"Syukurlah, akhirnya orderan pempek dari Ibu Wati sudah sampai. Semoga suka ya, Bu! Jangan bosan belanja di lapak kami..."
Rasanya hampir setiap hari kita temui postingan seperti ini di media sosial. Entah itu terlihat di story Facebook, Instagram, Whatsapp, Twitter maupun media online lain, semuanya muncul bertumpuk-tumpuk setiap menitnya.
Barangkali, beberapa orang yang sejatinya sering kepo dengan story pernah menemui titik kebosanan karena berkali-kali harus melihat suguhan dagangan teman.
Ada yang mengumbar testimoni, promosi barang baru, memberitakan pindah lokasi, hingga diskon-diskon yang menggoda. Kadang, beberapa darinya malah memusingkan dan mengajak jempol ini untuk segera menutup laman media sosial atau mencari story teman lain.
Dari sini ada ketakutan tersendiri bagi sebagian pegiat usaha. Jangan-jangan nantinya mereka terlalu banyak mengumbar postingan. Jangan-jangan nanti sebagian netizen menganggapnya spam dan dihampiri komentar unfaedah.
Dan, jangan-jangan pandangan orang malah merendah hingganya pedagang tadi merasa turun wibawa.
Terang saja, tidak semua sarjana yang tamat hari ini bisa segera dapat pekerjaan yang mensejahterakan. Ada banyak dari mereka yang berlabuh asa sebagai honorer, kontraktor, dan tidak sedikit pula yang membuka usaha dagang. Modalnya? Nekat, sembari abai dengan gengsi.
Namun lagi-lagi modal nekat seseorang untuk berlabuh menjadi pegiat usaha dagang sering pula tergerus oleh gengsi. Malu dengan keadaan dirinya, dan malu saat membandingkan dirinya dengan sarjana lain yang hari ini sudah jadi honorer keren.
Medsos Punya Potensi Besar Mengembangkan Usaha Dagang
Beberapa hari yang lalu saya pernah ditanya oleh seorang rekan lama yang hari ini selalu giat mengembangkan usaha pempeknya.
Kami dulunya berteduh di ruang kerja yang sama, yaitu sebagai honorer di sekolah. Namun, gejolak hidup agaknya membuat rekan saya menambah asa dengan membuka kedai pempek di dekat rumahnya.