Jika dihitung dari akhir Oktober 2019 kemarin sampailah bulan ini, berarti Mas Nadiem sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sudah memasuki 6 bulan masa kepemimpinan. Andai kita sandingkan dengan umur jagung manis, rasanya sudah bisa panen 2-3 kali.
Begitu pula dengan ragam kebijakan yang Mas Nadiem telah lahirkan. Kebijakan Merdeka Belajar saja sudah dirilis sampai 4 episode. Saya sebut saja episode 4, yaitu "Program Organisasi Penggerak" yang melibatkan berbagai sekolah dan organisasi masyarakat.
Dari masing-masing episode Merdeka Belajar ini, sebagian darinya sudah cukup terasa dan sampai ke masyarakat. Misalnya saja, penghapusan Ujian Nasional (UN). Bahkan, UN dihapuskan lebih cepat dari jadwalnya dengan "bantuan" virus Covid-19.
Misalnya lagi, kebijakan menaikkan anggaran serta memberlakukan 50% Dana BOS untuk kesejahteraan guru honorer. Sedangkan kebijakan-kebijakan lain mungkin akan segera menyusul, tepatnya setelah situasi dan kondisi negara Indonesia sudah aman dari wabah ganas.
Tunggu, sepertinya ada yang kurang! Menggali kembali pernyataan Mas Nadiem di akhir tahun 2019, beliau pernah berjanji akan menyampaikan Blue Print alias cetak biru pendidikan dalam waktu 6 bulan jabatannya.
"Blue print untuk ke mana ini arah pendidikan sudah dibuat tapi ini tidak bisa tergesa-gesa ya. Membutuhkan benar-benar (waktu) karena kita sudah banyak materi, riset, tapi harus dikemas suatu strategi."
Begitulah ucap Mas Nadiem pada acara temu media di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Senin (23/12/2019). Beliau menerangkan bahwa dalam 6 bulan blue print sistem pendidikan sudah selesai di tahap draft.
Jadi, tepat di awal bulan Mei 2020 mestinya cetak biru pendidikan sudah siap papar. Ini harapan, dan sebenarnya harapan ini sudah sejak lama digaungkan oleh penduduk bumi Indonesia.
Terang saja, pelaku pendidikan sudah cukup kesusahan atas adanya fenomena "Ganti Menteri Ganti Kurikulum." Entah apa maunya pemerintah, sedikit-sedikit berubah kurikulum, dan sebentar-sebentar minta ganti kurikulum.
Ucapnya untuk peningkatan mutu dan kualitas, tapi kenyataannya kualitas malah tambah bobrok. Buktinya? Banyak sekali kasus-kasus perundungan serta pelecehan seksual yang menimpa para pelajar sejak awal tahun 2020, sampailah hari ini.
Padahal, kurikulum yang kita jalankan sekarang adalah Kurikulum 2013 berbasis penguatan karakter, tapi mengapa malah karakternya tambah bobrok. Apa mungkin kurikulum ini keberatan nama?