Melek Literasi Plus Literasi Digital
Literasi anak bangsa bahkan masyarakat Indonesia secara umumnya masih dianggap rendah, kan? Lagi-lagi skor PISA bisa jadi patokan, patokan bahwa ketercapaian anak-anak muda generasi bangsa masih berada di bawah rata-rata skor negara peserta (OECD).
Lebih dari itu, di bidang literasi digital pun sama. Tidak yang teruna, tidak yang dewasa, aktivitas melek literasi digital juga masih cukup mengkhawatirkan. Buktinya?
Partisipasi netizen di berbagai media sosial barangkali bisa menjadi bukti, bukti bahwa eksistensi media digital kekinian tidak dibarengi dengan peningkatan literasi sekaligus etika berdigitalisasi.
Lihat saja sebagian besar komentar di kolom Facebook maupun Twitter tentang sebuah gagasan alias opini. Tidak "pandang bulu" lagi komentarnya, alias tidak pakai baca isi.
Bagi para penulis alias pencetus gagasan, hal ini mungkin bisa dibilang keterlaluan banget, ya. Bagaimana tidak, kecenderungan para pembaca sekarang saja sudah bergaya F-shaped pattern, apalagi kalau ditambah dengan aktivitas malas berliterasi. Sungguh kabar yang buruk.
Alhasil, gaungan dan gerakan literasi plus literasi digital sejatinya tak boleh padam.
Biar bagaimana pun, membaca adalah kunci bagi semua pelaku pendidikan untuk memahami sebuah fenomena. Bahkan, membaca juga merupakan fondasi utama bagi seseorang agar dapat berkomentar secara bijaksana.
Melek Orientasi Pembelajaran
Hari demi hari telah berlalu, begitu pula dengan silih bergantinya kurikulum. Rasanya, perlahan kita semua mulai menyadari bahwa nilai dari ranah kognitif sudah tak terlalu penting lagi. Maksudku, tak selalu menjadi rujukan lagi, baik di dunia pendidikan maupun pekerjaan.
Nilai kognitif hari ini sangat mudah dicari, juga sangat mudah untuk diberi. Beda dengan life skills dan soft skills. Keduanya perlu diasah melalui kebiasaan, sedangkan kebiasaan yang dimaksud juga perlu berangkat dari perubahan orientasi pembelajaran.