Senja memerah di langit sore, membentuk lukisan alam yang tak pernah berubah. Di sebuah kursi taman yang terpencil, seorang pria tua duduk sendirian, memandang langit seakan sedang berbicara dengan masa lalu. Dia, Bapak, menunggu seseorang yang belum tentu datang. Hari itu berbeda—di sebelah kursi yang biasa kosong, kini duduk seorang anak muda bernama Dani.
Dani: "Pak, saya sering lihat Bapak di sini, duduk sendirian. Sedang menunggu seseorang?"
Bapak tersenyum kecil, kerutan di wajahnya bercerita lebih banyak daripada kata-kata.
Bapak: "Bukan seseorang. Hanya sedang menunggu waktu."
Dani: "Waktu? Maksud Bapak?"
Bapak memandang ke arah matahari yang mulai tenggelam.
Bapak: "Kita semua menunggu waktu, Nak. Waktu untuk berangkat dari dunia ini. Ada yang menunggunya dengan tenang, ada juga yang gelisah. Aku hanya salah satu yang menunggu dengan tenang."
Dani terdiam sejenak, tak tahu harus merespon apa. Tapi ada sesuatu dalam kata-kata Bapak yang membuatnya ingin tahu lebih dalam.
Dani: "Apa Bapak tidak merasa... takut?"
Bapak tertawa pelan, sebuah tawa yang penuh pengertian.
Bapak: "Takut? Dulu iya, saat aku masih seumurmu. Aku khawatir tentang hidup yang belum tuntas, tentang impian yang belum kesampaian. Tapi sekarang... setelah banyak hal berlalu, aku lebih takut kalau hidupku tak punya arti."