Bahagia itu sederhana. Ketika aku dan dirimu saling berpadu dalam satu rasa. Aku berkisah dan kau mendengarkan. Kita tidak perlu lagi bercerita tentang nostalgia.
Bahagia itu sederhana. Ketika aku dan dirimu boleh mendirikan tenda. Kita boleh berpesta. Resepsi. Dan kau akan senang karena tamu yang diundang adalah raja-raja.
Bahagia itu sederhana. Ketika aku dan dirimu bersama-sama datang ke rumah ibadah. Kau datang rapi dengan sarung. Lalu kita bermunajat kepada Ilahi dengan setulus rela.
Bahagia itu sederhana. Ketika aku dan dirimu selalu bangun lebih awal daripada fajar. Kau sibuk menggelar tikar. Melayani pelanggan. Lalu kita berdebat damai tentang cita-cita anak bangsa.
Bahagia itu sederhana. Ketika aku dan dirimu boleh duduk bersama di bangku sekolah. Ada guru tapi terkadang jam kosong. Sedikit tugas. Lalu kita tertawa gembira.
Bahagia itu sederhana. Ketika aku dan dirimu sama-sama mendapatkan kontrak kerja. Kita bisa memberikan Emak sembako. Bukan dari bansos pemerintah. Bukan pula dari sisa bantuan kuota.
Bahagia itu sederhana. Ketika aku dan dirimu bebas bertamasya. Kita pergi ke luar daerah. Bermain pasir asmara. Duduk bersandar di gubuk tua sembari meminum air kelapa muda.
Kini bahagianya kita tidak lagi sederhana. Bahagia yang sesederhana itu telah berganti dengan syair-syair ratapan.
Kini tukang siomay sudah pandai berpuisi. Mereka kesal dengan gerbang sekolah yang berlumut. Terus-menerus mengusik harapan.
Kini tukang organ tunggal juga semakin pandai bersajak. Mereka tak lagi mampu membayar uang bensin truk. Pengeras suara sudah melempem. Terlalu lama jadi pajangan.