Tidak butuh waktu lama bagi Mas Nadiem untuk mendinginkan air panas dalam gelas yang bernama Program Organisasi Penggerak (POP). Hanya berselang beberapa hari dari mundurnya 2 ormas besar Muhammadiyah dan NU, serta PGRI, sang Mendikbud langsung minta maaf.
"Dengan penuh hati yang rendah, saya memohon maaf atas segala ketidaknyamanan yang timbul dan berharap agar organisasi besar ini memberikan bantuan terus menerus dalam proses pelaksanaan program, yang kami sadari betul masih jauh dari sempurna."
Begitulah ujar sang Mendikbud seperti yang dilansir dari laman resmi Kemendikbud (28/07/2020)
Dari sini, ada 2 kata yang patut kita sampaikan untuk Mas Nadiem, yaitu "rendah hati." Beliau tak banyak berkelit, apalagi sampai emosi dan menghujat karena nyatanya ada yang janggal dari POP. Memang, harus dengan kepala dingin dalam menghadapi persoalan di negeri ini.
Sebagai didikan perguruan luar negeri, kiranya Mas Nadiem cukup lama berpetualang di negara orang. Beliau orang bisnis, punya ijazah yang bergelar Master of Business Administration, dan dekat dengan teknologi.
Karena kesibukannya di dunia bisnis, Mas Nadiem tidak sempat singgah dalam hingar-bingarnya dunia partai politik. Yang beliau tahu dan tekuni adalah soal inovasi, teknologi, hingga enterpreneurship.
Karena semalam beliau sudah minta maaf, tampak ada salah satu prinsip bisnis yang Mas Nadiem tuangkan. Yaitu, standar etika yang berlaku sesuai dengan budaya di bumi Indonesia. Lagi, ucapan minta maaf lebih diapresiasi daripada harus berkelit tanpa dalil.
Darinya, publik pasti mengira bahwa Kemendikbud sejatinya butuh dengan kontribusi Muhammadiyah, NU, serta PGRI. Memang benar, sangat butuh malah! Secara, sejarah telah membuktikan bahwa ketiga organisasi ini punya banyak jasa terhadap pendidikan Indonesia.
Maka dari itulah, keterlibatan mereka dalam implementasi POP sangat dibutuhkan untuk membuka ruang gerak Mas Nadiem dan Kemendikbud. Makin luas ruang gerak, maka makin banyak pula buah yang bisa dipetik, dan sikap gotong-royong reformasi pendidikan akan tercipta.
Jadi, ya, ketika POP dianggap janggal dan prematur, anggap saja Muhammadiyah, NU serta PGRI sedang mencurahkan perhatiannya kepada Mas Nadiem. Tepatnya, perhatian untuk kemajuan pendidikan.