Seorang guru pasti bahagia jika siswanya berdedikasi, aktif dalam belajar, memunculkan banyak jawaban, panjang akal, terbuka dengan pengalaman baru, hasrat keingintahuan yang besar, hingga kemauan untuk terus meneliti.
Lagi-lagi kembali kepada literasi di mana siswa mesti banyak baca, banyak tahu informasi agar pemikiran mereka tidak terbelenggu dengan isi buku semata. Media digital sebenarnya akan berperan sangat penting di sini, tapi apa daya sekolah 3T.
Namun, terlepas dari itu semua setiap sekolah 3T tetap bisa memajukan dirinya dengan meninggikan Local Wisdom alais kearifan lokal. Pendidikan abad 21 juga memprioritaskan skill bekerja, hingganya masing-masing sekolah dapat memaksimalkan potensi siswa demi kemajuan daerahnya.
Sederhananya, paradigma belajar abad 21 adalah mengalami dan merasakan. Siswa belajar, bukan lagi diajar. Ketika siswa mengalami dan merasakan sebuah pembelajaran, mereka dapat memahami sesuatu hal karena manfaat yang telah mereka rasakan.
Sekolah 3T mampu untuk menghadapi ini walau dengan keterbatasan-keterbatasan yang hari ini mereka miliki. Bahkan, keterbatasan itulah yang bisa menjadi dalil utama untuk lebih berkembang dan tidak lembek dengan situasi.
Jika melulu menunggu penyetaraan, entah sampai kapan. Toh, kebijakan bisa saja berubah-ubah tapi dampaknya belum tentu semudah download, install, lalu upgrade aplikasi. Tetaplah mewujudkannya dari hal-hal yang sederhana.
Sumber bacaan. Learning and Innovation 4Cs
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H