Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sayang Ibu, Awas Lisanmu Jangan Sampai Offside!

22 Desember 2019   13:04 Diperbarui: 22 Desember 2019   13:19 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ibu dan anak. (Sumber: pixabay.com)

Ibu merupakan sosok yang luar biasa di muka bumi ini. Tiada alasan untuk tidak berbakti kepadanya, karena itu adalah kewajiban. Tiada pula orang lain yang bisa menggantikan tempatnya, walau kita sewa bodyguard sekalipun.

Dalam fitrahnya, sejak manusia lahir ke dunia pasti akan mencari ibu terlebih dahulu. Jika ia masih bayi, maka yang dicari adalah ASI ibu, pelukan ibu, senyum ibu, dan kehangatan ibu. Walaupun sang bayi bisa senyum kepada siapapun yang menggendongnya, tetap tidak lebih tulus dari senyumnya kepada ibu.

Beranjak ke anak-anak, kisahnya masih sama. Pulang main, ibu yang dicari. Pulang sekolah, jika bertemu ayah maka ibu yang ditanya. Lah, ayah sudah ada di depan matamu, nak? Tetap saja ujungnya "Ibu mana yah, Ibu mana?"

Walau ibu tidak selalu memberi uang jajan dan walaupun uang jajan yang diberikan ayah lebih banyak dari ibu, khawatir itu terus bergelimpangan. Masih juga cenderung lebih sayang dan ingin bersua ibu terlebih dahulu.

Menjelang remaja dan dewasa, mungkin beberapa orang seakan malu jika "terlalu" perhatian dengan ibu. Bukannya tidak perhatian, hanya saja tidak terang-terangan dan terkesan merengek serta manja kepada ibu.

Perhatian tetap ada, dan khawatir juga masih ada. Minimal, bisa membantu meringankan beban dan pekerjaan ibu serta menceritakan kebaikan-kebaikan ibu kepada orang lain. Dan dalam diam, selalu menitip doa untuk keselamatan ibu. Selalu, dan tak boleh tertinggal.

Namun, sayangnya tidak semua anak bisa memahami kemuliaan seorang ibu dan terus menyempatkan diri untuk berbakti kepada ibu. Kalimat "surga berada di telapak kaki ibu" seakan terkaburkan dengan nafsu dan kesibukan dunia yang melalaikan.

Apakah itu gengsi? Bisa jadi. Persoalan fisik seorang ibu kadang diungkit-ungkit, terlebih lagi jika rambut ibu sudah memutih. Padahal di sisi lain menandakan bahwa kesempatan bakti kepada ibu di dunia hanya tinggal sedikit lagi.

Apakah itu meluapkan kekesalan? Bisa jadi. Kekurangan diri serta kekurangan ibu baik secara materi maupun non-materi seringkali terluapkan dengan perkataan-perkataan yang menusuk dan melukai hati ibu.

Entah itu sekadar keceplosan atau dalih keinginan anak yang tidak tergapai, beberapa kali disampaikan dengan kata-kata yang kiranya sudah offside. Mulai dari bentak-bentak hingga atap rumah ikut bergetar, berkata kasar, hingga tidak menghargai keberadaan ibu, semuanya seakan sudah keluar dari lapangan kebaktian.

Ilustrasi Offside. (Sumber: pixabay.com)
Ilustrasi Offside. (Sumber: pixabay.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun