Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Benarkah Anak Polos Tidak Tahu Apa-apa?

6 November 2019   17:57 Diperbarui: 8 November 2019   08:02 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kepolosan. (Sumber: Pixabay.com/pasja1000)

Bagaimana pendapat Anda tentang anak polos? Apakah itu berkisar tentang dia yang tak tahu apa-apa, tentang dia yang tak begitu mengenal pengetahuan secara hakikat, atau tentang mereka yang melulu kurang memahami kondisi diri?

Jika paradigma yang berkembang seperti ini, berarti jurusan anak polos akan melahirkan output berupa mereka yang dicap negatif. Artinya, polos=perilaku negatif.

Kemudian, apakah Anda pernah digelari oleh orang lain sebagai anak atau orang yang polos? Mungkin pernah ya, tidak sebatas anak-anak, melainkan juga dewasa. Apalagi jika semua hal tentang polos diawali dari topik-topik negatif yang kesannya hanya orang-orang "dewasa" yang tahu.

Tapi tunggu dulu, dewasa dari mana ya?

Agaknya, sebagian besar orang mendasarkan kepolosan dari sikap ketidaktahuan seseorang terhadap sesuatu hal yang mengarah kepada privasi. Entah itu privasi positif, negatif atau abu-abu, semuanya terkesan menyalahkan dan menganggapnya kurang ilmu.

Berikutnya persepsi seperti ini malah menjadi biang rusak dan putusnya interaksi, komunikasi serta obrolan dalam suatu kelompok orang. Misalnya, awal pembahasan kelompok orang adalah tentang pernikahan, tentang bagaimana rukun nikah, biaya nikah, hingga biaya resepsi nikah.

Karena mungkin sudah terlalu jauh berfantasi, maka timbullah topik-topik baru yang sejatinya mengarah kepada privasi seperti bagaimana itu hubungan suami-isteri. Jujur saja, ketika topik ini diangkat, maka semua anggota kelompok mulai semangat.

Dari situasi yang sebelumnya sedang sunyi dan sepi berubah menjadi candaan dan tawaan yang tak berkesudahan. Sebenarnya tidak ada yang lucu dari topik ini, namun fantasi anggota kelompok yang sudah ketinggian bahkan ironi membuatnya lebih lucu.

Semua anggota kelompok pun tak akan segan mengutarakan opini-opini nyeleneh untuk memancing klimaks tawa. Namun semua cerita akan berhenti ketika opini ini sampai kepada anak/orang yang polos.

Karena kepolosannya, seseorang tidak mau segera merambat dan mengungkapkan secara terang-terangan tentang topik ini. Walaupun sejatinya mereka sudah menikah dan punya anak, kisah privasi ini tetap tidak mau mereka beberkan. Artinya, bukan semata-mata mereka tidak tahu kan?

Lucunya, dari sikap yang sederhana ini orang-orang polos malah dijadikan bahan candaan dan guyonan rekan-rekannya. Semua topik seakan berubah dan ingin segera menggoda orang-orang polos karena dianggap lebih menghibur. Hoho

Ending dari cerita mereka cenderung menganggap anak polos sebagai anak yang kuno, tidak gaul, , tidak tahu apa-apa, serta masih kecil. Melulu seperti itu. Haha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun