Yang Kaya Makin Kaya, Yang Miskin Makin Tercekik
Kiranya seperti inilah kalimat sederhana yang bisa mewakili kehidupan semua orang hari ini. Di saat harga kebutuhan pokok menggila, kata sibuk juga ikut-ikutan gila. Semua kesibukan seakan diorientasikan kepada kesenangan perut. Uang, makan dan kenyang.
Tidak heran jika di pinggir-pinggir jalan ditemukan banyak makanan sisa, roti yang sudah keduluan dimakan isinya, minuman segar yang tinggal setengahnya, hingga lauk-pauk yang sudah basi karena tercampur dengan santan beserta sambalnya.
Sedih kadang-kadang, jika menyusuri jalan malah hal-hal seperti itu yang ditemukan. Sudah sedih, kemudian bingung mau menyalahkan siapa.
Para pemulung tiada mungkin akan makan sisa, terlebih lagi jika makanan itu sudah basi. Mereka juga tidak tahu siapa yang kekenyangan hingga semena-mena membuang nikmat. Mestinya untuk bagi-bagi, bukan sekadar dimakan sendiri dan setelah itu dibuang.
Andai saja pihak-pihak yang kekenyangan tadi keburu sadar sebelum mereka makan, agaknya makin berkuranglah orang miskin yang tercekik di negeri tercinta ini.
Orang Miskin Bukannya Tidak Mau Bekerja, Tapi...
Tiada yang salah dengan keberadaan orang miskin. Mereka baik-baik saja, dan eksistensinya tetap dihitung dalam sensus penduduk. Artinya, mereka terdata secara legal. Hanya saja, sulit mendeteksi mana orang yang benar-benar miskin, dan mana orang yang pura-pura miskin.
Terang saja, tidak sedikit orang yang rela dicap miskin hanya untuk mendapatkan gas melon 3 kg, mendapat bantuan beras dan sembako di desa. Entah di mana urat malunya terjepit hingga susah membuat saluran darah peduli untuk mengalir dengan lancar.
Padahal, orang-orang yang benar miskin masih kuat dan semangat untuk bekerja. Namun, apakah lapangan kerja hari ini sudah bisa menaungi orang-orang miskin?
Kehadiran ojek online misalnya. Profesi ini sungguh menguntungkan dan membuka lapangan pekerjaan besar bagi banyak orang. Tapi, bukankah profesi ini hanya untuk orang-orang yang punya kendaraan saja?