Sesuatu yang jika dirasakan begitu banyak menderita daripada bahagianya, itulah namanya hidup. Karenanya, tidak sedikit orang yang berkesusahan dan mengeluh berkepanjangan dalam menjalankan proses pengambilan napasnya. Saat senang, santai dan susah, selalu hadir masalah.
Apapun masalah bertamu. Entah itu soal aturan yang terus berubah, tentang kebijakan yang kiranya mengganggu kenyamanan, tentang rencana yang berkali-kali gagal, hingga tentang musibah yang datangnya tiba-tiba semuanya serasa memberatkan.
Dari sini, kadangkala seseorang hampir putus asa menghadapinya. Diri yang rasanya mau tumbang ini butuh penguatan, motivasi dan nasihat. Walaupun penguatan ini bisa berasal dari siapa saja, tapi kecenderungan penasihat terbaik adalah diri sendiri.
Motivasi dan nasihat yang datang dari diri sendiri sontak bisa mengubah keluh seseorang menjadi semangat untuk menghadapi hidup. Namun, jika harus menunggu diri sendiri sadar entah kapan juga! Sejadinya, perlu orang lain yang turut memberi nasihat.
Siapapun itu. Baik orangtua, keluarga, tetangga, ulama, bahkan orang yang baru dikenal pun bisa memberikan nasihat. Sayangnya, nasihat yang baik kadang berat hati untuk diterima terlebih lagi jika nasihat itu berasal dari orang yang biasa-biasa saja.
Bukannya mendengar dan menerima nasihat, malah ngomel tidak keruan "Ahh, kamu bisa ngomong saja. Terserah aku, lah!" Kenapa? Apakah organ tubuh yang bernama hati itu sudah banyak lumutnya?
Bahkan, jangankan orang-orang biasa tanpa jabatan dalam kehidupan. Ulama A saja jika berbeda persepsinya dari dengan ulama B, belum tentu nasihatnya akan didengar oleh pengikut ulama A. Apakah hati itu semakin sempit?
Padahal apapun nasihat yang baik harus didengar dan diterima, kan? Mestinya demikian, dan sudah seharusnya seperti itu.
Mereka Pernah Mengalami Masalah  yang Sama
"Sudah keduluan makan garam", kiranya kalimat ini cocok untuk mewakili para penasihat dadakan. Barangkali beberapa darinya bukanlah orang hebat, bukanlah sarjana berstrata tinggi, pemangku adat, dan bukan pula penyuluh agama.
Mereka hanyalah orang-orang biasa yang tidak terlalu terang eksistensinya, namun cukup baik dalam berbagi saran.
Salah satu contohnya, tentang kisah teman saya yang ternyata "salah" dalam memilih pasangan hidup. Sebut saja namanya Cinta (samaran). 2 hari yang lalu beliau bercerita kepada saya tentang kandasnya rumah tangga karena sang laki-laki berselingkuh.
Setelah bercerita lebih lanjut, ternyata sang laki-laki sebenarnya bukanlah orang yang jahat. Bahkan, pengetahuan agamanya cukup dalam. Tapi, setelah beberapa tahun berjalan barulah ketahuan bahwa laki-laki tadi tersesat dalam ibadah.
Tambah lagi dengan godaan dunia, akhirnya selingkuh bahkan berzina dengan perempuan lain. Bayangkan saja, saat itu Cinta baru saja melahirkan anak pertamanya. Sungguh, jadi trauma yang luar biasa.
Hal ini jadi pelajaran penting bagi semua orang dalam memilih dan mengenali pasangan, terutama bagi mereka yang ingin segera menikah. Tidak tergoda dengan harta semata, kedudukan, serta kecantikan yang membutakan. Bahkan seperti kasus Cinta tadi, agama malah dijadikan dalih dan tebengan hawa nafsu.
Dan nyatanya, Cinta bukanlah orang hebat. Ia hanyalah orang biasa yang sudah mengalami masalah. Lumrah kiranya ia akan berbagi kepada teman, sahabat, dan keluarga agar tidak salah dalam memilih pasangan hidup.
Jika seseorang yang dinasihati hanya memandang Cinta sebagai orang biasa, agaknya intisari nasihat ini akan termentahkan dengan alasan "Ah, sok tahu!" dan "Bagaimana mungkin!".
Mereka Peduli
Siapa saja yang pernah singgah dan menasihati kita, baik itu orang yang baru dikenal sekalipun merupakan sebagian kecil orang-orang yang peduli dengan kita.
Seseorang yang dulunya atau beberapa saat yang lalu punya masalah dan memberitahu kita tentang masalah itu, bukankah itu jadi melegakan dirinya? Terlebih lagi dengan saran-saran hidup yang ia berikan, mestinya bisa kita ambil dan renungkan baik-baik.
Tidak jarang, masalah-masalah hidup itu adalah hal-hal sederhana yang tidak ada di bangku sekolah. Misalnya seperti cara menyambut tamu, cara menyusun hidangan, cara berbicara kepada atasan, cara membuat kop surat dan sebagainya.
Sebagian orang tentu saja akan merasa cukup pintar dengan hal-hal sederhana ini dengan mengatakan "Ya, aku lebih tahu. Diamlah!". Tapi, bukankah hal itu akan menjadikan mereka sok hebat dan malah menyakiti hati sang penasihat dadakan?
Maka dari itu kiranya kita dapat mengasah diri kita agar tulus menerima semua saran, perkataan dan nasihat yang baik. Tanpa hinaan, tanpa cibiran, tanpa meremehkan siapa mereka dan dari mana asalnya. Â Â Â Â Â Â Â Â
Siapa saja boleh sampaikan, tidak melulu harus menunggu jadi ulama dan tokoh agama. Nasihat yang baik, disampaikan dengan baik, dan diterima dengan baik.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H