Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Gurumu Garang? Selamat, Sekolahmu Sudah Beruntung

15 Desember 2019   13:41 Diperbarui: 15 Desember 2019   23:43 2446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru sedang menasihati siswa. (Dokpri)

"Aii dahh, ganas nian Ibu itu Pak!"

Begitulah ucapan beberapa siswa SD yang sering mendatangi saya ketika jam istirahat. Di sekolah kami ada seorang guru yang sangat terkenal dengan sikap garangnya. Suaranya saja sudah begitu lantang hingga sampai ke seluruh sudut sekolah.

Dari situ, rata-rata siswa menganggap beliau sebagai sosok yang ganas dalam berkata, beringas dalam menegur, serta garang dalam melarang sesuatu hal yang dianggapnya buruk. 

Walau demikian, siswa tetap selalu bersalaman dengan beliau baik saat tiba maupun pulang sekolah. Tapi agaknya siswa jarang sekali tertawa. Hohoho

Beliau yang menjabat sebagai guru kelas ini meskipun mendapat label garang dari siswa, namun tidak pernah mencaci, memaki, hingga memarahi siswa secara berlebihan. Kecuali, memang kelakuan siswanya sudah keterlaluan.

Katakanlah seperti berkelahi saat jam istirahat, mencuri uang teman, mengolok-ngolok teman dengan menyebut nama orangtua, hingga bermain dengan benda yang berbahaya. Jika sudah seperti ini agaknya semua guru akan bertindak tegas, agar siswa jera.

Guru Garang Tanda Sayang

Sejatinya, semakin banyak guru melarang maka semakin sayang guru itu. Walau kadang kesannya terlalu garang bahkan bengis, tetap saja dibalik semua itu ada ketakutan dan kekhawatiran yang besar di hati guru. 

Barangkali dari ukuran logika, jika siswa tidak dilarang ia akan terluka, orangtuanya akan kecewa, guru pun panik, hingga sekolah pun malu.

Terang saja, guru adalah orangtua siswa di sekolah. Jika ada apa-apa yang tidak dikehendaki terjadi pada siswa, tentu akan menimbulkan kepanikan yang luar biasa. Bagaimana jika siswa sudah lecet-lecet secara fisik? Tambah khawatir guru, jangan-jangan nanti kena denda!

Wajar bila kemudian siswa mengeluh tidak boleh main ini, tidak boleh kejar-kejaran berlebihan, tidak boleh main keluar lingkungan sekolah, tidak boleh mengolok-ngolok nama orangtua, hingga tidak boleh berperilaku tidak beradab di depan guru.

Semua pasti ada hikmahnya, yang maknanya mungkin tidak bisa ditangkap secara cepat oleh siswa. Guru sudah keduluan garang karena berdasarkan pengalaman-pengalaman di masa lalu, pasti akan terjadi apa-apa dengan siswa. Walaupun itu hanya tebakan, namun guru lebih baik mencegahnya.

Bisa jadi dari bergarah olokan nama orangtua, siswa akan menangis, berkelahi dan segera pulang ke rumah. Bayangkan saja jika siswa itu sekonyong-konyong pulang melewati pemukiman warga sambil tersedu, lalu guru mengejarnya dari belakang.

Alangkah merahnya, alangkah malunya guru terhadap warga. Namun, guru harus tetap mengejar supaya siswa tidak segera sampai ke rumahnya. Jika siswa sudah sampai di rumah dalam keadaan terisak, maka mau ditaruh ke mana lagi muka guru.

Bukan tidak mungkin akan ada kejadian sejenis di hari ini dan di sekolah manapun. Terang saja, siswa hari ini begitu liar dan sangat sensitif ketersinggungannya. Tidak di pelosok tidak di kota, agaknya sama saja.

Bisa kita bayangkan jika misalnya guru di sekolah terlalu demokratis bahkan permisif. Guru yang demokratis sebenarnya sangat bagus karena memberikan ruang yang luas bagi siswa untuk berkembang.

Komunikasi akan berjalan dua arah, dan siswa akan senantiasa terbuka dengan opini maupun keluh kesahnya. Tidak jarang, guru demokratis akan dinobatkan sebagai guru favorit di sekolah. Tapi jika terlalu demokratis?

Maka guru akan dipijak-pijak oleh siswa. Ada saja siswa yang menganggap guru sebagai teman sebaya hingganya hilang adab kepada guru. Ada pula siswa yang terlalu berlebihan berbicara dengan keras kepada gurunya, hingga lupa harus bertakzim kepada guru. Terlalu bebas, terlalu liar. Nantinya guru akan susah sendiri.

Lalu, jika gurunya permisif? Tambah bahaya. Siswa mau ini dibolehkan, mau itu disilahkan, terserah yang penting siswa bahagia, tidak ribut, dan tidak mengganggu guru. Hal ini lebih bahaya lagi!

Jarang ada siswa yang berpikir panjang dengan apa yang ia perbuat. Apa lagi baru siswa SD! Berlarian sana-sini dan bermain apa saja dengan kegirangan yang berlebihan, sekilas memang enak dipandang. 

Tapi, bagi guru itu adalah kengerian. Jangan sampai nanti siswa jatuh dan terluka, berkelahi, hingga merusak fasilitas sekolah.  Siapa yang akan tanggung jawab?

Sekolah Beruntung Punya Guru Garang

Jika ada satu orang saja guru garang di sekolah, maka beruntunglah sekolah itu. Berarti ada sosok guru yang memiliki perhatian yang besar terhadap kependidikan dan keselamatan siswa. 

Tidak perlu keringat dingin dengan dalil HAM atau KPAI, karena guru yang peduli akan memprioritaskan keselamatan siswa. Toh, itu adalah hak siswa. Guru yang duluan bertindak mencegah dan mengatasi, belum HAM belum juga KPAI.

Sebenarnya, satu orang guru garang saja sudah bisa menenangkan seluruh isi sekolah. Tampak wajahnya dari sebalik pintu ruang guru saja siswa sudah terbujur bisu masuk ke kelas. Tak perlu panggil pasukan guru atau bahkan penjaga sekolah untuk menenangkannya. Hohoho

Hal ini perlahan juga akan berefek pada rekan-rekan guru di sekitarnya. Beberapa guru yang mungkin selama ini masih mengajar dan mendidik sekadarnya bahkan cenderung permisif, akan ikut-ikutan untuk perhatian kepada siswa.

Bukan semata-mata untuk membuat siswa takut secara psikologis, melainkan untuk membatasi ruang gerak siswa yang selama ini cenderung kelewatan dan berlebihan. Adakalanya guru humoris dan menyenangkan, adakalanya guru harus benar-benar menjadi sosok pelindung bagi siswa.

Jika benar penempatan sikap guru, maka biar segarang apapun guru itu siswa akan tetap menaruh hati padanya. Tetap menaruh takzim, dan akan mengenang jasanya bahkan sampai siswa itu menua. 

Sekarang mungkin belum paham, tapi nanti setelah dewasa atau salah satu siswa sudah menjadi guru, barulah paham mengapa perlu garang.

Namun, jangan salah makna. Garang bukan berarti membenci semuanya dengan keterlaluan. Garanglah pada tempatnya, bukan sesukanya. Garanglah sesuai situasi dan kondisinya, bukan sesuai keinginan hatinya. Dan, garanglah atas semua perbuatan negatif dan keburukan, bukan kebaikan.

Salam. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun