Belajar hari ini, agaknya seluruh siswa di Indonesia butuh angin segar. Tidak sekadar angin sepoi-sepoi yang datangnya dari guru, tidak juga sekadar angin semilir yang datangnya dari orangtua. Ini tentang angin segar yang bernama Merdeka Belajar.
Karena segarnya semilir angin Merdeka Belajar, tidak hanya Kemendikbud dan kebijakannya yang harus yang adem, tapi juga sekolah, guru dan terpenting adalah siswanya.
Terang saja, barangkali di hari kemarin siswa sudah lelah dengan terus-menerus memakan dan menghafal perkataan guru, berikut dengan titik komanya. Siswa juga sudah letih memakan begitu banyak muatan materi dalam kurikulum tanpa bisa terbebas dari catat, resume, fotocopy, dan salin ulang.
Bukannya berdalih keluh agar siswa tidak lagi menulis, tapi apakah tulisan siswa hari ini sudah menjadi ilmu yang lengket di pikirannya? Sudah bermakna dalam kehidupan kecilnya? Atau, malah sekadar menghabiskan 30, 38, 50, atau 58 lembar buku tulis, agar bisa cepat beli baru. Hmmm
Jangankan siswa, guru juga sebenarnya sudah lelah karena terus berbicara di kelas, terus menjadi pusat pembelajaran sedangkan siswanya begitu-begitu saja. Tidak terhitung berapa galon air mineral pelepas dahaga, beruntung guru adalah pahlawan tanpa jasa.
10 poin yang dibicarakan guru, mungkin yang lengket di pikiran siswa hanya 8. Memang awalnya ada siswa yang ingat 10 poin, tapi apakah ia akan ingat terus? Hmm, jangan-jangan hanya sampai akhir ujian semester. Setelah itu? Senyum-senyum dan duduk rapi di kelas, agar tidak kena marah guru. Hohoho
Jika terus seperti ini, bagaimana kita mau unjuk kualitas. Jujur saja, di saat kita ingin mencari pembanding kualitas pendidikan, di saat itu pula kita kecewa, malu dan mencari kertas untuk tutup muka.
Sesekali boleh kita lihat hasil beberapa kajian ilmiah baik dari luar dan dalam negeri seperti PISA, World's Most Literate Nations, TIMMS, PIRLS, Universitas21, Ujian Nasional, INAP, dan lain-lain. Kesimpulan menunjukkan, selama hampir 20 tahun kondisi pendidikan Indonesia stagnan berada di posisi salah satu terbawah di dunia.
Kita, semua penduduk di Indonesia sedih dengan ini. Sedih sekaligus menyoroti bagaimana lambatnya pergerakan pembangunan pendidikan di negeri ini. Namun, kesedihan ini mesti move on dan segera ditanggapi dengan perubahan, mulai dari hal-hal yang kecil seperti bagaimana siswa bisa menikmati pembelajaran di sekolah.
Belajar Hari Ini, Bukan Lagi Tentang Mendengarkan