Berjumpa dengan Hari Batik Nasional di kalender tahun 2019, beberapa kali hanya membuat saya iri dan sedih. Terlebih lagi jika harus menatap batik lokal terbitan daerah sendiri. Bukan karena batik tersebut tidak indah, bukan pula karena batik itu tidak bermutu.
Batik daerah yang sejatinya dibuat dengan cara "kedaerahan", semakin hari semakin tertindih oleh tumpukan batik yang dibuat secara "kebut semalam". Terang saja, orang-orang lebih suka memesan batik yang cepat selesai, murah, kekinian, apalagi gratis. Hehe.
Adalah Batik Kaganga yang merupakan batik corak khas Tanah Rejang. Selain terkenal dengan batik Besurek, Bengkulu juga punya batik Kaganga.
Batik Kaganga mulai bertunas sekitar tahun 1985-1990 saat Pemda Provinsi Bengkulu sedang giatnya menggalakkan kerajinan kain batik Besurek yang merupakan kain batik khas kota Bengkulu.
Uniknya, batik Kaganga bermotif dan bertuliskan aksara Rejang. Ya, aksara yang menjadi pelajaran muatan lokal saat saya masih SD. Meskipun saat ini motifnya banyak menambah variasi seperti motif bunga Raflessia Arnoldi dan bunga Bangkai, corak aksara Rejang tetap menjadi motif yang paling terang dan mencolok.
Hanya saja, perlahan aksara Rejang mulai ditinggalkan seiring dengan meningkatnya pamor "pelajaran kekinian" seperti bahasa Inggris, Pramuka, serta Bahasa Arab. Dan sekarang, hanya beberapa orang saja yang bisa menuliskan aksara Rejang.
Itupun mesti ingat-ingat dahulu bagaimana bentuk aksara dan dimana letak titik-titiknya. Secara, setiap satu huruf Kaganga akan menghasilkan 2-4 huruf, dan setiap titik pada huruf Kaganga menjadi tanda perubahan bunyi. Seperti kata A, NTA, NCA, GANG, YANG, KAH, dan lain sebagainya.
Penghasilan Tempe Lebih Terang
Semakin ramainya produksi batik "cepat saji" membuat batik Kaganga yang dirakit secara tradisional kian terpuruk. Batik-batik instan dan murah yang terus berdatangan dari pulau Jawa seakan membangkitkan selera masyarakat untuk meninggalkan produk-produk lokal.
Jika mau dibandingkan secara kualitas, tentu batik yang dirakit dengan cara tulis atau celup lebih baik daripada batik printing. Hanya saja jika sudah berbicara masalah harga, tentu batik tulis dan celup lebih mahal bahkan berkali-kali lipat.
Terang saja, waktu yang diperlukan untuk merakit batik tulis tidaklah secepat batik printing. Agaknya, tidak cukup 1 atau dua hari merakitnya. Itupun harus didukung penuh dengan keterampilan tangan sang perakit.
Karena itulah, banyak konsumen batik memilih jalan pintas untuk mendapatkan batik. Bahkan, batik Kaganga rela mereka oper ke pulau Jawa hanya untuk dirakit secara cepat saji. Padahal, aktor pembuat batik di daerah sudah bergelar master.
Inilah yang menjadi kedukaan tersendiri bagi para produsen batik Kaganga. Selain sepi peminat, mereka juga mengeluhkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap batik lokal. Bahkan, salah satu pengusaha batik di Curup mengutarakan "lebih terang" bekerja sebagai penjual tempe.
Membatik yang sejatinya bisa menjadi usaha utama warga, malah berubah opsi menjadi usaha sampingan. Terang saja, selain sulit mendapatkan pelanggan di hari-hari biasa, pembatik lokal juga sulit untuk memasarkan produknya.
Memberdayakan Batik Daerah
Memang benar bahwa pemerintah Kabupaten Rejang Lebong sudah mewajibkan para pegawai PNS, Pegawai Swasta, bahkan pelajar untuk mengenakan batik Kaganga. Hanya saja, mereka lebih mengandalkan batik printing, bahkan rela memesannya hingga keluar pulau.
Karena kebijakan ini, batik Kaganga hanya ramai dipakai oleh kalangan pekerja dan pelajar saja. Masyarakat pun harus berpikir dua kali untuk mengenakan batik Kaganga. Terang saja, masa mereka melulu harus disamakan dengan pegawai ataupun pelajar?
Akhirnya, batik Kaganga menjadi kurang situasional ketika dikenakan. Beda dengan batik-batik produksi luar kota yang sejatinya bisa dipakai pada segala situasi. Batik-batik tersebut bisa dipakai saat kondangan, acara adat, serta jalan-jalan. Bahkan, dengan kreativitas merakit baju dengan gaya semi batik, motif batik bisa diletakkan pada kaos olahraga.
Batik Kaganga pun kurang fungsional bahkan bisa jadi teralihkan fungsinya. Batik daerah yang sejatinya untuk menunjukkan kebesaran daerah, malah menjadi pakaian resmi bagi orang-orang tertentu saja.
Tentu kenyataan ini terlalu sukuisme untuk diberdayakan. Padahal, suku Rejang sangat terwakili oleh adanya Kaganga. Akan sangat baik jika batik ini diberdayakan di daerah sendiri. Masyarakat tentu akan bangga mengenakannya, bahkan masyarakat akan meninggikan batik lokal sebagai kebanggaan daerah.
Harapannya, pembatik-pembatik daerah dan tradisional bisa terus survive walau terhempas masa. Mereka perlu diperhatikan, diberdayakan, serta dipertahankan eksistensinya. Penting untuk menghidupkan kembali usaha mereka. Jangan sampai kalah dengan pedagang tempe, demi kemajuan daerah.
Salam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H