Pertama, kita berikan ucapan "Selamat dan Sukses" kepada mantan Staf Khusus Mendikbud Bidang Pembelajaran, Pak Iwan Syahril yang sudah dilantik secara daring menjadi Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK), pada Jumat (08/05/2020).
Setiap pergantian pemimpin, pasti ada nuansa baru yang akan tercipta di hari esok. Apa lagi ini zaman milenial, juga dengan pemimpin yang milenial pula. Bolehlah kiranya kita menitip asa alias harapan untuk pendidikan yang lebih baik, khususnya dari sisi kompetensi GTK.
Namun, sebelum kita sampai kepada tuangan asa dan harapan untuk kemajuan pendidikan, ada baiknya Pak Iwan kita "serang" alias suguhi dengan kenyataan guru di lapangan yang butuh aksi pembenahan secara mendesak.
Secara, sebagai mantan Tim Ahli Badan Akreditasi Nasional Sekolah Madrasah (BAN-SM) Kemendikbud, Pak Iwan telah mengambil beban berat untuk segera bertindak secara nyata. Julukan milenial untuk pemimpin memang cukup keren, tapi lebih keren lagi jika ada aksi.
"Serangan" Kenyataan pertama, Pak Iwan sudah dihadapi dengan ancaman gelombang guru PNS yang pensiun. Ancaman ini datang dari mulut Ketum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ramli Rahim.
Pak Ramli membeberkan data bahwa dalam kurun waktu 4 tahun ke depan, negeri ini akan mengalami lonjakan jumlah guru pensiun yang tidak sedikit. Tambah lagi, saat ini kenyataan kurangnya guru makin rumit karena 60 persen guru berstatus non-PNS.
Saat memperhatikan kembali jumlah guru pensiun yang menembus angka puluhan ribu dalam waktu 4 tahun ke depan, agaknya gelombang ancaman ini cukup meresahkan eksistensi pendidikan kita. Apalagi tahun 2022, itu jadi puncak pensiun guru.
Berdasarkan diskusi kecil di grup Forum Guru yang saya baca, adanya ancaman guru PNS pensiun yang membludak ini disebabkan oleh perekrutan besar-besaran pada periode 1979-1985.
Artinya, dalam waktu dekat sekolah-sekolah yang tersebar di seluruh penjuru bumi Indonesia butuh pasokan guru, terutama di daerah 3T. Pertanyaanya, apakah pemerintah sudah siap untuk menggelontorkan banyak dana demi mencukupi kebutuhan guru di lapangan?
Benar sekali jika kita katakan bahwa dari data di atas, ada ketidak-seimbangan rasio antara perekrutan guru dengan data guru yang pensiun. Namun, karena kenyataan ini sudah membuat kita kepalang basah, mau tidak mau Pak Iwan mesti ikut menjalin koordinasi lebih gencar.
Secara, fenomena kekosongan guru di sekolah bukanlah sesuatu yang bisa ditunda, apalagi hingga bertahun-tahun. Keberadaan guru honorer mungkin bisa menjadi pelapis dan pengganti sementara. Tapi, jika sudah kebanyakan, apakah anggaran pembiayaan di sekolah bisa bertahan?