Dari mulai terbit hingga terbenamnya surya, kami lihat betapa lesunya wajah pendidikan di negeri tercinta. Buih-buih kegundahan tampak berseliweran di atas kapal tua Merdeka Belajar yang nyaris karam.
Kami tebak, kesamaran kebijakanlah yang melubangi kapal tua itu. Kebijaksanaan terlalu dini, bagaimana mungkin bisa menggapai sebuah keniscayaan. Ternyata, nahkoda baru belum begitu kekar melawan badai.
Dan, ingin kami tebak lagi bahwa harapan tanpa arahlah yang menghadirkan tangisan jiwa-jiwa pengharap.
Tangisan itu kian riuh. Padahal yang dituntut hanyalah kemerdekaan berbaju putih abu-abu, berbaju putih biru, berbaju putih merah, yang berkalungkan Tut Wuri Handayani.
Bolehkah kami tebak lagi?
Sayangnya kami bukanlah teropong yang mengagumi bintang kecil dari kejauhan. Kami pula bukan pengagum harapan-harapan fana. Kami hanyalah pengharap nirwana dan penyuka senyum-senyum indah generasi penerus bangsa.
Jadi, manakah janjimu tentang nirwana, duhai nahkoda?
Kami mulai nyanyang berlayar bersamamu di dalam perahu Merdeka Belajar. Kami takut engkau lupa arah. Kami takut kami karam. Sedangkan kami belum tahu entah kapan engkau tawarkan nirwana.
Mungkin dan puguh. Harus engkau temui dulu sang nirwana itu. Selagi engkau mencari, ajak-ajaklah kami.
Dulu nirwana yang engkau sajikan di awal tahta itu sangatlah indah. Tapi, apakah itu cukup?
Sayangnya kami tambah pedih bila harus memakan niscaya yang berlaukkan janji. Dan maaf, kali ini kami tak mau banyak makan lagi. Kami hanya ingin kepastian. Kepastian tentang kapan engkau temui kami dengan nirwana.