Jabatan idaman? Kiranya semua orang punya takaran dan ukuran masing-masing tentangnya. Persepsi awal, barangkali jabatan idaman selalu mengarah ke puncak tertinggi dalam suatu kantor atau instansi.
Jika itu sekolah, maunya menjabat sebagai kepala sekolah. Jika itu universitas, inginnya menjabat sebagai rektor utama. Jika itu perusahaan, hendaknya bisa jadi direktur atau manager. Dan jika itu usaha sendiri, hasratnya jadi bos. Â Begitu bahagia rasanya jika bisa menempati posisi tertinggi dari bidang pekerjaan kita.
Namun persepsi kemudian, tidak semua orang menganggap bahwa jabatan idaman haruslah posisi tertinggi dalam suatu pekerjaan. Hal ini tidak lepas dari pertimbangan ketatnya persaingan, resiko dan beratnya tanggungan, hingga tak mau keluar dari zona nyaman.
Jika itu sekolah cukuplah jadi guru biasa, maksimalnya jadi wakil kepala sekolah saat situasi terdesak saja. Jika itu universitas cukuplah jadi dosen sekaligus staf administrasi tertentu di kantor, maksimal jadi kepala sub bagian. Begitu pula dengan bidang-bidang pekerjaan lainnya.
Mengapa demikian? Perbedaan arah dan paradigma tentang puncak karir ini juga muncul karena pengalaman-pengalaman pimpinan masa lalu.
Ada pemimpin yang sangat baik namun kurang disiplin, hingga terkesan lalai oleh para bawahannya. Ada pemimpin yang begitu permisif, hingga terkesan tidak peduli dengan amanahnya. Dan, ada pula pemimpin yang sukanya terus mengatur bawahan, hingganya hanya menghadirkan kesal yang bertumpuk bagi bawahannya.
Gara-gara hal ini, bawahan akan punya persepsi yang macam-macam terhadap jabatan idaman itu. Tidak enak jadi kepala sekolah, rawan fitnah dan dimusuhi guru-guru. Tidak enak jadi direktur, banyak tuduhan dan cap-cap buruk dari karyawannya. Tidak enak jadi DPR, karena khawatir dihina masyarakat. Serta tidak enak yang lainnya.
Jabatan Idaman Jangan Dinodai
Bahayanya, persepsi buruk tentang perilaku orang yang menduduki jabatan tertinggi dalam suatu instansi malah akan menodai merek jabatan itu sendiri. Lagi-lagi ini mengarah kepada kepercayaan publik, reputasi instansi itu akan semakin baik atau malah bobrok.
Jika instansi semakin baik, maka sorotan pertama pandangan publik adalah tentang siapa yang menduduki jabatan tertinggi di instansi itu. Reputasi instansi naik, reputasi pemimpin instansi baik, dan reputasi jabatan tertinggi juga akan mantap.
Dari sinilah lahir yang namanya jabatan idaman dalam sebuah instansi. Publik akan mengkhayal:
"Beruntung sekali ya jika suatu saat saya bisa menduduki jabatan A. Toh, instansinya keren dan memiliki kontribusi besar terhadap masyarakat."
Sebaliknya, jika reputasi instansi bobrok dan biang talasnya adalah pemimpin tertinggi di instansi itu, maka secara otomatis merek jabatan idaman juga akan ternodai.
Entah itu karena pimpinannya korupsi, terkena kasus narkoba, perselingkuhan, perkelahian di ruang kerja, Â maupun dipetisikan untuk lepas jabatan semuanya akan berdampak pada pandangan publik dan hasutannya aneh-aneh.
"Ah, jadi kepala sekolah di instansi A ya? Awas nanti kena kasus seperti yang kemarin itu, loh!"
"Lah, sekarang dia jadi anggota dewan ya? Pasti banyak omzet tuh, tapi ya jangan korupsi lagi aja, sih!"
"Ah, instansi itu ya. Namanya aja bagus, visinya aja bagus. Tapi, isinya bejat-bejat semua!"
Padahal tidak semua, padahal yang salah etika hanya pimpinannya, padahal hanya untaian kisah lalu, dan padahal belum tentu terulang kembali. Tapi, namanya juga publik. Mereka juga tak kalah hebat menggoreng persepsi.
Jika jabatan idaman dan instansi terlanjur kebasahan dan ternodai, maka akan beratlah perjuangan seisi instansi untuk meningkatkan reputasi. Sebagai anak kunci, kiranya pimpinan instansi mesti menjaga jabatannya.
Rawatlah Jabatan Idaman
Jabatan adalah amanah, maka merawat jabatan sama halnya dengan merawat amanah. Kursi jabatan adalah tempat duduk untuk merawat amanah. Jabatan memang hanya sementara tapi amanah itu selamanya.
Nyatanya, orang yang amanah akan terus dipercaya meski ia sudah tak punya jabatan. Tapi, orang yang khianat walaupun ia sudah tak menjabat tetaplah terpandang sebagai orang yang khianat. Berat kiranya mengembalikan kepercayaan orang jika sudah terlanjur khianat. Makin dewasa orang, makin susah untuk melupakan.
Karena itulah jabatan idaman mestinya dirawat dengan sungguh-sungguh, terutama bagi mereka yang sedang menduduki kursi jabatan itu. Sang pemilik jabatan hari ini sejatinya bisa memaknai bahwa jabatan idaman hadir tidak melulu karena tingginya materi yang akan didapat.
Di dalamnya ada juga nilai-nilai metafisika yang merekat kuat dan memperindah jabatan itu. Orang mendambakan jadi kepala sekolah misalnya, bukan semata karena gaji melainkan ingin berkontribusi lebih dalam pendidikan.
Barangkali selama ini ketika mereka menjadi guru, mereka tidak punya wewenang lebih untuk mengembangkan sekolah dan juga mengembangkan dirinya. Orang-orang seperti inilah yang semestinya dicari yang juga ikut merawat jabatan.
Lagi, orang yang berhasrat jadi pemimpin perusahaan misalnya. Karena ia ingin perusahaan itu maju, ia selalu bekerja keras, disiplin, kreatif, memunculkan inovasi, hingga berusaha untuk selalu meningkatkan skill dan kinerjanya. Orang-orang seperti ini mestinya dirawat dengan baik oleh pimpinan.
Bayangkan jika saja setiap orang yang memiliki jabatan tertinggi bisa jadi Role Model bagi bawahannya. Pimpinan akan begitu dicintai, diteladani dan kesan instansinya juga positif. Jangan lupa dengan merek jabatannya, pasti akan mendapat reputasi yang baik pula.
Beda halnya jika jabatan idaman itu diduduki tanpa perawatan. Pimpinan yang terlalu banyak mengatur misalnya, agaknya bukan menghasilkan kinerja baik melainkan telah menghadirkan peperangan di ruang kerja yang terus berepisode.
Layaknya kursi yang empuk, jabatan idaman jangan dibiarkan bernoda dan berlumut. Kursi empuk akan terus dinilai empuk jika terus dirawat dan digunakan sebagaimana mestinya. Bukan dipijak-pijak, bukan jadi alat untuk memijak-mijak, dan bukan pula sebagai pijakan kenikmatan untuk diri sendiri
Noda-noda seperti ini harus dibersihkan segera agar publik tetap mencintai jabatan idaman karena kontribusi, bukan karena banyaknya materi. Jika kursi idaman sudah berdona dan tidak dibersihkan, siapa yang mau duduk?
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H