Wabah coronavirus masih mendulang, bahkan hingga saat ini tidak sedikit dari kita yang dilanda kepanikan. Barangkali kali takut adalah sikap yang wajar, tapi jika sudah ketakutan agaknya sudah melanggar kewajaran dari sebuah sikap.
Ketakutan akan menghadirkan suatu kekhawatiran yang menjulang, dan kemudian hidup kita tidak tenang dibuatnya. Mau seperti ini, takut. Ingin seperti itu, terlalu khawatir. Akhirnya, jiwa positif thinking perlahan tergerus oleh pesimistis yang berlebihan.
Tidak usah terlalu jauh mundur ke masa lalu, akhir Maret kemarin misalnya. Penduduk bumi Indonesia sempat dihebohkan oleh kisah pilu seorang jenazah yang positif corona.
Yang membuatnya heboh adalah, jenazah ini sempat tertahan di mobil ambulans selama 24 jam karena ditolak warga dan pihak Krematorium di Kecamatan Kawalu, Kota Tasikmalaya. Begitu takutnya warga, hingga membiarkan ambulans lewat saja tidak disuruhnya.
Kita patut miris dengan kekhawatiran berlebihan yang ditunjukkan warga ini. Padahal, setiap orang yang meninggal ingin cepat-cepat kembali ke tanah. Apalagi jika jenazah merupakan pasien positif corona, maka dalam kurun waktu 4 jam jenazah segera dan harus dikuburkan.
Tapi, apalah daya. Logika seakan tertanam dengan hasrat ketakutan karena takaran info yang berlebihan telah mengasinkan pikiran. Bayangkan bila kemudian hasrat takut ini menyerang orang-orang awam yang sejatinya cepat mengaduk info, maka semakin tidak tenanglah hidup.
Untuk itulah, sebelum terjerumus lebih dalam ke sumur wabah kepanikan dan ketakutan yang berlebihan, kita perlu mengetahui takaran-takaran hidup agar tetap tenang menghadapi persoalan. Takaran ini harus pas, jangan kemanisan dan jangan pula keasinan.
Terang saja, saat kita memasak sambal dan kemudian rasanya keasinan, maka tidak sedaplah sambal itu menggerayangi lidah. Begitu pula dengan tuangan kopi hitam yang terlalu banyak gula. Bukannya ingin menikmati kopi alias ngopi, malah nggula alias minum gula. Hihihi
Baiklah, barangkali 4 takaran ini cukup pas untuk mendapatkan ketenangan hidup: