"Bang Ozy, minggu besok tolong jadi pemateri ya, kita ada kegiatan seminar virtual via Google Meet."
Waduh! Sudah beberapa kali aku terpaksa menolak ajakan rekan guru untuk berbagi ilmu dan kisah via webinar. Bukannya sok jual mahal tapi memang kondisi sinyal di desaku persis seperti lenggak-lenggoknya si ulat bulu. Kadang sinyalnya kuat, tapi keseringan angin-anginan.
Ya sudahlah. Tak masalah. Kuanggap saja itu rezeki orang lain.
Hidup di desa memang begitu. Jikalau mau berkisah tentang kebersamaan dan kegotong-royongan, maka suasana desa sangat cocok untuk mendeskripsikannya. Tapi, kalau ceritanya ialah tentang bukber virtual dan segala hal berbau virtual, maka.... Up dulu, Say!
Sebagaimana yang kita rasakan dan alami bersama, tantangan utama masyarakat desa adalah tentang terbatasnya jaringan internet.
Memang benar bahwa sinyal internet sudah nyaris menjalar ke semua penjuru desa hingga pelosok. Hanya saja, sinyal tersebut hanya bisa dimanfaatkan seperlunya seperti unggah foto Facebook beresolusi kecil, mengunduh gambar/ilustrasi via WA, hingga mencomot animasi gif.
Syahdan, bagaimana dengan kegiatan upload dan download video?
Haduh. Sejujurnya aku sering kesal dengan dua aktivitas ini. Beberapa kali aku mengunggah video ke IG dan YouTube hingga memakan waktu setengah jam. Padahal videonya tidak sampai 100MB.
Pun demikian ketika aku mengikuti kelas online maupun webinar via Zoom dan Google Meet. Kulihat, wajahku di layar sering bengong, yang menandakan bahwa aku sedang melamun bertarung melawan kerasnya kehidupan sinyal internet. Hahaha
Berarti, nyaris tidak bisa mengikuti bukber virtual dong? Ya, bisa dibilang begitu.