PNS? Pasti banyak peminatnya dan bergerombol para pejuangnya. Banyak juga yang menjadikannya sebagai cita-cita hingga jadilah bentuk tertinggi dari harapan orang tua.
Terang saja, selama belasan tahun sekolah mestinya cahaya karir makin jelas. Kuliah S1 selama 4-5 tahun, tamat, celingak-celinguk sebentar sembari menanti tes CPNS, dan ketika tes langsung lulus. Mantap sekali jalan hidup jika bisa sesederhana itu. Haha.
Tapi, belum tentu karir ini sejalan dengan minat dan jurusan yang dikehendaki. Kadang, mimpi dan khayalan indah tentang masa depan yang sudah dibina sejak SMA harus pupus karena tidak ada persetujuan orang tua.
Kadang pula minat anak selaras dengan orang tua, tapi tak ada dana dan kesempatan yang hadir di dekatnya. Akhirnya? Terpaksa memilih jurusan "aman". Daripada tidak kuliah!
Selama kuliah, mulailah ada ketertarikan dengan jurusan "paksaan". Meskipun minat lama masih bergejolak, namun pikiran selalu berteriak "sudahlah, terima kenyataan!". Saat ada kuliah pikiran fokus, saat pulang kuliah pikiran lama datang. Terus saja, sampai tamat kuliah.
Hebatnya, takdir seakan membawa beberapa orang untuk cinta dan "terpaksa" mencintai sesuatu yang tidak ia minati. Sepertinya Tuhan lebih tahu mana yang ia butuhkan, dan hidup ini tidak semata-mata berkisah tentang apa yang kita inginkan.
Paradigma ini bahkan terus melaju bahkan sampai profesi PNS. Alhasil, sering terdengar pernyataan-pernyataan seperti ini:
"Aku sebenarnya tidak ada minat jadi guru mapel A. Tapi, karena nasib tadi..."
"Kamu tolong ajari anak materi X dan Z ya, Ibu kurang paham jadi ibu tidak ajarkan. Ibu ini sebenarnya salah jurusan!"
Rasanya sudah lebih dari belasan kali terdengar ocehan guru-guru yang mengarah pada pengakuan salah jurusan. Padahal sudah PNS, dan bahkan sudah masuk kategori madya dan senior.
Apa yang Salah?
Sepertinya ada gejolak yang tidak biasa di hati para PNS yang menganggap dirinya salah jurusan. Entah itu tentang sikap diri yang tak kunjung menerima kenyataan, tentang hati yang belum berminat, atau malah dalih dari diri yang tak berkompeten, tetap saja semuanya begitu mengganggu kelanjutan hidup.
Sebenarnya jika alasannya adalah karena diri tak kunjung bisa menerima kenyataan, kenapa harus mengambil jalan itu. Kenapa harus bersusah payah menempuh gang itu jika muaranya hanyalah keluh.
"Jika tidak berminat mengajar, kenapa kemarin ikut tes CPNS formasi guru!"
"Jika tak mau sibuk dengan administrasi kepegawaian, kenapa kemarin ikut tes CPNS formasi BKD!"