Langit sore menjelang malam itu berwarna oranye kemerahan, seperti amarah yang membara di ujung hari. Dira duduk sendirian di tepi pantai, menatap ombak yang menghantam karang dengan ganas. Di tangannya, sebuah surat lusuh yang baru saja ia temukan di dalam kotak kenangan milik ayahnya yang telah lama meninggal.
Surat itu bukan surat biasa—itu adalah pengakuan. Ayahnya, yang selama ini dianggap sebagai sosok sempurna, ternyata menyimpan rahasia kelam. Sebuah pengkhianatan yang menyakitkan. Ayahnya ternyata pernah mengkhianati ibu dan meninggalkan luka yang tak pernah sembuh, namun tetap terpendam dalam-dalam oleh ibunya.
Suara langkah kaki terdengar mendekat, menghancurkan keheningan sore itu. Dira mendongak, dan mendapati sosok Adam, sahabatnya, yang sudah lama tak ia jumpai.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Adam sambil duduk di sampingnya.
“Berusaha mengerti,” jawab Dira tanpa menoleh.
“Mengerti apa?”
Dira menarik napas panjang. “Selama ini, aku mengira ayahku adalah segalanya. Tapi ternyata, dia bukan orang yang aku pikirkan. Dia... menghancurkan keluargaku dengan cara yang paling menyakitkan.”
Adam terdiam. Ia tahu ada sesuatu yang lebih dalam dari kata-kata Dira. Ia mengerti betul bagaimana sahabatnya itu selalu mengagungkan sosok ayahnya.
“Apa kamu sudah bicara dengan ibumu tentang ini?”
Dira menggeleng lemah. “Aku takut. Aku takut dia akan semakin terluka kalau aku ungkit lagi. Tapi aku juga nggak bisa diam saja. Aku ingin tahu kebenarannya, Adam. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Adam menatap laut, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. “Terkadang, kita harus berani menghadapi kenyataan, Dira. Meski itu menyakitkan. Mungkin ibumu butuh orang yang berani menanyakan hal itu sekarang, daripada terus-terusan memendam semuanya.”