Jengkel, kesal, sedih, kecewa, dan marah, begitulah kiranya ekspresi Pak Jokowi di hadapan para menterinya pada 18 Juni 2020 lalu. Hari ini, 12 angka sudah menjauh dari kalender dan kita sebagai rakyat baru melihat kemarahan Pak Presiden tercinta ini.
Kadang, ingin pula kita bertanya mengapa kok video ini baru diposting setelah dipendam selama 10 hari, mengapa kok Pak Jokowi baru terdengar marahnya, dan apa saja yang telah dilakukan kabinet kerja Pak Presiden selama 10 hari itu. Tapi?
Sejauh mata ini memandang dan seluas alam pikir kita yang berlabuh, nyatanya kemarahan Pak Jokowi menghadirkan berbagai rasa dan dugaan. Sebagai rakyat yang cinta Indonesia, sudah pasti rasa awal yang hinggap di perasaan kita adalah empati, peduli, dan mendukung.
Tapi, karena yang berbicara adalah orang nomor 1 di Indonesia, maka banyak pula dugaan yang muncul. Mulai dari dugaan pengalihan isu, peluang reshuffle kabinet, sengaja membuka aib pemerintah, hingga tebakan bahwa kemarahan Pak Presiden sudah berada di level tertinggi pun ada.
Terang saja, dugaan-dugaan dan perasaan ini tidak akan lahir andai seluruh sektor di negeri ini mampu berdiri tegak di tengah kibasan pandemi. Tapi karena kenyataannya berbicara lain, maka jadilah kewajaran bahwa Pak Jokowi akan marah.
Kenyataan yang paling terang kemilaunya adalah angka-angka kasus covid-19 yang terus menjulang nominalnya. Ibaratkan air yang merembes ke sebuah tisu, wabah jahat ini menjalar ke berbagai sektor mulai dari kesehatan, ekonomi, wisata, pemerintahan, hingga pendidikan.
Maka dari itulah, sangat bagus bila kemudian ada sindir-menyindir bahkan kemarahan dari Pak Jokowi. Tapi, kalau sudah diekspos ke publik, apakah ini elok?
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai, tidak elok Presiden Jokowi melempar spekulasi reshuffle kabinet dengan memublikasikan video tersebut.
Gara-gara dimunculkan spekulasi tersebut, perhatian para menteri justru tertuju pada upaya mengamankan posisinya masing-masing. Lalu, apakah upaya ini negatif?
Terlepas dari "ancaman" reshuffle ini, tetap saja tugas para menteri yang sempat disebut oleh Pak Jokowi harus dilaksanakan secara extraordinary.