjelasannya mengapa dia memilih memperlakukanku seperti itu pak.” Ujarku dalam isakan tangisku.
“Apapun itu percayalah bahwa ada alasan yang kuat untuk melakukan hal tersebut. Mungkin karena dilema. Antara alasan mengapa dia melakukan hal itu dan cinta yang hadir untukmu. Percayah bahkan seorang pencuri memiliki alasan untuk melakukan perbuatannya meski itu terksan hanya untuk membenarkan perbuatannya.” Kata pak Idrus.
“Hmmmm...” Aku hanya bisa kembali mendesah. Bagaimana aku meminta penjelasan dari Ken sedangkan aku selalu tahu bahwa Ken adalah sosok yang berbeda. Tidak terbaca dan hanya aan melakukan sesuatu yang menurutnya benar. Entah itu menyakiti perasaan orang lain atau tidak. Bukan hal mudah untuk membuat Ken bicara. Bahkan meski hanya mengatakan kata maaf untuk perbuatannyapun itu amatlah sulit. Sesulit memahami inginnya.
***Cafein Cinta***
“Assalamu alaikum.” Suara baritong itu menyentakkanku. Suara yang aku benci sekaligus aku rindukan. Suara yang mampu membuatku merasakan dua hal sekaligus.
“Waalaikum salam...” Masuk Ken. Ujar istri pak Idrus. Aku membeku di tempat dudukku. Tidak pernah terpikirkan olehku akan bertemu dengannya. Aku belumsiap bertemu dengannya. Aku tidak tahu apa yang mesti aku katakan padanya. Aku rusuh dengan hatiku yang tidak bisa aku ajak untuk kompromi. Bahkan amarah selama ini menguap begitu saja ketika melihatnya cengegesan. Tingkah yang mengelikan sekaligus menyebalkan. Berapa kali Ken melukai tetap saja perasaan itu bertahan untuknya. Tanpa aku sadari bulir bening yang mengambarkan betapa lemahnya aku kini berkucur deras membasahi ke dua pipiku. Aku selalu lemah jika harus berurusan dengan Ken. Atau selamanya aku akan lemah ketika berhadapan dengan rasa cintaku.
“Apa kabar Islamiah?” Tegur Ken. Aku hanya diam. Tidak bisakan dia mengetahui kabarku hanya melihatku saja? Melihat setiap bulir yang mengalir deras itu? Kemenangan memang selalu dia tuai dengan tunai. Aku bahkan tidak mampu menyembunyikan betapa luka itu telah mengiris-iris hatiku menjadi potongan kecil yang sudah tidak berbentuk lagi.
“Kalian bicaralah dulu.” Ujar pak Idrus kemudian meninggalkank aku dan Ken di ruang tamu.
Kami hanya diam. Hanya desah nafas masing-masing yang terdengar berat. Bahkan aku berusaha untuk menahan nafas agar isak tangis ini bisa tersembunyikan. Dari awal aku sudah tahu bahwa aku tertolak sebelum meluapkan rasa tapi mengapa rasa itu tetap terasa sakit?
Ayah adakah obat untuk rasa sakit ini selain pernikahan? Jika ada maka cukuplah dengan obat itu. Dengan dosis yang tinggi mungkin bisa menyembuhkanku. Atau paling tidak mengurangi rasa sakitnya tapi jika memang itu sudah tidak mampu maka aku akan menjalani apa yang menurut ayah benar.
“Aku minta maaf.” Ujar Ken serak. Kata maaf. Kata maaf itu tidak akan menyembuhkan lukaku. Aku hanya dia menanggapi kata-kata Ken. Bukan dia menjalaninya hingga dengan mudah Ken mengatakan maaf untuk perbuatannya.
“Kau harus tahu bahwa akupun terluka dengan perbuatanku sendiri. Sama terlukanya dengan dirimu bahkan lebih terluka karena ada rasa bersalah yang selalu menghantuiku.” Kata Ken. Bulir bening itu mengalir membanjiri ke dua pipinya.
Ayah.. dia menangis. Apakah ini sungguhan? Apakah dia benar-benar menangis untukku? Ayah mengapa aku malah ragu dengan tetesan air mata itu. Aku takut dia menipuku lagi ayah. Aku sudah kehilangan kepercayaan terhadapnya.
“Entahlah Ken.” Ujarku akhirnya.
“Kau tahu siapa aku?” Tanya Ken tiba-tiba.
“Aku tidak pernah tahu siapa dirimu seperti aku yang tidak pernah tahu apa inginmu.” Jawabku tanpa isak tangis lagi. Aku sudah sedikit mampu mengendalikan diriku.
“Aku Ken. Akulah pemuda yang selalu kau pandang sebelah mata dulu ketika kita masih SMP. Aku Ken yang tidak pernah mampu meraih juara apapun. Aku Ken yang sepanjang SMP harus hidup setiap hari dengan namamu. Islamiah yang nakal namun cerdas. Islamiah yang memenangkan semua lomba dalam sehari. Islamiah yang terkenal. Islamiah yang cantik. Islamiah yang kaya. Islamiah yang pintar. Kau tahu bahwa semua teman SMP membencimu. Mereka yang bersamamu kecuali Radith hanya bertopeng tapi di belakangmu kebencian itu seperti bunga yang bermekaran terlihat indah di mata para pembenci.” Ujarnya berapi-api dan menekang rahangnya seperti menekan amarahnya. Pantaslah tatapannya dulu begitu menohok. Aku bisa merasakan tatapan tajam itu menghujaniku meski dari arah belakang badanku.
“Kaulah bentuk ketidakadilan kehidupan. Mengapa untuk satu sisi Tuhan mengciptakan seseorang dengan kehidupan yang sempurna. Kaya raya, cantik dan pintar. Mengapa Tuhan tidak menciptakanmu hanya sekedar kaya dan cantik, atau kaya dan pintar. Tidak perlu sempurna dan disisi lain Tuhan menciptakanku. Miskin papa, jelek dan tidak pintar. Siapa yang mengenal Ken? Tidak ada kecuali teman yang sama bodohnya denganku. Lalu pak Idrus yang bertanggung jawab sebagai paman membesarkanku dan menyekolahkanku mendendangkan namamu setiap saat. Seperti sebuah nyanyian yang liriknya begitu indah untuk dilantunkan.” Ujar Ken kemudian menatapku dengan tatapan yang sama ketika SMP dulu. Tatapan yang sangat mengerikan. Tatapan yang akan selalu membuatku takut. Apalagi saat ini aku sudah paham alasan mengapa Ken melakukan itu.
“Wajar jika aku menyimpan dendam.” Lanjut Ken. “Wajar jika aku berusaha untuk melukaimu. Kau memang tidak salah. Yang salah adalah takdir yang memperlakukanku tidak adil. Yang salah adalah apa yang kau miliki. Bukan magic. Aku memperlajari trik itu dan sudah berhasil aku pratekkan pada gadis manapun. Sayangnya tidak ada gadis yang sempurna sepertimu. Gadis cantik dan pintar tapi miskin, cantik dan kaya tapi bodoh, kaya dan pintar tapi jelek. Intinya tidak ada yang sempurna sepertimu.”
Ayah... dia hanya tidak tahu bahwa kita tidak sebahagia yang terlihat. Ayah dia hanya tidak tahu bagaimana kita menjalani hidup.
“Tadinya aku ingin membuktikan bahwa kau tidak sempurna seperti yang aku dan orang bilang. Tadinya aku ingin membuatmu meradang hingga kau tidak bisa lagi mensyukuri kekayaan dan kecantikanmu setelah itu kuliahmu akan hancur dan cacat sudah imagemu sebagai Islamiah yang cerdas. Tapi ternyata aku salah. Semakin mengenalmu semakin menguatkanku bahwa kau memang sempurna. Semakin kau kusakiti semakin kau memaafkanku dan baik padaku. Bukan bertopeng. Bahkan aku sering menemukanmu murung dan menangis akibat luka yang aku torehkan tapi ketika bertemu denganku kau tetap tersenyum dan baik padaku tanpa sekalipun mengeluh dengan sikapku. Aku bodoh dan terjebak dalam permainanku sendiri. Aku bodoh dan malah jatuh cinta padamu. Aku bodoh karena semakin aku menyakitimu maka semakin luka itupun berbalik menyerangku. Aku minta maaf bahkan aku tahu bahwa kata maaf itu tidak memiliki fungsi apa-apa. Sekarang semua terserah padamu.”
Ayah... ternyata aku hanya butuh penjelasan.
Ayah... aku memaafkannya meski untuk kembali seperti semula sudah tidak mungkin bagiku.
Ayah... aku ikhlas dan lihatlah bahkan luka itu menguap seperti air.
***Cafein Cinta***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H