Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

PJJ, Bukti Digitalisasi Pendidikan Semestinya Bukan Sekadar Teori

10 November 2020   14:08 Diperbarui: 7 Mei 2022   22:28 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki 9 bulan belajar di tengah pandemi, setidaknya ada 5 kata kunci yang bisa kita ambil untuk mewakili sistem Pembelajaran Jarak Jauh hingga hari ini. Ada "kebosanan", "tugas maha berat", "kuota belajar", "kesenjangan" dan "adaptasi".

Kelihatannya keywords yang telah disebutkan lebih mengarah kepada dampak negatif PJJ, ya? Agaknya demikian. Semakin lama kegiatan belajar dari rumah dilaksanakan, perlahan, semakin tampak pula "aib" pendidikan yang menyebabkan wajah pendidikan Indonesia cenderung muram.

Pada dasarnya hal ini tidak bisa kita mungkiri. Walaupun istilah PJJ sebenarnya bukanlah hal yang baru secara khusus, tetap saja para pelaku pendidikan harus berjuang keras dalam hal adaptasi.

Terang saja, mengakrabkan diri dengan teknologi itu bukanlah hal yang mudah bagi para guru dan orang tua yang sejatinya "telah berumur". Mereka dulunya lahir bahkan tumbuh dewasa bersama teknologi pada zamannya, katakanlah seperti radio berbaterai, televisi, hingga HP seluler.

Berbeda dengan anak-anak kita atau bahkan para guru muda hari ini. Anak-anak yang sejatinya telah berteduh di bawah kategori generasi Z dan generasi Alpha sejak lahir sudah akrab dengan teknologi dan digitalisasi. Begitu pula dengan guru kekinian, yang syahdan dijuluki guru abad 21. (Baca juga: 9 Kompetensi Pembelajar Abad 21)

PJJ Membuka Tirai Kesenjangan Pendidikan Indonesia

Semua orang berhak berbicara dan menebar harapan yang besar dalam mewujudkan digitalisasi pendidikan, termasuklah Mas Mendikbud Nadiem Makarim sendiri. Barangkali kita punya harapan yang cukup besar dengan Sang Menteri muda yang visioner ini.

Terlebih lagi dengan ditetapkannya program digitalisasi sekolah sebagai salah satu program prioritas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 2021.

Kemendikbud menerangkan bahwa digitalisasi sekolah yang dimaksud tidak sekadar pengadaan alat elektronik, melainkan juga menghadirkan suatu platform di mana para guru bisa dengan mudah mengunduh kurikulum dan memilih kurikulum dalam bentuk modul.

Syahdan, baru-baru ini Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbud, Jumeri menuturkan bahwa untuk tahun depan anggaran digitalisasi sekolah mencapai Rp3 triliun yang difokuskan untuk beli laptop.

Terang terlihat bahwa ini adalah harapan. Kalau boleh kita bilang, kalau tidak ada PJJ, mungkin program penambahan anggaran untuk sekolah 3T belum tentu jadi prioritas.

Bagaimana tidak, di era pendidikan sebelum pandemi tiba, hubungan antara teknologi dengan proses belajar-mengajar tidak begitu akrab. Kedekatan antara teknologi dan pendidikan masih sebatas teori yang tertuang dalam sebuah mata kuliah.

Alasannya jelas, karena di masa normal, teknologi pendidikan bukanlah sebuah tuntutan. Toh, kemarin kita disibukkan dengan sistem full day school, kan?

Ya, pemerintah sibuk menetapkan durasi belajar tatap muka dan jatah libur. Sedangkan para orang tua harus mendesain ulang antara pekerjaan dengan waktu untuk menjemput anak-anak mereka. Coba PJJ sudah akrab di zaman itu, pasti keren!

PJJ adalah Bukti Bahwa Digitalisasi Pendidikan Semestinya Bukan Sekadar Teori

Digitalisasi pendidikan adalah teori belaka? Bisa jadi. Terlebih lagi pada momentum kekagetan Mas Nadiem tentang kesenjangan pendidikan di awal pandemi kemarin. Mas Mendikbud terkejut karena masih ada sekolah yang tidak teraliri listrik, juga tidak bersinyal.

Gara-gara itu, harapan digitalisasi pendidikan seakan jadi tabu karena Mas Menterinya sendiri masih buram dengan seberapa besar jarak kesenjangan kualitas pendidikan antara pusat dan daerah.

Alhasil, bagi sekolah yang jauh di sudut sana, semakin jelaslah bahwa digitalisasi pendidikan hanya sekadar teori bagi mereka.

Lalu, bagaimana caranya agar PJJ bisa dijadikan bukti bahwa digitalisasi pendidikan harus menghapus kesenjangan? Yang jelas, tidak cukup hanya sekadar mindset dan konsep sederhana.

Beberapa waktu yang lalu Mas Mendikbud sempat menuturkan bahwa salah satu konsep sederhana mengenai reformasi pendidikan di bidang kurikulum adalah memberikan kemerdekaan kepada guru-guru untuk mengajar pada level yang cocok dengan muridnya.

Mindset mengajar berdasarkan level kebutuhan belajar siswa memang penting, tapi ketika kita mengaitkannya dengan percepatan digitalisasi pendidikan di sekolah, maka level "kemengertian" belajar siswa di "sekolah berteknologi" akan jauh berbeda dengan mereka yang berada di sekolah pelosok.

Dengan demikian, hal penting yang perlu dipikirkan adalah bagaimana caranya agar kehadiran dan percepatan digitalisasi pendidikan itu tidak malah membuat kesenjangan pendidikan semakin lebar.

Untuk itulah, harapan percepatan digitalisasi pendidikan di sekolah 3T perlu dibarengi dengan pemetaan khusus sembari berkoordinasi dengan dinas pendidikan daerah setempat. Soalnya, sekolah 3T sendiri memiliki beragam kekurangan yang saya kira tak dapat disama-ratakan.

Misalnya, sekolah A gedungnya baru direnovasi, tapi akses sinyal belum ada. Sekolah B, siswanya sangat sedikit, dan ruang kelas masih bersekat. Sedangkan sekolah C, akses jalannya masih sangat sulit untuk dilalui oleh kendaraan.

Akses jalan beberapa teman guru saya ketika hendak menuju ke sekolah. Butuh waktu lebih dari 1 jam  untuk melaluinya. (Dok. Grup WA Guru Kepahiang)
Akses jalan beberapa teman guru saya ketika hendak menuju ke sekolah. Butuh waktu lebih dari 1 jam  untuk melaluinya. (Dok. Grup WA Guru Kepahiang)

Berdasarkan kompleksnya kebutuhan masing-masing sekolah 3T, agaknya belum tentu sekolah tersebut merasa "perlu" dengan hadirnya bantuan berupa laptop maupun akses kurikulum digital.

Ini fenomena di lapangan, yang berarti bahwa kebijakan yang diberlakukan tidak melulu bisa disama-ratakan.

Akhirnya, untuk mewujudkan digitalisasi pendidikan yang bukan sekadar teori, jangan kurikulum dan gaya mengajarnya saja yang diarahkan kepada kebutuhan siswa. Kebijakan pendidikan juga perlu diarahkan menurut kebutuhan dari masing-masing sekolah terkait.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun