By the way, berapa rata-rata jumlah siswa di kelasmu?
Adakah sampai 25 orang?
Atau hampir melebihi 30 orang?
Rasanya cukup bervariasi, ya. Terkadang, saking antusias dan ramainya penduduk di suatu daerah, juga berdampak pada padatnya jumlah siswa di kelas.
Bukan semata-mata karena tidak mengikuti aturan zonasi sekolah, tapi memang, sekolah di daerah tersebut yang tidak memiliki ruang kelas yang cukup, atau malah adalah sekolah satu-satunya di desa.
Pengalamanku sewaktu SD dulu, setelah naik kelas II, aku bersama selalu masuk pukul 10.00 WIB. Kami harus menunggu siswa kelas I pulang terlebih dahulu, barulah kemudian kami bisa menggunakan kelas. Barangkali, kamu dulunya juga demikian, ya?
Hingganya, kita seringkali tak bisa menyalahkan sekolah yang menampung hingga lebih dari 28 siswa dalam satu kelas. Padahal, di negara maju, rata-rata jumlah siswa perkelasnya hanya 20-25 orang.
Meski begitu, tanpa mengesampingkan banyak atau sedikitnya jumlah siswa dalam suatu kelas, rasanya belum tentu semua siswa dalam ruang berukuran 6x4 meter tersebut mendapatkan perhatian yang sama, kan?
Kebanyakan siswa yang teringat di benak guru adalah mereka yang dinilai aktif, pintar, rajin bertanya, rajin rusuh, hingga rajin cari perhatian. Sisanya? Mungkin saja ada siswa  yang terabaikan.
Sebagian siswa yang sedikit tadi bisa terabaikan karena sifat mereka yang pendiam, tidak terlalu pintar, juga tidak terlalu aktif. Terkadang, beberapa guru sampai lupa dengan namanya hingga bertanya-tanya kepada rekan lain di ruang guru.
Lebih dari itu, yang menurutku lebih "berbahaya" adalah, ada siswa yang terabaikan karena mereka dinilai tidak terlalu menonjol alias tidak tampak nilai unggul/tambahnya.
Adakah siswa seperti ini?
Ada!
Bahkan, di sisi lain, ada pula beberapa orang siswa yang sejatinya dari lingkungan keluarga memang sudah kurang mendapat perhatian.
Kita sebagai guru mungkin menebak dan menemukan fakta bahwa siswa yang seperti itu biasanya sering mencari-cari perhatian di kelas. Tapi, pada kenyataannya, tidak semua siswa berani bersikap demikian.
Ada pula siswa yang kurang diperhatikan di rumah, tapi pada dasarnya mereka juga cenderung pendiam di sekolah.
Terlebih lagi, eksistensi mereka kadang tertutup oleh sinar siswa yang serba bisa di hampir semua mata pelajaran, juga kalah tenar dengan siswa lain yang suka cari ribut dan curi-curi perhatian.
Padahal, kalau didekati sedikit lebih jauh dan lebih inten saja, sebenarnya tipe siswa yang tidak terlalu menonjol juga punya nilai unggul tersendiri. Bahkan semua siswa pasti punya nilai tersebut.
Gandenglah Siswa yang Terabaikan, Lalu Dekati Mereka dari Nilai Tambahnya
Menyikapi keberadaan siswa yang cenderung kurang menonjol di kelas, agaknya di sini perlu kita gaungkan pendekatan individual guru.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, pendekatan indivual adalah kegiatan guru dalam menghampiri siswa secara perorangan. Bisa dengan menyebut nama mereka, tapi menurutku lebih baik didekati dengan cara mendatangi meja belajarnya dengan penuh senyum.
Secara khusus, semua siswa pasti ingin digandeng, juga pasti sangat berharap untuk diperhatikan oleh guru. Terlebih lagi jika siswa yang dimaksud masih berusia SD, mereka tidak pernah bosan menuntut apresiasi.
Misal, setelah mencatat beberapa paragraf, siswa menuntut untuk diponten alias dinilai pekerjaannya.
Padahal catatan tersebut bukan latihan, tapi hinggalah siswa tersebut duduk di kelas VI, mereka masih saja menuntut gurunya agar memonten pekerjaannya. Dikasih saja lah, ya. Apalah arti sebuah nilai, toh lebih berarti perasaan mereka. Hehehe
Sejatinya siswa-siswi yang seperti itu sangat perlu digandeng oleh guru, dirangkul agar mereka merasa bahwa dirinya ada dan eksis di kelas. Bukan eksis karena mereka selalu bisa menjawab pertanyaan dengan benar, melainkan siswa tadi terlibat aktif di kelas.
Kuncinya? Seperti tadi, kalau siswa cukup aktif, dekati mereka dari keaktifannya. Sedangkan kalau siswa cenderung pendiam, dekati mereka secara personal.
Barangkali siswa tadi memang sifatnya yang pendiam, pemalu, alias ingin didatangi dulu baru kemudian merasa "terbangkitkan".
Syahdan, penting juga bagi seorang guru untuk mendekati para siswa dari nilai unggul yang dipunyai oleh siswa tersebut.
Pada dasarnya keunggulan siswa berbeda-beda, kan? Pastinya. Seperti yang kukatakan di awal tulisan ini, ada siswa yang menonjol di hampir semua mata pelajaran, dan ada pula siswa yang hanya menonjol di salah satu pelajaran saja.
Di sinilah kemudian kehebatan seorang guru diuji. Apakah seorang guru lebih dekat dengan siswa yang cenderung aktif dan menonjol di semua bidang? Jika iya, maka guru tadi perlu bertobat.
Aku dan kita semua percaya bahwa setiap siswa pasti memiliki nilai unggul alias nilai tambahnya masing-masing.
Misalnya, siswa A unggul di Matematika, tapi lemah di bidang Bahasa. Atau malah terbalik, siswa A unggul di Bahasa tapi lebih di bidang Matematika.
Hal itu tak masalah. Sungguh, sama sekali bukan masalah. Yang bermasalah adalah, ketika sang guru mendekati siswa tidak dari nilai tambah alias nilai unggul yang dipunyai.
Misal, siswa X cenderung lebih di Matematika, tapi guru dekati dirinya dari seperangkat angka-angka. Bakal susah, serius! Matematika bukanlah keunggulan siswa X, padahal siswa X sebenarnya jenius, kan?
Albert Einstein pernah berkata:
"Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid."
Semua orang jenius. Tapi ketika dirimu menilai ikan dengan kemampuannya memanjat pohon, ia akan menjalani hidup sembari percaya bahwa itu bodoh. Sama halnya dengan kambing yang dipaksa untuk terbang, hingga kucing yang dipaksa untuk balapan renang.
Terang saja pendekatan yang seperti itu adalah bahaya. Siswa nantinya cenderung akan merasa dirinya tambah lemah dan gagal. Padahal, yang gagal itu hanyalah peristiwa, kan?
Tentu saja. Siswa dan kita semua tidak pernah gagal. Ketika dirimu memasak gulai lema ikan nila dan kemudian kurang garam, yang salah bukan dirimu, tapi peristiwanya.
Yang terpenting adalah proses bagaimana cara memasak gulai yang tadinya kurang garam menjadi pas dan lezat di lidah. Pun demikian dengan siswa. yang diceritakan oleh siswa di masa depan adalah proses, bukan hasil.
Hebatnya, guru yang mendekati siswa dari nilai unggul alias kelebihan siswa biasanya akan dikenang dan teringat selalu.
Bahkan, pada hari Jumat (27/11/2020) kemarin Mas Nadiem pun mengakui kehebatan guru yang mendekati siswa dari nilai unggul yang dimiliki Sang Mendikbud.
Ya, aku sempat mengikuti hingga tuntas kegiatan virtual bertajuk live Instagram Mas Nadiem Feat Maudy Ayunda yang membahas tema "Arah Pendidikan di Indonesia".
Di tengah jalannya live IG, Mas Nadiem sempat berkisah tentang guru favoritnya, yaitu guru Bahasa Inggris sewaktu SMA.
Mas Mendikbud berujar bahwa sang guru sebenarnya keras. Tapi, di balik kerasnya guru tersebut, sang guru merasa bahwa Mas Nadiem punya bakat menulis, juga bakat menganalisa. Gurunya Mas Nadiem selalu percaya bahwa dirinya bisa lebih daripada yang sekarang.
Berangkat dari sana, Mas Nadiem berujar bahwa lama-kelamaan ia merasa believe dengan dirinya sendiri. "Sang guru selalu mem-push confident," ujar Mas Mendikbud (27/112020). Resume selengkapnya bisa baca di sini.
Berdasarkan pengakuan Mas Menteri, bukankah pendekatan siswa yang didasari atas nilai unggulnya merupakan cara mengajar yang hebat? Pastinya. Aku rasa banyak guru sudah menerapkannya. Bagi yang belum? Mulailah dari sekarang.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H