Hari itu, dia yang berseragam putih biru berjalan dalam kesendirian. Tidak ada kawan. Tidak ada keramaian. Hanya ada hasrat ingin yang bersemayam dalam tas gendong berwarna cokelat kebiruan.
Kata orang-orang, dialah si pejalan yang berseragam sunyi. Kataku juga demikian. Tambahku, dialah juga si pejalan hebat itu. Dia beruntung karena selalu diantar oleh sang peneduh hati, pemenuh kecintaan.
Setelah berkilo-kilo membuang gas pembakaran, sampailah dia di pucuk pengharap. Kuberitahu, dia tetap sendirian. Temannya kali ini ialah bangku-bangku kosong.
Tepat di depan majalah ilmu, dia duduk di bangku paling depan. Persis menghadap kepada kesunyian. Sesaat setelah dia duduk, datanglah sang teladan yang memberi salam dan kemudian bertanya:
"Mengapa kamu tetap berseragam sunyi, padahal kalender hari ini sudah berganti dengan yang baru?"
Si pejalan tetap dalam diamnya. Sunyi yang menjawab dan memberitahu kepada sang teladan bahwa majalah ilmu tak ada di rumah. Majalah ilmu hanya ada di hadapan bangku kosong. Tepat di depan pandangannya.
Syukur, sang teladan mau memaklumi dan rela hati. Si pejalan tetap berseragam sunyi karena tak punya banyak rupiah untuk menyeberang ke bangku maya.
Apakah sang nahkoda sudah tahu kisah ini?
Jangan tanya tentang apakah. Sang nahkoda sedang sibuk menjulurkan kail ke benua.
Dan, jangan pula tanya tentang kapan. Nanti si pejalan kian terluka. Biarlah dia tetap berseragam sunyi sementara ini. Kita hanya perlu berbangga.