Barangkali semua orang di dunia ini bisa dengan mudah menyalakan api. Hanya perlu cari macis, lalu api akan menyala. Atau, pergi saja ke dapur, syahdan colek-colek si kompor gas. Alhasil, si api bakal nyala juga, kan? Asalkan gas yang bersemayam dalam tabung elpiji masih ada, sih.
Meski begitu, akan berbeda situasinya ketika kita berkisah tentang "menghidupkan" api dalam proses pembuatan gula aren.
Menyalakan api itu mudah, tapi menjaga agar nyala api tetap stabil, itu yang susah. Sesusah menjaga pasangan agar tak mudah untuk selingkuh. Eh, maaf. Aku kurang fokus.
Dalam proses pembuatan gula aren, kestabilan api memiliki kontribusi yang sangat besar. Sekilas, air nira memang tidak akan pernah jadi gula aren kalau tidak dimasak.
Tetapi, walaupun sudah dimasak dalam jangka waktu 8-10 jam, belum tentu juga gula aren yang dihasilkan akan sempurna.
Mengapa kok begitu?
Karena nyala api ketika memasak air nira dalam wajan harus dijaga. Jika api terlalu besar, maka air nira akan cepat mengental tapi gagal jadi gula aren. Analoginya, mungkin sama seperti kita memanggang sate tusuk di atas api. Dagingnya gosong di luar, tapi mentah di dalam.
Sebaliknya, jika api terlalu kecil, biasanya bara dalam tungku akan sangat sedikit. Syahdan, entah butuh berapa jam agar air nira segera mengental jadi gula aren.
Sedangkan di sisi yang sama, tidak bisa juga seorang petani gula aren mengatur nyala api dengan rumus "kadang api besar, kadang api kecil dan nyaris padam". Alasannya tetap sama, gula aren akan rawan menemui kegagalan.
Maka dari itu, diperlukan seni "menjaga api" agar kegiatan memasak air nira bisa berhasil menjadi gula aren yang garing dan renyah. Berikut beberapa sajian yang bisa kubagikan:
Sedia Kayu Bakar dengan Beragam Jenis